SUKA atau tidak, bahan yang bernama sodium nitrit (NaNO2) dan anominium bikarbonat (NH3HCO3) sering hadir di antara makanan kita. Sodium nitrit dipakai sebagai pengawet dan pemberi warna merah segar pada daging. Sedangkan amonium bikarbonat disukai orang lantaran bisa membuat biskuit dan kue menjadi mekar, montok, dan renyah. Dengan mata telanjang, keduanya memang mirip: bentuknya berbutir-butir putih, menyerupai kristal gula pasir. Hanya saja, butiran amonium bikarbonat lebih putih, dan ukuran butirnya lebih besar. Namun, jika hanya lewat pengamatan atas warna dan bentuk secara sepintas, "Keduanya sulit dibedakan," ujar Prof. F.G. Winarno, guru besar kimia pangan di IPB. Perbedaan fisik yang tipis itu makin sulit dikenali manakala keduanya terbungkus kantung plastik yang labelnya telah aus tak terbaca. Kesulitan itulah yang muncul ketika kapal Sun Kung 5, yang berlayar dari Hong Kong, merapat dan membongkar muatan di Pelabuhan Tanjungpriok, April silam. Akibatnya, sebagian amonium bikarbonat pesanan PT Firman Jaya Abadi secara tak sengaja tertukar oleh sodium nitrit yang diimpor Panca Kesuma Aneka -- entah kenapa dimuat palka yang sama. Dalam catatan kepolisian, ada 18 sak (setiap sak 25 kg) sodium nitrit yang masuk ke rombongan amonium bikarbonat. Alhasil, bahan NaNO2 itu nyelonong ke pabrik biskuit dan berbuntut pada keracunan masal. Sebetulnya, ada ciri khas yang membedakan sodium nitrit dengan amonium bikarbonat. Bahan yang pertama nyaris tak berbau dan bersifat higroskopis: pada udara lembap seperti di pelabuhan, dia menyerap air dari udara sehingga agak basah. Yang kedua tak higroskopis, tapi aromanya menyengat, mirip bau air seni Namun, sifat-sifat itu tampaknya tak dipahami oleh para pekerja pelabuhan. Maka, setelah lewat proses jual beli, sampailah sodium nitrit itu ke dapur pabrik biskuit CV Gabisco, PT Lonbisco, keduanya di Tangerang, dan PT Toronto (Palembang), PT National Biscuit (Medan), dan PT Ratu Layang Indah (Pontianak). Aneh juga, di perusahaan biskuit tersebut, NaNOz itu masih saja disangka amonium bikarbonat. Bahan beracun itu pun masuk ke dalam adonan biskuit, lalu menebar petaka. Lolosnya NaNO2 ke adonan biskuit itu membuat Hetty Silalahi, manajer pengawasan mutu pabrik roti PT Bukit Manikam Sakti (MBS), Bekasi, geleng-geleng kepala. "Mestinya, adanya sodium nitrit itu bisa diketahui ketika dilakukan pemeriksaan bahan baku," ujarnya. Dari bau dan bentuk fisiknya saja, kata Hetty, mestinya petugas pabrik tahu bahwa bahan baku biskuit itu telah tertukar. Kesembronoan kelima pabrik biskuit itu disesalkan pula oleh Jogi Hendra Atmadja, Dirut PT Inbisco Niaga, yang antara lain memproduksi permen Kopiko dan cokelat Beng-beng. Isu biskuit beracun yang meledak pekan-pekan belakangan itu telah memangkas produksinya hingga anjlok sampai 50%. "Padahal, produk kami tidak tercemar," ujarnya. Jogi menyadari bahwa fasilitas pendeteksi bahan beracun tak tersedia di pabrik biskuit pada umumnya. "Sebab, kasus keracunan itu tergolong langka," tuturnya. Namun, lewat kontrol bahan baku, pengawasan proses pengolahan, dan standardisasi produk secara ketat, kecelakaan fatal akibat pencemaran bahan beracun bisa dihindarkan. Ambil contoh pencemaran NaNO2 tadi. "Biskuit yang tercemar lebih ringan timbangannya atau buntet," kata Halim Atmadja, General Manager PT Inbisco. Sebab, masuknya sodium nitrit itu tentu merebut jatah amonium bikarbonat, yang memekarkan biskuit. Dengan ilmu hitung SD, menurut Halim, kesalahan itu mudah diketahui. "Bila biasanya satu bungkus berisi 20, kok tiba-tiba bisa jadi 30, tentu ada yang nggak benar," tambahnya. Kendati telah berpengalaman selama 40 tahun, menurut Jogi, perusahaannya tetap berhati-hati menangani bahan bakunya. Amonium bikarbonat yang dibeli dari Sumitomo Jepang sebanyak 1 ton per bulan, misalnya, tak akan masuk ke dapur pabrik sebelum diperiksa ulang oleh petugas berpengalaman. Karung amonium bikarbonat yang belum diperiksa itu diembargo dulu, dan ditempeli kertas kuning. Jika tak ditemukan gejala yang mencurigakan, kertas kuning diganti hijau. Tapi, jika mutunya dianggap tak memenuhi syarat --terlalu basah, warnanya kurang putih, atau baunya aneh, misalnya -- karung itu ditempeli kertas merah. "Dan segera kami kembalikan ke pemasok," kata Jogi. Dengan permainan warna itu, kode-kode perusahaan mudah dipahami oleh karyawan dari golongan mana pun. Munculnya biskuit beracun diduga lantaran kelima pabrik itu kurang ketat mengawasi proses produksi. Ada kemungkinan, biskuit buntet itu telah diketahui oleh pekerja pabrik. Tapi bukannya memeriksa ulang bahan baku, mereka malah menambahkan amonium bikarbonat lagi. Penambahan bahan kimia itu memang bisa membuat biskuit menjadi mekar sebagaimana biasa. Tapi kesalahan pertama jadi tak tertangani. Senyawa NaNO2, menurut Prof.F.G. Winarno, menjadi tak berbahaya jika digunakan sebagai bahan pengawet daging, selama dalam batas konsentrasi 200 ppm. Artinya, untuk setiap 1 kg daging, hanya boleh digunakan 200 miligram sodium nitrit. Pemakaian dalam batas itu justru bisa bisa menekan bakteri pembusuk. Dalam sayatan daging, gugus nitrit pada NaNO2 akan dipecah menjadi NO (nitrosa), yang gampang menggandeng pigmenmyoglobin dalam daging, dan pigmen heme dalam darah. Reaksi itu akan membentuk senyawa nitro-samichromogen dan nitro-sochemochromogen. Keduanya berwarna merah jambu segar. "Senyawa itulah yang memoles korned menjadi berwarna menarik," ujar Prof. Winarno. Namun, dalam jaringan hidup, gugus nitrit itu menjadi sangat berbahaya. Dia akan meracuni darah, dan bisa menyebabkan kematian. Tapi kehadirannya dalam biskuit ternyata bisa dideteksi secara mudah, seperti yang diusulkan PT Inbisco Niaga pada pertemuan pengusaha biskuit/makanan dengan pejabat Departemen Perindustrian di Jakarta, Rabu pekan lalu. Cara ini praktis dan murah. Pengetesan itu-hanya memerlukan 3 macam larutan: larutan asam cuka 30%, larutan asam sulfanil 1%, dan larutan alfa-naftilamin 0,3%. Dalam pemakaiannya, larutan pertama, kedua, dan ketiga dicampurkan, masing-masing 10 tetes. Biskuit yang hendak diuji dilarutkan pula ke dalam air suling, dengan kadar 10%. Lalu, larutan biskuit itu dimasukkan ke dalam larutan campuran yang bening itu. Jika pencampuran itu memberikan warna merah pada larutan, "berarti biskuit itu mengandung nitrit," ujar Jogi. Dirut PT Inbisco itu yakin bahwa pabrik-pabrik yang tak punya laboratorium pun bisa mencobanya. "Jangan hanya menggantungkan diri sepenuhnya pada laboratorium pemerintah, yang kini sibuk menguji ribuan sampel," ujarnya. Metode yang ditawarkan Inbisco itu rupanya disetujui oleh Departemen Perindustrian. Bahan baku tanpa label jelas, yang diterima tanpa protes oleh kelima pabrik biskuit itu, juga disayangkan oleh Dr. Harlem Marpaung, ahli kimia analisis dari USU Medan. Di laboratorium kimia saja, yang tak berhubungan dengan konsumen "bahan kimia yang labelnya tak terbaca harus langsung dibuang," ujarnya. Keteledoran itulah yang membuat Harlem menyimpulkan, kelima pabrik biskuit itu pasti tak mengontrol mutu produk. Tudingan ini dibantah Susanto, pemilik PT Lonbisco, Tangerang. "Kami mempunyai seorang petugas quality control yang telah berpengalaman 10 tahun," ujarnya. Diakuinya, ia tidak pernah membaca aturan Good Manufacturing Practise yang dikeluarkan Depkes, tapi dia bersikeras, "Kami telah berproduksi selama hampir 20 tahun. Kami nggak mungkin salah." Namun, pemeriksaan Mabes Polri menyimpulkan, "Mereka tak punya lab, tak seperti yang yang tercantum dalam surat izinnya," ujar Direktur Serse Mabes Polri, Brigjen. Koesparmono. Anehnya, selama ini kelima pabrik itu aman-aman saja. Maka, pada saat musibah biskuit beracun itu meletup, para aparat sendiri yang kelimpungan, karena pabrik-pabrik itu tak bisa mengetes produknya. Lalu pemilik pabrik kena gebrak. Tapi, "Percuma saja mereka marah-marah, kalau penanggulangannya tak ada. Pabrik-pabrik tak diberi tahu bagaimana caranya menguji pencemaran," kata Jogi. Prof. F.G. Winarno menyarankan, selain meningkatkan pengawasan, proses pemberian izin untuk memproduksi dan menjual makanan tertentu yang terkemas dan terolah seyogyanya diperketat. Hingga kini ada sekitar 10 ribu macam makanan yang terdaftar dengan biaya registrasi Rp 1.000 dan berlaku 5 tahun. "Menurut saya pemberian izin itu harus setelah melalui penelitian oleh Ditjen POM," ujarnya. Putut TriHusodo, Yudhi Soerjoatmodjo, Priyono B.S., G. Sugrahetty Dyan, Muchsin Lubls, dan Mukhlizardy Mukhtar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini