SUARA azan subuh belum terdengar, tapi Pesantren Salafiyah Syafiiah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Sabtu 8 Desember lalu, telah hidup. Puluhan ribu orang berseliweran memadati pesantren seluas 7 hektar itu. Makin siang, pengunjung makin membanjir. Kendaraan bermotor pagi itu harus parkir 7 km dari pesantren. Daerah sekitar masjid yang paling padat, karena di situlah pusat keramaian pembukaan Muktamar NU ke-27. Penjagaan keamanan ketat. Suasana pesantren sendiri mirip pesta rakyat. Sekitar 90 stand, yang menjual kaset, kalender, pakaian, sampai barang elektronik, menempati areal 1,5 hektar. Ratusan pedagang kaki lima ikut meramaikan suasana. Tenda-tenda berwarna hijau berisi sekitar 2.000 veldbed, bantuan dari Kodam Brawijaya, memenuhi halaman. Tenda terbesar, seluas 4.000 m2, memayungi halaman dekat masjid, tempat upacara pembukaan. Sejak pukul 08.00, sekitar 6.000 peserta muktamar serta para undangan telah siap menunggu kedatangan Presiden Soeharto yang akan membuka muktamar. Menjelang kedatangan Kepala Negara, ada acara pendahuluan: pembacaan surat Al-Fatihah 41 kali, disusul pembukaan selubung lukisan yang melatarbelakangi podium. Kecuali lukisan K.H. Hasjim Asy'ari, pendiri NU, ada juga lukisan K.H. Wahid Hasjim, pimpinan NU pertama. Pada saat mobil hitam Indonesia I memasuki halaman pesantren, salawat badar (salawat khas NU) dilagukan secara spontan oleh hadirin. Begitu keluar dari mobil, Presiden langsung berangkulan dengan pimpinan pesantren Sukorejo, Kiai As'ad Syamsul Arifin. Lalu bersalaman dengan Kiai Masjkur, Ali Ma'shum, Idham Chalid, dan Abdurrahman Wahid. Seorang gadis kecil mengenakan jilbab (kerudung) mengalungkan bunga buat Ny. Tien. Jika dalam munas ulama tahun lalu AlFatihah mengawali pembukaan, kali ini diganti dengan lagu Indonesia Raya, yang dibawakan korps musik Kodam Brawijaya. Rangkaian salawat badar, yang disusul Indonesia Raya, tidak terasa janggal. Itu seakan pertanda berlangsungnya suatu acara religius yang sekaligus bersifat nasional. Percampuran itu juga terlihat tatkala Presiden memukul beduk - iramanya persis seperti suara beduk menjelang salat Jumat tanda muktamar resmi dibuka. Kehadiran Kepala Negara, dan kesediaannya membuka muktamar, mempunyai arti penting. Bukan itu saja. Sepuluh pejabat tinggi - dari Menko Polkam, Mendagri, sampai Pangab - secara bergiliran memberikan ceramah. Semua itu menunjukkan betapa mesranya hubungan NU dengan pemerintah sekarang. Padahal, dua tiga tahun lalu hubungan itu masih mengalami kortsluiting. Muktamar ke-27 ini sekaligus juga merayakan keutuhan NU kembali, setelah bertahun-tahun tercabik-cabik dalam dua kelompok: Cipete (Idham Chalid) dan Situbondo (ulama). Rujuk yang tercapai di Surabaya, September lalu, memang yang membuka pmtu bagi terselenggaranya muktamar. Baru setelah para ulama erkemuka NU, yang semula bersengketa, menghadap Presiden akhir September lalu, Kepala Negara menyetujui penyelenggaraan muktamar walau UU Keormasan belum lahir. (TEMPO, 29 September 1984). Terselenggaranya muktamar itu juga berkat rintisan Munas Ulama tahun lalu, yang menerima asas tunggal Pancasila. Munas itulah yang lebih lantang menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah 1926, NU kembali sebagai lembaga sosial dan keagamaan. Kembalinya NU sebagai jamiyah berarti mengembalikan kedudukan ulama sebagai pimpinan tertinggi dalam organisasi. Dan tampaknya dominasi ulama dalam kepengurusan NU mendatang telah "diamankan" dengan diterimanya tata cara pemilihan pengurus. (Lihat: Kembali ke Pemilihan Zaman Nabi). Sebenarnya, menurut Anggaran Dasar NU, kedudukan syuriyah berada di atas pelaksana (tanfidziyah). Namun, semasa NU ikut berpolitik praktis, kepemimpinan tanfidziyah lebih menonjol, terutama pada saat Idham Chalid menjadi ketua umum. Tatkala menjelang Pemilu 1982 NU dikecewa kan oleh pimpinan PPP - karena banyak calon NU disisihkan J. Naro rasa muak terhadap politik praktis mulai menebal. Beberapa peristiwa lain yang makin memojokkan NU kemudian memperbesar ketidakpuasan tersebut. Yang paling menonjol adalah peristiwa pengunduran diri Idham Chalid, yang kemudian dicabutnya lagi. Imbauan pemerintah agar semua ormas menerapkan asas Pancasila mengguncangkan dan lebih memecah belah NU, hingga dianggap mengancam eksistensinya. Dan di saat seperti itulah elastisitas NU muncul kembali. (Lihat: Selama AlBarzanji Masih Dibaca Orang). Muktamar ke-27 ini memang berbeda dengan sebelumnya. Menurut laporan ketua panitia muktamar Abdurrahman Wahid pada acara pembukaan: Pertama, orientasipolitik praktis akan dialihkan pada masalah kemasyarakatan secara luas, seperti memerangi kemiskinan dan kebodohan. Kedua, "Saat ini NU mengalami pergantian kepemimpinan, dari generasl tua kepada yang lebih muda," ujar Abdurrahman. Selain itu, semakin kuat tuntutan kaum Muslimin agar hubungan Islam dengan Pancasila dirumuskan secara jelas dan tuntas. Sikap NU terhadap Pancasila ditegaskan lagi oleh Kiai As'ad, yang menyambut sebagai sohibl bait (tuan rumah). "NU berkeyakinan, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila selaras dengan Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi umat Islam, khususnya warga NU, merupakan pencerminan kalimat Tauhid. Empat sila selanjutnya mengandung kewajiban bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan negara dengan masyarakatnya yang aman sentosa, tentrem kertoraharjo, penuh taqwa kepada Allah Swt.," katanya. Dalam amanatnya, untuk kesekian kalinya Presiden mengulangi, "Bagi kita, Pancasila sebagai dasar negara merupakan masalah yang telah rampung tuntas." Tentang peranan agama, Kepala Negara juga mengulang, "Dalam negara Pancasila, setiap warga negara memperoleh motivasi dan inspirasi dari agama dan kepercayaannya yang mereka anut masing-masing dalam memikul tanggung jawab bersama membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya." Tampaknya pemerintah sangat gembira dengan langkah NU kembali ke khittah 1926. Dengan menjauhi politik praktis, dengan sikap yang menerima Pancasila, dengan kecenderungan NU yang lebih suka mencari kompromi dan menjauhi kekerasan, NU yang merupakan organisasi Islam terbesar memang diharapkan bisa berperan banyak. "NU yang diharapkan pemerintah adalah NU yang bisa membina dan mengembangkan agama Islam yang baik, dalam konteks negara Pancasila yang membangun," kata seorang pejabat tinggi. Menurut pejabat tadi, mestinya Pancasila merupakan masalah yang sudah tuntas karena sudah diterima bersama sebagai dasarnegara. "Tapi kita mesti mengakui, sikap Islam terhadap Pancasila ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas. Jika sikapnya negatif, stabilitais. terganggu," ujarnya. Karena itu, sikap NU sangat menggembirakan pemerintah. "Kalau muktamar NU ini berhasil, ini merupakan awal dari kebangkitan Islam yang betul, sekaligus juga stabilitas politik yang sehat," katanya. Singkat kata: pemerintah rupanya mengharapkan NU berperan banyak untuk bisa mengurangi atau mengerem tumbuhnya ekstremitas di kalangan umat Islam, sehingga bisa ditumbuhkan menjadi "Islam yang baik". Tapi apakah NU bisa memenuhi peran dan harapan besar itu? Abdurrahman Wahid, yang konon pasti terpilih sebagai ketua PB Tanfidziyah, tampaknya cukup optimistis. "NU akan lebih menekankan Islam yang keindonesiaan, Islam yang lebih menekankan pada integrasi nasional," katanya dalam suatu wawancara. Ia menginginkan agar NU tanggap terhadap masalah kemasyarakatan yang nyata, dan berusaha mencari penyelesaian dan pemecahannya melalui sumber yang dimiliki, yakni sumber yang bercorak kultural santri. "Misalnya sebuah pesantren yang berfungsi mengatasi masalah narkotik," katanya. Dalam lima tahun mendatang, akan diselenggarakan latihan-latihan khusus untuk membentuk managerial skill. "Untuk itu, keluarga NU akan bekerja sama dengan beberapa lembaga seperti Yayasan Bina Desa dan Dian Desa," katanya. Kendati begitu, "Dalam intinya, saya ingin NU yang tetap tradisional, tapi bisa memasakinikan dirinya sendiri."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini