MASA jaya petani karet agaknya semakin suram. Jauh berbeda
dengan tahun 50-an dan 60-an, dalam beberapa tahun terakhir ini
harga karet semakin jatuh. Selain karena pasaran dunia memang
sedang lesu, di beberapa daerah pungutan dirasakan terlalu
memberatkan. Akibatnya, bukan saja produksi getah makin
berkurang, juga petani maupun penyadap yang tak marnpu lagi
membeli kebutuhan pokok.
Harga karet sekarang ini di Sumatera Selatan, daerah karet
terpenting selain Kalimantan Selatan, adalah Rp 140 per kg untuk
karet basah. Karena yang laku dijual hanya karet yang 50%
kering, maka bagi penyadap Buiran yang sehari hanya menghasilkan
20 kg karet berarti hanya mengantungi Rp 1.400 untuk kerja dari
pagi sampai sore.
Penghasilan menyadap dari Desa Sumber Agung, Musirawas, Sum-Sel
itu masih harus diserahkan separuhnya kepada pemilik kebun.
Dengan harga beras yang Rp 260 per-kg seperti sekarang
pendapatan iru dirasakan Buiran cukup berat untuk menghidupi 5
orang anaknya.
Tak heran kalau petani dan penyadap karet di beberapa kabupaten
di Sum-Sel sejak bulan lalu kekurangan makan. "Mereka sudah
makan nasi bercampur gadung," kata Ka Humas Pemda Sum-Sel, A.
Marzuki. Tumbuh-tumbuhan hutan beracun ini harus lama direbus
sebelum dimakan.
Karena itu Gubernur Sainan Sagiman segera turun tangan. Ia minta
kredit Rp 1,25 milyar dari Jakarta untuk menyediakan beras,
membeli karet rakyat dan mengoperasikan 24 KUD. KUD-KUD itu
menjual beras dan kebutuhan pokok lainnya kepada petani dan
penyadap yang menjual karetnya. Setiap 2 kg karet kering
dihargai sama dengan 1 kg beras.
Petani yang menyadap karet di Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai
Utara dan Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan) juga sudah
mulai makan gadung sebagai selingan makan nasi. Di sana,
Gubernur Mistar Tjokrokoesoemo juga cepat turun tangan. Bulan
lalu ia mengirim bantuan 10 ton beras untuk jangka waktu 1
bulan.
Hancur
Jatuhnya harga karet ItU gara-gara resesi ekonomi dunia. Menurut
Ir. Harry Tanugraha, Direktur Eksekutif Gapkindo (Gabungan
Produsen Karet Indonesia), harga pasaran di Singapura kini
kurang dari separuh harga awal tahun lalu. Yaitu S$1.80/kg,
padahal pada Februari 1980 mencapai S$ 3.83.
Daya beli konsumen di AS dan Eropa Barat nampaknya berkurang,
sebab menurut Harry, mobilitas konsumen barang-barang yang
terbuat dari karet juga menyusut. Tahun lalu produksi karet kita
1 juta ton, tapi sekarang diperkirakan tidak lebih dari 900.000
ton."Pendeknya sendi-sendi perkaretan nasional saat ini goyang,"
tambahnya.
Dan "kalau sendi-sendi itu, yaitu petani dan penyadap, sampai
beralih ke usaha lain, dunia perkaretan nasional akan hancur,"
ujar Harry bersungguh-sungguh. Sementara Gapkindo kini menajaki
kemungkinan mencarl pasaran baru di Asia Timur dan Amerika
Serikat, menurut Harry, produsen karet sudah lama lesu akibat
banyaknya retribusi di daerah.
Di Kal-Sel, misalnya, ada pungutan 10% (untuk karet halus) dan
5% (untuk karet kasar) yang dikenakan kepada pedagang.
Pungutan itu dilakukan oleh setiap kabupaten yang dilewati
pedagang yang membawa bokar (bahan olah karet rakyat). "Kalau
dari Amuntai ke Banjarmasin tengkulak melewati dua kabupaten, ia
terkena pungutan dua kali pula," tutur Harry. Tapi betapapun
susahnya produsen atau pedagang tengkulak, penderitaan petani
dan penyadap masih lebih berat dari mereka.
Di musim penghujan sekarang misalnya, para penyadap di Aek
Raisan I, II, III, IV dan V tetap nekat menderes karet. Padahal
540 keluarga yang tinggal di desa berjarak 25 km dari Sibolga
(Sumatera Utara) itu sadar bahwa pohon karet yang ditoreh di
musim hujan bisa cepat mati.
Meskipun begitu hasilnya masih tidak memadai. Harga karet di
sana Rp 181)/ kg (untuk lembaran getah basah) Rp 140/kg (dengan
kadar 75%) dan Rp 50/ kg (untuk getah dengan kadar karet 50%).
Padahal harga beras sekitar Rp 275/kg. Karena itu banyak
penduduk mulai bertanam ubi.
Karena petani dan penyadap mulai enggan menakik karet,
pabrik-pabrik pengolah karet pun lesu. Mesin-mesin dua pabrik di
Sibolga--PT Crumb Rubber Kencana Harapan dan PT Crumb Rubber
Parombunan --pekan lalu tak terdengar suaranya. Sementara PT
Hock Lie di Sunggal, 7 km dari Medan hanya bekerja 3 hari dalam
seminggu.
Dua pemroses karet di Kalimantan Tengah, yaitu PT Polymers
International di Kuala Kapuas dan CV Marundau di Pangkalan Bun,
juga tidak berproduksi. Sementara PT London Sumatra-Indonesia di
Bulukumba, Sulawesi Selatan, sejak 6 bulan terakhir ini merasa
tidak untung. "Antara biaya produksi dan harga penjualan,
pas-pasan saja," kata Muh. Yunus, kepala kantor PT tersebut.
Tak heran kalau banyak pemuda dari Desa Genting Made Kecamatan
Sorkarn yang semula bekerja di kebun karet mulai membanjiri
Sibolga. Mereka menjadi buruh bangunan atau pembuatan jalan, ada
pula yang menarik becak. Petani karet di Kalimantan Tengah juga
mulai mencari nafkah sebagai nelayan atau menjadi buruh
perusahaan kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini