NELAYAN Alim petang itu pulang dari laut hanya berhasil
menangkap tiga ekor hiu botol. Setelah ditimbang, berat
sekitar 48 kg. Setelah dada ikan tersebut dibelah, tampaklah
hati yang berwarna keabu-abuan berbentuk panjang seperti
lidah sapi. Waktu ditimbang, hati ke-3 ikan itu semua bcrbobot
11,5 kg. Setiap kilogram hati hiu botol berharga sekitar Rp
1.500.
Kemudian muncul Parta, nelayan tua 58 tahun. Hasil nelayan
teladan 1981" tingkat desa itu terbanyak: 40 ekor. Jumlah hati
hiu yang ditangkapnya total 35 kg. Tapi seperti Ahim, nasib
Parta masih payah: ia belum punya perahu dan mesin speed boat
sendiri--sebagaimana hampir semua nelayan pencari hiu botol
di Desa Kiara Kohok, Pameungpeuk (Garut), pantai di Samudra
Indonesia, 15 km di selatan Bandung, Jawa Barat.
Mereka ieuhh orangrang yang sudah berjanji menyetor hati hiu
botol, semuanya 4.500 kg, kepada PT Indofleet Corporation.
Perusahaan ini sejak awal tahun lalu menarnpung hasil laut
itu---hatinya diekspor ke Jepang (lihat box).
Mengapa nehyan Parneurlgpeuk harus menyetor hati hiu botol
sebanyak itu Karena mereka selama ini mempergunakan perahu
tengklek dan motor tempel (speed boat) milik Indofleet Kalau
mereka berhasil menyetor 4.500 kg hati hiu botol (selama sekitar
tiga bulan), mereka dapat memiliki peralatan yang amat vital
bagi nelayan tersebut. Banyak nelayan yang tergiur oleh janji
Indofleet itu.
Malam Jum'at
Sebelumnya Indofleet masih bersedia membeli daging hiu botol, Rp
150/kg. Tapi sejak empat bulan lalu perusahaan yang berpusat di
Jakarta itu hanya menghendaki hatinya saja. Sebab, katanya,
daging hiu botol yang putih itu tidak seenak daging hiu jenis
lainnya. Itulah sebabnya para nelayan harus lebih keras lagi
bekerja mengumpulkan hatinya.
"Biarpun saya bekerja keras, hasil tangkapan kan tergantung pada
pancing Juga," ujar seorang nelayan yang pekan lalu pulang tanpa
hasil. Yang pasti, para nelayan memang berusaha mendapat hasil
sebanyak-banyaknya. Ada yang mujur, tapi tak sedikit yang tetap
melarat, lebih-lebih karena pihak Indofleet kurang berperan
menolong mereka. Tiga bulan lalu, misalnya, seorang nelayan
bernama Wardoyo tenggelam tanpa santunan apa pun. Indofleet
Jakarta enggan memberi keterangan tentang musibah ini.
Umumnya, para nelayan juga tak lepas dari tumpukan utang.
Terutama karena bahan bakar perahu motor tidak disediakan
Indofleet. Untuk mengarungi lautan 60 mil misalnya diperlukan 50
60 liter bahan bakar @ Rp 225--harga ini karena nelayan
berutang dulu pada toko yang tak jauh dari pantai. Jangankan
untuk membayar bahan bakar. Sehingga keuntungan menjual hati hiu
botol tak banyak berarti.
Repotnya lagi, tidak setiap hari mereka dapat melaut. Setahun
hanya melaut enam bulan, karena enam bulan sisanya badai sangat
ganas. Setiap bulan pun mereka hanya melaut 24 hari, enam hari
lainnya tak berani turun, yaitu karena dua hari bulan purnama
(laut pasang) dan empat hari lainnya malam Jum'at. Nelayan
Pameungpeuk pantang menangkap ikan pada malam Jum'at. Asal-usul
kepercayaan ini tidak jelas.
Namun tampaknya para nelayan itu sudah terjerat betul oleh
jaringjaring Indofleet. Dan mereka juga sudah pasrah. Untuk
menangkap ikan lain, tongkol atau cakalang yang berharga Rp
400/kg misalnya, sebenarnya bisa. Tapi tak berani, sebab mereka
menggunakan perahu dan motor tempel milik Indofleet. Kalau
ketahuan petugas perusahaan tersebut, kedua peralatan itu bisa
diminta kembali.
Kalaupun mereka tidak lagi mengabdi pada Indofleet, lantas
mencari ikan di kawasan lain, walaupun sesungguhnya bisa, tidak
juga mudah. "Sebab untuk itu, saya harus minta iin kepada
Petugas Keselamatan Laut," kata nelayan Umar dengan kesal.
Menurut petugas Keamanan Laut itu, Adjusdin, yang merangkap
manajer Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di desa itu, surat itu
"untuk menjaga keselamatan dan untuk menilai konduite mereka."
Cuma saya yang, Adjusdin nampaknya tak memikirkan cara
menyelamatkan periuk nasi nelayan miskin itu.
Karena itu bisa dimaklum kalau sekarang mulai banyak nelayan
yang diam-diam meninggalkan Indofleet. Buktinya dari 25 perahu
engklek yang semula melaut, kini tinggal tujuh buah saja yang
berlayar. Entah bagaimana nelayan yang membelot itu mencari
makan. Padahal menurut Idom, Kepala Desa Kiara Kohok, "penduduk
disini tak punya penghasilan lain kecuali turun ke laut."
Desa itu dihuni 200 kk--nyaris tak ada yang berusaha menolong.
Dan KUD yang baru akan dibentuk di sana pun belum tentu mampu
membantu mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini