Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Nelayan-Nelayan Hiu Botol

Nelayan-nelayan Pameungpeuk, Garut, terjerat oleh janji PT. Indofleet (eksportir ikan hiu botol ke Jepang). Mereka harus mengangsur harga perahu, tapi hasil tangkapan tidak mencukupi.

12 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NELAYAN Alim petang itu pulang dari laut hanya berhasil menangkap tiga ekor hiu botol. Setelah ditimbang, berat sekitar 48 kg. Setelah dada ikan tersebut dibelah, tampaklah hati yang berwarna keabu-abuan berbentuk panjang seperti lidah sapi. Waktu ditimbang, hati ke-3 ikan itu semua bcrbobot 11,5 kg. Setiap kilogram hati hiu botol berharga sekitar Rp 1.500. Kemudian muncul Parta, nelayan tua 58 tahun. Hasil nelayan teladan 1981" tingkat desa itu terbanyak: 40 ekor. Jumlah hati hiu yang ditangkapnya total 35 kg. Tapi seperti Ahim, nasib Parta masih payah: ia belum punya perahu dan mesin speed boat sendiri--sebagaimana hampir semua nelayan pencari hiu botol di Desa Kiara Kohok, Pameungpeuk (Garut), pantai di Samudra Indonesia, 15 km di selatan Bandung, Jawa Barat. Mereka ieuhh orangrang yang sudah berjanji menyetor hati hiu botol, semuanya 4.500 kg, kepada PT Indofleet Corporation. Perusahaan ini sejak awal tahun lalu menarnpung hasil laut itu---hatinya diekspor ke Jepang (lihat box). Mengapa nehyan Parneurlgpeuk harus menyetor hati hiu botol sebanyak itu Karena mereka selama ini mempergunakan perahu tengklek dan motor tempel (speed boat) milik Indofleet Kalau mereka berhasil menyetor 4.500 kg hati hiu botol (selama sekitar tiga bulan), mereka dapat memiliki peralatan yang amat vital bagi nelayan tersebut. Banyak nelayan yang tergiur oleh janji Indofleet itu. Malam Jum'at Sebelumnya Indofleet masih bersedia membeli daging hiu botol, Rp 150/kg. Tapi sejak empat bulan lalu perusahaan yang berpusat di Jakarta itu hanya menghendaki hatinya saja. Sebab, katanya, daging hiu botol yang putih itu tidak seenak daging hiu jenis lainnya. Itulah sebabnya para nelayan harus lebih keras lagi bekerja mengumpulkan hatinya. "Biarpun saya bekerja keras, hasil tangkapan kan tergantung pada pancing Juga," ujar seorang nelayan yang pekan lalu pulang tanpa hasil. Yang pasti, para nelayan memang berusaha mendapat hasil sebanyak-banyaknya. Ada yang mujur, tapi tak sedikit yang tetap melarat, lebih-lebih karena pihak Indofleet kurang berperan menolong mereka. Tiga bulan lalu, misalnya, seorang nelayan bernama Wardoyo tenggelam tanpa santunan apa pun. Indofleet Jakarta enggan memberi keterangan tentang musibah ini. Umumnya, para nelayan juga tak lepas dari tumpukan utang. Terutama karena bahan bakar perahu motor tidak disediakan Indofleet. Untuk mengarungi lautan 60 mil misalnya diperlukan 50 60 liter bahan bakar @ Rp 225--harga ini karena nelayan berutang dulu pada toko yang tak jauh dari pantai. Jangankan untuk membayar bahan bakar. Sehingga keuntungan menjual hati hiu botol tak banyak berarti. Repotnya lagi, tidak setiap hari mereka dapat melaut. Setahun hanya melaut enam bulan, karena enam bulan sisanya badai sangat ganas. Setiap bulan pun mereka hanya melaut 24 hari, enam hari lainnya tak berani turun, yaitu karena dua hari bulan purnama (laut pasang) dan empat hari lainnya malam Jum'at. Nelayan Pameungpeuk pantang menangkap ikan pada malam Jum'at. Asal-usul kepercayaan ini tidak jelas. Namun tampaknya para nelayan itu sudah terjerat betul oleh jaringjaring Indofleet. Dan mereka juga sudah pasrah. Untuk menangkap ikan lain, tongkol atau cakalang yang berharga Rp 400/kg misalnya, sebenarnya bisa. Tapi tak berani, sebab mereka menggunakan perahu dan motor tempel milik Indofleet. Kalau ketahuan petugas perusahaan tersebut, kedua peralatan itu bisa diminta kembali. Kalaupun mereka tidak lagi mengabdi pada Indofleet, lantas mencari ikan di kawasan lain, walaupun sesungguhnya bisa, tidak juga mudah. "Sebab untuk itu, saya harus minta iin kepada Petugas Keselamatan Laut," kata nelayan Umar dengan kesal. Menurut petugas Keamanan Laut itu, Adjusdin, yang merangkap manajer Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di desa itu, surat itu "untuk menjaga keselamatan dan untuk menilai konduite mereka." Cuma saya yang, Adjusdin nampaknya tak memikirkan cara menyelamatkan periuk nasi nelayan miskin itu. Karena itu bisa dimaklum kalau sekarang mulai banyak nelayan yang diam-diam meninggalkan Indofleet. Buktinya dari 25 perahu engklek yang semula melaut, kini tinggal tujuh buah saja yang berlayar. Entah bagaimana nelayan yang membelot itu mencari makan. Padahal menurut Idom, Kepala Desa Kiara Kohok, "penduduk disini tak punya penghasilan lain kecuali turun ke laut." Desa itu dihuni 200 kk--nyaris tak ada yang berusaha menolong. Dan KUD yang baru akan dibentuk di sana pun belum tentu mampu membantu mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus