BISKUIT mari keempat baru saja disuapkan ke mulutnya. Tiba-tiba Mustofa menjerit. Tubuh bayi berumur enam bulan itu membiru. Keluarganya yang tinggal di Desa Setu Serpong, Tangerang, itu panik. Mereka melarikan Mustofa ke poliklinik Puspiptek, Serpong. Namun, Dokter Ani yang menanganinya angkat tangan -- menyerah. Berkejaran dengan maut, bayi itu segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Tangerang. Ternyata, mautlah yang menang. Tanggal 1 September 1989, Mustofa meninggal. Biskuit, tubuh membiru, dan bayi. Inilah modus baru rangkaian kematian yang ditebarkan oleh racun dalam sebulan terakhir. Seperti yang sudah terungkap, sang racun adalah sodium nitrit yang menyelinap di dalam biskuit. Yang belum banyak diketahui masyarakat luas adalah dua hal penting lainnya: bagaimana racun jenis ini beraksi dan bagaimana pula mengatasinya sekiranya racuff ini sudah tertelan dan bahkan menyebar ke seluruh tubuh. Dr. Harlem Marpaung -- dosen Kimia Analisis FMIP Universitas Sumatera Utara yang alumnus The University of New South Wales, serta Prof.Dr.Ir. F.G. Winarno -- guru besar Teknologi Pangan IPB -- dapat menjelaskan. Dalam tubuh, racun nitrit (NO2) akan berubah menjadi nitrat (NO3). Untuk perubahan itu, nitrit akan menggaet oksigen. Celakanya, oksigen yang diambil itu adalah oksigen yang terikat pada hemoglobin (Hb). Akibatnya, kata Harlem, Hb akan berubah menjadi metemoglobin (Mb). Ini fatal. Sebab, tak seperti hemoglobin, metemoglobin bukan pengangkut oksigen dalam darah. Menurut Winarno, dalam keadaan normal, darah manusia sudah mengandung Mb. Tapi, jumlahnya sangat sedikit. Hanya sekitar satu persen. Sisanya, yang 99 persen, berbentuk Hb. Dengan komposisi seperti itu, darah dapat mengangkut oksigen secara normal dan lancar. Bila darah tercemari nitrit, kandungan Mb dalam darah pun melejit. Keadaan inilah yang disebut metemoglobinemia. Transpor oksigen dalam darah pun terganggu. "Kematian bisa terjadi bila kandungan metemoglobin dalam darah di atas 70 persen," katanya. Namun, menurut ahli toksikologi Prof.Dr. Iwan Darmansjah, tak gampang mendeteksi keracunan nitrit dengan mengukur kadar Hb. "Kalau kadar hemoglobinnya diukur sepertinya normal saja," katanya. Padahal, Hb itu sebenarnya sudah tak berfungsi. Sudah terikat oleh nitrit. Yang terang, biasanya pasien merasa mual, muntah, kedinginan, dan kejang-kejang. Bibir dan ujung jari pasien akan kebiru-biruan. Yang disesalkah guru besar Fakultas Kedokteran UI ini: Departemen Kesehatan lamban bergerak. Masalahnya, kata Iwan, kasus keracunan nitrit cukup langka dan mematikan. Satu gram nitrit sudah cukup fatal bagi orang dewasa. Apalagi bagi anak dan bayi. "Cukup satu miligram sudah dapat membunuh," katanya. Nitrit memang lebih ganas terhadap anak-anak ketimbang orang tua. Sampai-sampai ada istilah, seperti yang dikatakan Harlem, blue baby -- bayi yang membiru karena keracunan. Kepekaan bayi disebabkan oleh tipe hemoglobinnya. Sekitar 60 persen kandungan Hb pada darah bayi, kata Winarno, merupakan tipe yang sangal peka terhadap nitrit. Sedangkan metemoglobin reduklase -- enzim pengubah metemalobin menjadi hemoglobin -- sanga terbatas jumlahnya. Orang dewasa? "Semakin tua usia manusia, memang semakin tahan terhadap nitrit," kata Winarno. Itu sebabnya sampai kini belum terdengar kabar kematian oran dewasa lantaran biskuit tercemar yang itu. Namun, daya tahan itu tetap terbatas. Melebihi angka atau ambang yang disebu Profesor Iwan di atas sudah pasti fatal. Untuk menangani korban-korban nitrit Menteri Kesehatan sempat merekomendasikan pemakaian norit. Sepintas pilihan ini memadai. Sebab, norit dikenal luas sebagai pengisap berbagai macam racun, dan membuangnya bersama dengan tinja. Namun, para ahli menolak pilihan ini. Winarno dan Harlem lebih merekomendasikan methylen blue sebagai pilihan. Bahan di kalangan umum dikenal sebagai obat sariawa ini harus disuntikkan secara berangsur. Dosisnya sekitar satu persen satu miligram per kilogram berat badan. Atau sampai biru nada tubuh lenyap. Yang lebih pasti adalah dengan mencuci darah sama sekali. Yakni mengganti darah pasien dengan darah segar. Memang mahal. "Tapi nyawa manusia kan lebih berharga daripada uang," begitu pendapat Winarno. Iwan bicara lebih tegas. "Methylen blue-lah satu-satunya obat untuk keracunan nitrit. Tak ada lain." Sebab, hanya MB -- singkatan nama bahan ini yang dapat melepaskan hemoglobin dari ikatan nitrit, sehingga dapat dipakai kembali untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sejak profesor itu berfatwa demikian, para dokter pun mempersenjatai diri dengan MB. Namun, persoalannya tak selesai sampai pada pengobatan. Kenyataannya, belum seluruh biskuit atau mari yang tercemar lenyap dari peredaran. Lebih dari itu, nitrit-nitrit pun masih bergentayangan dalam berbagai jenis makanan lain -- yang bukan biskuit -- tanpa disadari masyarakat. Misalnya dalam bahan yang sering disebut sendawa -- kadang dibilang salpeter. Di pasaran, bahan ini masih sering dipakai dalam pembuatan korned, sosis, dan ham. Juga dalam pengawetan daging. Winarno menduga, batasan 500 ppm sendawa atau 200 ppm sodium nitrit untuk pengawetan daging -- sering dipakai di supermarket -- banyak dilanggar. "Di Amerika saja masih sering dilanggar. Apalagi di sini." Zaim Uchrowi, Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta), Muhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini