DI malam ketika D TVII menayangkan siaran langsung pertandin~an bola Kamerun lawal Argentina, di Pondok Pesantren Al Muayad, Solo. Sejumlah santri asyik nonton bintang ternama Maradona berebut bola. ~Tiba-tiba keasyikan mereka terganggu. Bukan karena pesawat TV mereka rusak ~tau Maradona kalah. Tapi ~carena di layar TV muncul tulisan bahwa "Siaran ini terlaksana atas kerja sama Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial SDSB dan partisipasi Anda membayar iuran televisi." Apakah para santri itu belum membayar iuran televisi? Bukan itu soalnya. Pasal yang berkait dengan SDSB, itulah masalahnya. Sudah sejak awalnya, ada yang berpendapat bahwa SDSB haram hukumnya. Di Provinsi Aceh dan Timor Timur, misalnya, kupon berhadiah tertinggi Rp 1 milyar itu tak beredar. Juga di sebagian besar daerah di Sumatera Barat. "SDSB itu haram, karena kegiatannya mengandung unsur judi," ujar Achmad, salah seorang santri dari Pesantren Al Muayad itu. Maka, ia bertanya-tanya, haramkah nonton siaran TV yang terlaksana antara lain berkat dana dari SDSB. Segera diskusi kecil berlangsung di tempat itu sambil para santri terus nonton Maradona mengejar bola. Achmad, 19 tahun, asal Ponorogo, Jawa Timur, tak menemukan jawaban. Juga para santri yang lain. Ini menjadi ganjalan bagi Achmad dan teman-temannya. Soalnya, masih akan ada pertandingan-pertandingan menyusul, dan mereka -- seperti umumnya orang Indonesia -- sangat gemar bola. Apalagi ini pertandingan puncak yang cuma diadakan empat tahun sekali. Yang jadi ganjalan itu, mereka takut mengerjakan perbuatan yang belum jelas hukumnya. Kegelisahan para santri terdengar oleh pimpinan pondok, K.H. Abdul Razzaq. Dengan hati-hati Kiai ini memberikan jawaban. Baginya, persoalan hukum antara SDSB dan menonton acara TV yang dibiayai SDSB harus dipisahkan. Seperti orang kawin, katanya, empat perkawinan sah hukumnya, tapi tidak sah pada perkawinan yang kelima. "Kalau menonton televisi dengan niat bahwa kita telah membayar pajaknya, ini berarti kita mengambil hak kita," ujar sang Kiai, tegas. Toh dengan hati-hati Abdul Razzaq, yang juga Ketua PB NU cabang Solo, menambahkan bahwa pendapatnya adalah pendapat pribadi. Maksudnya, itu bukan pendapat resmi NU cabang Solo. Lain pendapat Kiai, lain pula keputusan sidang Syuriah NU Solo, 8 Juni, pada hari siaran langsung Kamerun-Argentina. Menurut Lukman Suryani, Sekretaris Syuriah NU Solo, sidang itu memutuskan bahwa SDSB haram, dan menonton siaran pertandingan sepak bola yang dibiayai SDSB juga haram. "Setuju pada ketentuan hukum, konsekuensinya harus setuju pula pada produk output hukum tersebut," katanya. "Kalau SDSB itu haram, maka produk-produk dari SDSB itu juga haram." Keputusan Syuriah NU Solo pun dimasukkan dalam agenda Konperensi Wilayah NU se-Jawa Tengah, 15-17 Juni. Maka dalam sidan~g komisi Ma'sail Diniyah (komisi yang membicarakan masalah-masalah agama), soal SDSB dan World Cup pun masuk acara. Tapi rupanya begitu banyak masalah yang dibahas sidang tersebut, hingga soal SDSB dan pertandingan bola tertunda. Sidang yang dipimpin oleh K.H. Amin Saleh (Wakil Rais Am NU Jawa Tengah) dan 75 anggotanya ini memasukkan acara SDSB pada urutan ke-10 dari 29 masalah yang hendak dibahas. Cuma, sidang Sabtu malam pekan lalu, yang baru dimulai pukul 9 malam, hanya sempat membahas tiga topik pertama, antara lain soal nasib anak di luar nikah. Ketika jam menunjuk pukul satu dini hari, sidang ditutup, karena peserta sudah sangat lelah -- bukan karena waktu itu TVRI (berkat dana SDSB dan iuran TV) menyiarkan langsung pertandingan Inggris lawan Belanda. Padahal, para kiai sudah siap berdebat. K.H. Abdul Hamid, pengurus NU cabang Ngasem, Jawa Tengah, misalnya, sependapat dengan Kiai Abdul Razzaq. Begitu pula K.H. Imron Abu Umar, salah seorang pengurus NU Jawa Tengah juga, yang lebih menekankan pada "siaran ini berlangsung berkat iuran Anda". Tokoh NU pusat yang hadir, seperti K. H. Wahid Zaini, Ketua Umum PP Rabitah Ma'ahid Islamiyah, dan Mustafa Zuhad, Sekretaris Pusat PB NU, pun mengatakan bahwa nonton pertanding~an bola yang disponsori antara lain oleh dana SDSB "boleh-boleh saja". Di Solo, Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid tidak hadir. Ia menghadiri Munas GP Ansor, organisasi pemuda NU, di Ujungpandang, pekan lalu. Dari Ujungpandang, ia ke Surabaya dan Sabtu malamnya memberikan ceramah di pertemuan AMPI. Sehabis ceramah itulah ia diwawancarai TEMPO. Ternyata, penggemar bola ini tak sependapat dengan keputusan NU Solo. "Wong, wakaf masjid dari orang kafir saja sah," kata Ketua Tanfidziyah NU ini. "Jika SDSB itu dianggap judi, kan yang menang~gung dosanya ~yang membuat SDSB, dan tak berarti dosa itu menimpa kepada yang melihat televisi." Simpul kata, dalam NU sendiri ternyata masih ada berbagai pendapat. Mungkin karena, dalam Islam, di samping haram ada yang disebut wara. Yakni sikap yang sangat berhati-hati, yang tidak cepat memutuskan apakah suatu hal itu haram atau tidak. Bagi para kiai yang sudah mendalami agama, secara pribadi tentulah masalah ini mudah diputuskan. Bagi Ahmad dan teman-teman santrinya, keputusan yang sesuai dengan akal dan hati itulah yang mereka harapkan -- sementara mereka terus mengikuti pertandingan di Italia itu. Julizar K~asiri, K~astoyo R~amel~an, W~ahyu Muryadi, Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini