AKSI unjuk rasa antiIndonesia di ibu kota Australia, Canberra, makin sangar. Para demostran, seperti yang terjadi pada 2 Januari sore lalu, mulai "ringan tangan". Mereka mencegat mobil-mobil diplomat Indonesia, menimpukinya dengan batu dan botol-botol sampai kaca-kacanya berantakan. Bahkan, ada yang sempat naik ke atap sebuah mobil dan menginjak-injaknya. Menteri Luar Negeri Ali Alatas tentu saja berang. Dubes Australia di Jakarta, Philip Flood, dipanggil ke kantornya, di Pejambon, Jumat pekan lalu. Kepada Flood, Ali Alatas menyampaikan nota protes mengecam aksi kekerasan itu dan menuntut jaminan dari pemerintah Australia agar kejadian serupa tak terulang. "Kami mengajukan protes keras," kata Ali Alatas. Demonstran yang melakukan tindak kekerasan itu, menurut saksi mata, jumlahnya sekitar 100 orang. Sebagian besar berkulit gelap dan berambut ikal -- imigran asal Timor Timur. Mula-mula mereka menggelar demo di depan Gedung Parlemen. Namun, para demonstran itu kecewa karena aksinya tak dilirik pers. Maklum, pers sedang sibuk meliput kunjungan Presiden Amerika George Bush ke Australia. Mereka pun memindahkan aksinya ke Yarralumla, kawasan tempat berkantornya banyak kedutaan asing. Mereka mangkal di depan kantor Kedubes RI, berkerumun di dekat tenda darurat yang didirikan sejak tujuh pekan lalu dan mereka sebut-sebut sebagai "Kedutaan Timor Timur". Menjelang sore, mereka bergerak ke Kedubes AS, tak jauh dari Kedubes RI. Mereka, konon, mencoba menarik perhatian para wartawan asing yang sedang mangkal di Kedutaan AS, menanti atraksi ulangan demo anti-Amerika. Rupanya, demonstran anti-Indonesia ini tak menarik bagi wartawan Barat. Ketika tiga mobil staf KBRI keluar, gangguan mulai datang. Batu dan botol beterbangan menerpa kaca. Dua mobil lolos. Tapi mobil paling belakang, yang ditumpangi petugas sandi Agus Prihatyono, dihadang. Kacanya dipecahkan dan atap mobil itu diinjak-injak. Untung, Agus bisa menyelamatkan diri. Lucunya, seperti disebut pada nota protes Ali Alatas, empat polisi di tempat kejadian, tak bertindak. Ketegangan berlangsung cukup lama. Pegawai KBRI terperangkap di kantornya. Mereka baru bisa pulang ke rumah pada pukul 23.00, setelah satuan polisi datang dan membubarkan kerumunan itu. Polisi tiba terlambat karena, katanya, sibuk mengamankan kunjungan Presiden Bush. Apa pun alasannya, Ali Alatas kecewa. Pemerintah Australia tak bisa memberikan jaminan keselamatan sebagaimana termaktub di dalam artikel 22 dan 25 Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik. Kalau hal ini dibiarkan, "Itu akan merusak hubungan Indonesia-Australia," ujar Ali Alatas. Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans, lewat siaran pers Kedubes Australia di Jakarta awal pekan ini, ikut menyesalkan demo di depan KBRI Canberra itu. Ketika berkunjung ke Jakarta, akhir bulan lalu, Evans juga berjanji akan menertibkan demo berbau teror, termasuk membongkar tenda Fretilin itu. Dubes RI untuk Australia, Sabam Siagian, memang belum kembali ke posnya. Karena demo di KBRI itu? "Tak bisa dirumuskan begitu. Namun, semuanya memang ada hubungannya," katanya. Aksi anti-Indonesia itu tampaknya bisa jadi bumerang bagi Australia. Perusahaan Broken Hill, misalnya, dilaporkan terancam kehilangan kontrak senilai US$ 6,1 juta gara-gara buruh pelabuhan Australia menolak pengapalan 30 ribu ton slab baja untuk Krakatau Steel. PTH (Jakarta) dan Dewi Anggraeni (Australia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini