Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Nasi Gadung Penyadap Karet

Harga karet merosot menyebabkan petani & penyadap karet di Sum-sel dan Kal-sel makan nasi campur gadung. Menurut ir. Harry Tanugraha, jatuhnya harga karet karena resesi ekonomi dunia.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jaya petani karet agaknya semakin suram. Jauh berbeda dengan tahun 50-an dan 60-an, dalam beberapa tahun terakhir ini harga karet semakin jatuh. Selain karena pasaran dunia memang sedang lesu, di beberapa daerah pungutan dirasakan terlalu memberatkan. Akibatnya, bukan saja produksi getah makin berkurang, juga petani maupun penyadap yang tak marnpu lagi membeli kebutuhan pokok. Harga karet sekarang ini di Sumatera Selatan, daerah karet terpenting selain Kalimantan Selatan, adalah Rp 140 per kg untuk karet basah. Karena yang laku dijual hanya karet yang 50% kering, maka bagi penyadap Buiran yang sehari hanya menghasilkan 20 kg karet berarti hanya mengantungi Rp 1.400 untuk kerja dari pagi sampai sore. Penghasilan menyadap dari Desa Sumber Agung, Musirawas, Sum-Sel itu masih harus diserahkan separuhnya kepada pemilik kebun. Dengan harga beras yang Rp 260 per-kg seperti sekarang pendapatan iru dirasakan Buiran cukup berat untuk menghidupi 5 orang anaknya. Tak heran kalau petani dan penyadap karet di beberapa kabupaten di Sum-Sel sejak bulan lalu kekurangan makan. "Mereka sudah makan nasi bercampur gadung," kata Ka Humas Pemda Sum-Sel, A. Marzuki. Tumbuh-tumbuhan hutan beracun ini harus lama direbus sebelum dimakan. Karena itu Gubernur Sainan Sagiman segera turun tangan. Ia minta kredit Rp 1,25 milyar dari Jakarta untuk menyediakan beras, membeli karet rakyat dan mengoperasikan 24 KUD. KUD-KUD itu menjual beras dan kebutuhan pokok lainnya kepada petani dan penyadap yang menjual karetnya. Setiap 2 kg karet kering dihargai sama dengan 1 kg beras. Petani yang menyadap karet di Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Tengah (Kalimantan Selatan) juga sudah mulai makan gadung sebagai selingan makan nasi. Di sana, Gubernur Mistar Tjokrokoesoemo juga cepat turun tangan. Bulan lalu ia mengirim bantuan 10 ton beras untuk jangka waktu 1 bulan. Hancur Jatuhnya harga karet ItU gara-gara resesi ekonomi dunia. Menurut Ir. Harry Tanugraha, Direktur Eksekutif Gapkindo (Gabungan Produsen Karet Indonesia), harga pasaran di Singapura kini kurang dari separuh harga awal tahun lalu. Yaitu S$1.80/kg, padahal pada Februari 1980 mencapai S$ 3.83. Daya beli konsumen di AS dan Eropa Barat nampaknya berkurang, sebab menurut Harry, mobilitas konsumen barang-barang yang terbuat dari karet juga menyusut. Tahun lalu produksi karet kita 1 juta ton, tapi sekarang diperkirakan tidak lebih dari 900.000 ton."Pendeknya sendi-sendi perkaretan nasional saat ini goyang," tambahnya. Dan "kalau sendi-sendi itu, yaitu petani dan penyadap, sampai beralih ke usaha lain, dunia perkaretan nasional akan hancur," ujar Harry bersungguh-sungguh. Sementara Gapkindo kini menajaki kemungkinan mencarl pasaran baru di Asia Timur dan Amerika Serikat, menurut Harry, produsen karet sudah lama lesu akibat banyaknya retribusi di daerah. Di Kal-Sel, misalnya, ada pungutan 10% (untuk karet halus) dan 5% (untuk karet kasar) yang dikenakan kepada pedagang. Pungutan itu dilakukan oleh setiap kabupaten yang dilewati pedagang yang membawa bokar (bahan olah karet rakyat). "Kalau dari Amuntai ke Banjarmasin tengkulak melewati dua kabupaten, ia terkena pungutan dua kali pula," tutur Harry. Tapi betapapun susahnya produsen atau pedagang tengkulak, penderitaan petani dan penyadap masih lebih berat dari mereka. Di musim penghujan sekarang misalnya, para penyadap di Aek Raisan I, II, III, IV dan V tetap nekat menderes karet. Padahal 540 keluarga yang tinggal di desa berjarak 25 km dari Sibolga (Sumatera Utara) itu sadar bahwa pohon karet yang ditoreh di musim hujan bisa cepat mati. Meskipun begitu hasilnya masih tidak memadai. Harga karet di sana Rp 181)/ kg (untuk lembaran getah basah) Rp 140/kg (dengan kadar 75%) dan Rp 50/ kg (untuk getah dengan kadar karet 50%). Padahal harga beras sekitar Rp 275/kg. Karena itu banyak penduduk mulai bertanam ubi. Karena petani dan penyadap mulai enggan menakik karet, pabrik-pabrik pengolah karet pun lesu. Mesin-mesin dua pabrik di Sibolga--PT Crumb Rubber Kencana Harapan dan PT Crumb Rubber Parombunan --pekan lalu tak terdengar suaranya. Sementara PT Hock Lie di Sunggal, 7 km dari Medan hanya bekerja 3 hari dalam seminggu. Dua pemroses karet di Kalimantan Tengah, yaitu PT Polymers International di Kuala Kapuas dan CV Marundau di Pangkalan Bun, juga tidak berproduksi. Sementara PT London Sumatra-Indonesia di Bulukumba, Sulawesi Selatan, sejak 6 bulan terakhir ini merasa tidak untung. "Antara biaya produksi dan harga penjualan, pas-pasan saja," kata Muh. Yunus, kepala kantor PT tersebut. Tak heran kalau banyak pemuda dari Desa Genting Made Kecamatan Sorkarn yang semula bekerja di kebun karet mulai membanjiri Sibolga. Mereka menjadi buruh bangunan atau pembuatan jalan, ada pula yang menarik becak. Petani karet di Kalimantan Tengah juga mulai mencari nafkah sebagai nelayan atau menjadi buruh perusahaan kayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus