HEBOH biskuit beracun telah menyebabkan konsumen patah selera makan biskuit. Bahkan, mereka menganggap semua biskuit tercemar racun. Jumat lalu, sesaat sebelum pemutaran film Catatan si Boy IIIdi bioskop Empire 21 di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ketika di layar muncul iklan biskuit Marie Regal yang menayangkan adegan seorang anak makan biskuit kontan sebagian penonton berteriak: "Awas racun." Padahal, biskuit Marie Regal -- satu-satunya yang menggunakan SII (Standar Industri Indonesia) -- tidak termasuk yang tercemar sodium nitrat. Itulah sekilas gambaran pendapat sebagian konsumen biskuit saat ini. Pendapat umum seperti itu memang tercermin dalam hasil angket TEMPO mengenai konsumsi biskuit. Angket yang diedarkan di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Medan, Bandung, Yogya, dan Surabaya itu menjaring 375 responden kelas bawah. Ternyata, lebih dari 50% responden tidak mau lagi membeli biskuit. Bahkan sebagian besar mereka (64%) melarang semua anggota keluarga makan biskuit jenis dan merek apa pun. Ada pula responden (32%) yang tidak memberi uang jajan karena khawatir anak mereka membeli biskuit yang terkontaminasi racun. Sebagian besar responden (67%) memang masih memberi uang jajan kepada anak-anak mereka dengan pesan tidak boleh membeli biskuit merek dan jenis apa pun juga. Itu tidak berarti bahwa semua konsumen merasa terteror oleh biskuit maut. Masih ada separuh responden (51%) yang tetap membeli biskuit. Syarat mereka: biskuit itu harus merek terkenal -- yang kira-kira tidak tercemar racun. Sebentar lagi Hari Natal 1989 dan Tahun Baru 1990 tiba. Tapi, penjualan di beberapa supermarket justru anjlok deras. Di toko swalayan Matahari di Pusat Perdagangan Senen, Jakarta, misalnya, omzet penjualan biskuit turun 50%. "Mati pasar" itu mencekam lebih dari 50 produsen lain. Rabu lalu, mereka mengeluh kepada Dirjen Aneka Industri Susanto Sahardjo bahwa omzet penjualan anjlok antara 30 dan 50%. Kapasitas ke-50 produsen 400 ton per hari. Kerugian yang ditimbulkan akibat heboh biskuit beracun menurut taksiran Departemen Perindustrian, bisa mencapai Rp 17,1 milyar setiap hari. Itu baru yang menimpa pabrik yang resmi terdaftar di Departemen Perindustrian. Belum lagi yang tidak terdaftar, seperti industri kecil atau perusahaan rumah tangga, mengingat kini konsumen sudah telanjur emoh mengonsumsi biskuit dari semua jenis dan merek. Data pabrik biskuit yang resmi saja pun rancu: yang terdaftar di Departemen Perindustrian sebanyak 57 buah, sementara di Departemen Kesehatan tercatat 125 buah. Betapapun, kasus yang meresahkan ini harus segera ditanggulangi. Sebab, bila terlambat, kerugian akan semakin membengkak. Seperti yang pernah terjadi tahun lalu ketika sejumlah makanan dan minuman diisukan mengandung lemak babi. Ketika itu, omzet penjualan produk yang diisukan haram dikonsumsi tersebut mula-mula menurun 15%, lalu merosot 60%, akhirnya anjlok sampai 80%. Kecemasan lain muncul bila importir biskuit buatan Indonesia mulai waswas, yang bisa mengakibatkan ekspor biskuit akan anjlok pula. Padahal, menurut Dirjen Aneka Industri Susanto Rahardjo, tahun lalu ekspor biskuit ke 12 negara tujuan mencapai lebih dari US$ 2,5 juta -- meningkat 52% dari 1987. Tahun ini, sampai Juni saja ekspor biskuit sudah mencapai US$ 1,8 juta. Target tahun ini adalah US$ 4 juta. Maka, bila heboh biskuit beracun ini berlarut-larut, dampaknya cukup besar juga. Untunglah, lima pabrik biskuit yang tercemar, dan belakangan ditutup, tak satu pun yang memberhentikan karyawan mereka -- agaknya, setelah diimbau oleh Pemerintah. Para karyawan itu tetap mereka gaji meski menganggur. Kelima pabrik yang tercemar itu: CV Garuda Indah Biskuit Co (Gabisco) di Tangerang dengan kapasitas produksi 400 ton per hari PT Lonbisco, juga di Tangerang, berkapasitas 9,4 ton biskuit, 42 ton wafer, 31,5 ton popcorn, 31,5 ton prawn crokers per hari, PT Toronto Biscuit di Palemban, 1.000 ton biskuit: PT National Biscuit di Medan dengan produksi 400 ton biskuit per hari dan PT Sumber Layang Indah di Pontianak -- yang belum diketahui datanya, bahkan oleh Departemen Perindustrian sendiri. Kelima pabrik yang nahas itu kini sepi. Tapi, pemilik pabrik bukannya berpangku tangan. Mereka sibuk berurusan dengan polisi atau petugas instansi yang berkaitan dengan masalah pangan dan kesehatan. Lagi pula, mereka juga harus segera menarik semua produk dari pasar. "Kalau dulu kami menjual, sekarang gantian kami yang harus membeli biskuit " kata salah seorang pemilik pabrik yang bermuka muram itu dengan kecut. Sudah sekitar 80% biskuit produk Gabisco yang berhasil ditarik dari pasaran. "Hampir semua produksi kami sudah ketarik," kata Andi Irawan, salah seorang boss pabrik biskuit Gabisco. Pabrik yang mulai berproduksi delapan tahun lalu ini terletak di tengah perkampungan di kawasan Batuceper, Tangerang, Jawa Barat. Pada salah satu sisi dindingnya terpampang motto "Ceroboh Penyebab Celaka". Tapi, peringatan untuk para karyawan ini seolah-olah juga merupakan semacam ramalan nasib bagi Gabisco sendiri.... Biskuit produksi Lonbisco, sampai Senin kemarin baru bisa ditarik sekitar 30% (senilai Rp 6 juta) dari seluruh produk yang sudah telanjur dipasarkan. Itu semua harus segera ditarik untuk dimusnahkan. "Mungkin akan makan waktu tiga bulan, sekalian berusaha memulihkan kepercayaan konsumen," ujar Susanto, pemiliknya. Pabrik biskuit yang dibangun di tepi jalan raya ini -- sekitar 100 meter dari Gabisco -- mempunyai 130 karyawan yang terpaksa dianggurkan. "Tapi, kami tetap membayar gaji mereka. Namanya juga anak buah," kata Susanto yang memasarkan biskuitnya di wilayah Jawa Barat. Biskuitnya memang produk ketengan yang dijual di warung-waraung atau pasar-pasar, untuk masyarakat "lapis bawah". Susanto yakin bahwa biskuitnya tidak tercemar sodium nitrit. Dari 80 karung amonium bicarbonat, yang diduga tercemar itu, ketika disita dari gudang, ternyata, masih terbaca labelnya dengan jelas. "Kami hanya disuruh cepat-cepat menarik produk untuk pengamanan saja. karena 80 zak amoniun bicarbonat pesanan kami kebetulan satu kapal dengan yang tercemar itu," tambahnya. Meski Selasa lalu pabriknya ditutup, Susanto masih berusaha bangkit kembali, "mungkin terpaksa ganti nama". Kini, untuk sementara, pabrik yang berdiri pada 1971 ini memang harus menyetop produksinya. "Kalau sekarang tetap berproduksi juga akan mati. Memang sulit mengembalikan kepercayaan konsumen. Kayaknya, orang sudah nggak mau terima biskuit sama sekali. Yah, biarlah nanti Tuhan yang menunjukkan jalan," katanya pasrah. Adapun biskuit produk Toronto di Palembang, sudah 90% yang ditarik dari peredaran. Sampai Senin kemarin, jumlahnya sudah mencapai 70.000 koli dengan nilai hampir Rp 1 milyar. Penarikan secara besar-besaran semua produk biskuit beracun tidak dengan sendirinya menjadi peluang bagi biskuit merek lain untuk merebut pasar. Sebab, para konsumen sudah telanjur emoh makan biskuit. Menurut Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) G.N. Kusumo, guncangan pasar itu juga menimpa lima besar produsen biskuit: Khong Guan, Robinson, Marisco, Jaya Abadi, dan Markbido Perdana. Untuk menanggulangi perasaan waswas di kalangan konsumen, GAPMMI akan segera menyebarkan surat edaran dan memasang iklan bahwa biskuit produk anggota GAPMMI tidak tercemar bahan kimia beracun. Dari 125 produsen biskuit -- di luar industri rumah tangga -- semuanya menjadi anggota GAPMMI. Sebab, semua pendaftaran produk harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi organisasi tersebut. Ternyata, kelima pabrik yang ditutup itu tidak terdaftar sebagai anggota GAPMMI. Artinya, pendaftaran produk mereka tidak mendapat rekomendasi dari wadah tunggal produsen makanan dan minuman tersebut. Yang jelas, semua produsen biskuit yang tidak beracun kecipratan getah juga. PT Nissin Biscuit Indonesia -- salah satu produsen biskuit terbesar -- yang berpusat di Ungaran, Jawa Tengah, ketika mula-mula tersiar kabar ada biskuit beracun, omzetnya naik 20%. Mungkin orang mengetahui bahwa produksi Nissin tidak beracun. Tapi, dua minggu kemudian ketika dikabarkan biskuit Khian Guan juga beracun, kontan omzet anjlok. "Orang mengira bahwa Khian Guan itu produksi kami. Padahal, bukan. Produksi kami ialah Khong Guan, bukan Khian Guan," kata Darmadji, Kepala Bagian Umum PT Nissin. Berproduksi sejak 1977, kini, Nissin mempekerjakan 975 karyawan, sehari memproduksi 5 ton biskuit. Sejak tiga tahun lalu, Nissin mengekspor biskuit ke Hong Kong, Singapura, Taiwan, AS, Timur Tengah. Rata-rata ekspor mereka setiap tahunnya 30 ton. Pabrik ini melempar lebih dari 50 macam biskuit ke pasaran dengan tiga merk dagang yang terkenal: Khong Guan, Nissin, Monde. Jaya Abadi, produsen Regal Biscuit dan Marie Regal Super sejak 1930, juga terpukul. "Pemasaran kami menurun sekitar 30%, tara saya yakin, beberapa bulan lagi pasar akan membaik," kata Effendy Rachmat, staf Bagian Umumnya. Anehnya, sementara kasus biskuit racun meledak, penjualan Regal di Jambi dan Palembang meningkat sedikit. Ini mungkin salah satu pertanda masih ada sebagian konsumen yang selektif. "Produksi kami memang untuk kalangan menengah ke atas yang tahu informasi mengenai biskuit beracun dan yang tidak," tambah Effendy. Pasaran biskuit produksi NV Singa Bisco Medan, sejak sebulan terakhir ini, juga merosot 50%. Produksinya 1 ton per hari menguasai 20% pasar di Sumatera Utara, terutama di desa-desa. "Kelesuan pasar ini paling-paling hanya tiga bulan," kata Indra Sisimarzuki, Kepala Bagian Pemasarannya. Untuk memulihkan kepercayaan konsumen, ia merencanakan melipatgandakan promosi. Ia berharap, pasaran akan membaik menjelang Tahun Baru nanti. Pabrik biskuit kecil di Bandung, Asia-Afrika Beauty Biscuit, denan kapasitas 100 kg per hari, omzetnya juga anjlok 50%. Karena merasa terkena getah kasus biskuit maut, pabrik ini mengundurkan diri sebagai peserta pameran Indo Foods di Jakarta, bulan depan. "Saya khawatir konsumen malah sebel dan mencemooh," kata Heri, pemilik pabrik yang hanya mempekerjakan 30 orang ini. Pemasaran biskuit Siong Hoe produksi PT Trifabig Surabaya, sejak bulan lalu, juga menurun 40%. Padahal biasanya mampu memproduksi lima ton sehari. Menurut salah seorang direkturnya, Lie Choi Hing, sekitar empat bulan lai kepercayaan masyarakat akan pulih kembali -- seperti pengalaman tahun lalu ketika tersiar adanya beberapa jenis makanan dan minuman mengandung lemak babi. Untuk memulihkan kepercayaan konsumen, menurut Choi Hing, penjelasan dari Departemen Kesehatan yang paling jitu. "Kalau Depkes yang ngomong, masyarakat akan percaya," ujarnya. Biskuit Sing Hoe tahun lalu termasuk yang diisukan haram dikonsumsi, karena mengandung lemak babi. Keruan saja, waktu itu omzetnya turun sepertiga dari produksi normal. Omzet PT United Waru Biscuit Mfy di Sidoarjo, Ja-Tim, juga melorot 50%. Padahal, sebelum kasus biskuit beracun, sudah menurun 30%. "Mungkin bisa melorot lagi," kata Richard Then, direktur pabrik yang mempekerjakan 600 karyawan itu. Padahal, pabrik yang berdiri sejak 1976 itu tahun ini mengekspor biskuit ke AS, Afrika, dan Timur Tengah, senilai Rp 10 juta. Ia bahkan tak hendak pasang iklan. Katanya, "Kami sudah tak bisa berbuat apa-apa. Percuma pasang iklan. Biayanya besar, biskuitnya nggak ada yang mau makan." BSH dan biro biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini