TANGGAL 23 September baru lalu Propinsi Sulawesi Utara merayakan
ulangtahun ke- 13. Tak ada yang menyangkut-pautkan angka itu
dengan kesialan, sebab toh pesta dirayakan cukup meriah di
berbagai tempat. Namun di sela-sela kebisingan pesta, gema
pungli tetap mengganggu telinga penduduk propinsi itu. Maklum
masing-masing orang dapat membayangkan angka sekian milyar
rupiah di balik produksi 18.000 ton cengkeh dalam panen besar
tahun ini --meskipun Gubermlr Worang pernah menyebut produksi
tahun ini hanya 10.000 ton dengan alasan musim yang kurang baik.
Benar atau tidak kemerosotan hasil cengkeh itu, tapi di banyak
tempat petani masih tetap kewalahan memetik hasil tanaman itu.
Sehingga karena lebatnya buah di pol1on sedang tenaga pemetik
kurang, tak sedikit pula cengkeh yang terlambat dipetik. Menurut
drs. K. Lapa dengan, Ketua Puskud Sulawesi Utara, bahkan sejak
semula sebanyak 8.900 ton cengkeh sudah dikonrakkan kepada 14
pedagang. Dari jumlah itu sebanyak 2.800,24 ton sudah dibeli
para pedagang pada BUUD/KUD. edangkan yang sudah dibeli oleh
BUUD/KUD pada petani sebanyak 2.884,24 ton.
Berapa pun juga angka pasti hasil cengkeh propinsi itu tahun
ini, namun gema pungli dari daerah itu semakin keras terdengar
setelah Menteri Perdagangan Radius Prawiro sendiri secara
terbuka menyebut bahwa Pemda Sulawesi Utara melakukan pungutan
liar terhadap petani cengkeh. Sebab, menurut Radius, di samping
pungutan sebesar Rp 1 00/Kg yang dilakukan BUUD/KUD setiap kali
membeli cengkeh dari petani - sesuai dengan Keppres
No.50/1976-Pihak pemda juga masih mengenakan pungutan tambahan
sebesar Rp 200/Kg dengan mengatas-namakan partisipasi. Pungutan
yang terakhir ini dilakukan oleh Yayasan Manguni Rondor yang
dibentuk oleh Pemda Sulawesi Utara.
Tapi Gubernur Worang segera membantah. "Tak ada pungli di
Sulawesi Utata" ucapnya, "kalau Opstib mau periksa silakan
datang." Lalu drs. P. Kepel Asisten Bidang Ekonomi dan Keuangan
Gubernur Worang, kepada TEMPO di Manado mengungkapkan. "Yang
benar adalah sumbangan keikhlasan di atas surat pernyataan oleh
12 pengusaha di Manado." Kepel tak mau memperinci sudah berapa
banyak sumbangan itu sampai sekarang. Tapi yang pasti sumbangan
itu masih berlangsung hingga sekarang karena menurut Kepel batas
waktu tak ditentukan hingga kapan.
Diakui dari hasil sumbangan itu maka beberapa kegiatan di bidang
sosial budaya dapat dibiayai. Misalnya untuk pelaksanaan MTQ X,
PON IX dan Jambore di Sibolangit. Begitu pula gubernur juga
menyumbang pembangunan proyek-proyek desa dengan biaya dari
sumbangan itu, karena tak sedikit kepala desa yang datang
langsung kepada Worang untuk meminta bantuan. Semua hasil
sumbangan para pengusaha itu dipungut dan disalurkan oleh
Yayasan Manguni Rondor (YMI). Yayasan yang dibentuk oleh Pemda
Sulawesi Utara tahun 1976 dimaksudkan-untuk memanfaatkan
sumbangan-sumbangan yang selama ini diterima langsung oleh
pejabat-pejabat daerah itu. Proyek-proyek yang biayanya tipis
dari Pemerintah Pusat, banyak dibantu YMR. Bahkan ketika gaji
para pegawai Pemda Sulawesi Utara pernah terlambat -- dengan
alasan terlambat dikirim dari Jakarta - yayasan ini pernah
meminjami. "Pernah sampai Rp 3,2 milyar dipinjam dari yayasan
untuk membayar gaji pegawai selama 5 bulall' tutur Bonny
Lengkong, residen pensiunan yang menjadi pembantu khusus
Gubernur Worang di bidang ekubang. Tapi. tambah Lengkong, semua
pengeluaran yayasan dimasukkan dalam APBD.
Tapi adalah Bonny Lengkong pula yang mengakui bahwa dari setiap
kontrak pembelian cengkeh pada BUUD/KUD para pedagang dipungut
sumbangan keikhlasan sebesar Rp 200/Kg. Pedagang cengkeh yang
beroperasi di Sulawesi Utara sekarang berjumlah 14 pengusaha di
antaranya 11 pedagang yang menandatangani sumbangan ikhlas tadi.
Tapi drs. P. Kepel membantah bahwa pengusaha-pengusaha itu harus
punya rekomendasi dari Pemda. Begitu juga, kata Kepel, tak ada
monopoli oleh beberapa orang pedagang saja. Sementara itu
menurut sumber TEMPO di Manado 3 pengusaha (di luar yang 11
tadi) mendapat prioritas khusus dari Pemda dalam hal pembelian
cengkeh. Hal ini mereka terima karena pihak Pemda menganggap
partisipasi mereka sudah cukup besar dan pantas dihargai -
antara lain mereka pernah menyumbang Rp 600.000 untuk biaya MTQ
(TEMPO 6 Agustus 1977). Tapi kabarnyadengan sumbangan itu ke-3
pedagang tadi dibebaskan dari pungutan Rp 200 per Kg tadi. Oleh
karena itu, demikian sumber TEMPO di Manado, ke 3 pedagang tadi
mendapat jatah pembelian cengkeh yang jauh lebih banyak dalam
kontrak mereka dibanding 11 pengusaha lainnya.
Tak 1 Sen pun, Tapi
Tapi, "kami hanya menjalankan dan mengamankan Keppres No.50/1976
tentang tataniaga cengkeh" Kepel menjelaskan lagi. Maksud
pembuatan kontrak katanya lagi, agar dapat dikontrol daerah
operasi masing-masing pengusaha dan berapa jumlah produksi. Dan
tentang pungutan yang bernama mage untuk BUUD/KUD dan Puskud
(pusat KUD) diakui memang ada. Dalam rapat Puskud 31 Agustus
lalu ditetapkan marge untuk BUUD/KUD sebesar 3o dari harga
dasar (Rp 3.500), yaitu Rp 105 untuk tiap Kg. Menurut drs. Lapa
dengan, "sebenarnya kami boleh ambil 11%, menurut ketentuan
Ditjen Koperasi." Sebelum rapat itu memang berlaku pungutan
sebesar Rp 150 yang dibagi Rp 100 untuk BUUD/KUD dan sisanya
untuk Puskud. Dengan marge yang baru itu, ditentukan Rp 78,75
untuk BUUD/KUD dan Rp 26,25 untuk Puskud.
Pungutan langsung pada petani cengkeh di desa-desa memang masih
mudah dijumpai di propinsinya Worang ini walaupun tak diakui
sebagai pungli. Di desa Kiawa (Kecamatan Kawangkoan) misalnya,
sekarang sedang dibangun balai desa bertingkat tiga. "Tiap
petani harus memberi 2«% dari hasil panen" ungkap kepala Desanya
M. L. Suak, kepada TEMPO. Tentu alasannya karena kesepakatan
dalam rembuk desa. Di desa Kolongan, Sonder pungutan serupa
bernama partisipasi. "Tapi di sini sukarela, tak ditentukan
jumlahnya" kata seorang petani dengan bangga karena sebentar
lagi akan menikmati air bersih dari hasil partisipasi itu.
Begitu pula para pengusaha cengkeh, merasa tak pernah dikenakan
pungli terhadap mereka - walaupun pungutan Rp 200/Kg sudah
diakui pihak Pemda. Sutikno Mailoa alias Tek dari Pr Kencana
Tulus dan Benteng Tulus pengusaha cengkeh yang tergolong kakap
di Manado --misalnya, membantah keras. "Tidak ada satu sen pun
yang saya berikan kepada Pemerintah daerah dan perusahaan saya
tak pernah diistimewakan" kata pedagang yang sering disebut
memegang monopoli dan mendalat prioritas pembelian cengkeh
itu." Kalau bantu MTQ itu benar ada" tambahnya, "tapi itu karena
pemerintah daerah perlu mungkin sebagai kredit." Nah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini