Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH di Jalan Cendana Nomor 8, Jakarta Pusat, sepanjang Kamis pekan silam tampak sunyi seperti tak berpenghuni. Pagar rumah yang terbuat dari besi terkunci rapat. Tidak ada satu pun penjaga. Menjelang senja, lampu di ruang tamu sengaja dibiarkan mati. Entah apa yang dilakukan mantan presiden Soeharto di dalam rumah tersebut.
Menurut Anton Tabah, sekretaris pribadi Soeharto, kegiatan mantan penguasa Orde Baru itu tiap hari hanya jalan-jalan di sekitar rumah, menikmati kicauan burung perkutut dan menonton televisi. Dalam catatan perwira menengah polisi itu, Soeharto tidak pernah berkomunikasi dengan lingkungan luar rumahnya sejak Agustus 1999. Dalam keseharian, Soeharto selalu ditemani dokter pribadi dan ustad. "Pak Harto sering lupa bacaan Al-Fatihah, karena itu tiap hari salatnya harus diimami ustad," tutur Anton.
Penjagaan cukup ketat justru ada di rumah nomor 6, bersebelahan dengan nomor 8. Beberapa petugas bersafari biru tampak berjaga dengan wajah angker. Sebagian besar masih muka lama, mantan pengawal Soeharto ketika masih presiden. Di atas pagar samping kiri tampak terpasang sebuah kamera monitor. "Sampai saat ini tidak ada satu pun petugas kejaksaan yang ditaruh di sini," kata sumber TEMPO, anggota Kodam Jaya yang bertugas di sana.
Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menyalahi janjinya. Sejak status Soeharto ditingkatkan menjadi tahanan rumah 29 Mei silam, kata dia ada empat petugas kejaksaan dari bagian pidana khusus yang bergiliran jaga di sana. "Tugasnya mencatat lalu lintas tamu untuk menegakkan ketentuan dan juga memudahkan pemeriksaan," ujar Marzuki.
Benarkah tahanan rumah mempermudah penyidikan kejaksaan? "Secara yuridis, untuk kepentingan pemeriksaan tidak perlu ada tahanan rumah bagi Soeharto," kata Andi Hamzah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti. Alasannya, tidak ada tanda-tanda Soeharto akan melakukan tindakan korupsi lagi dan melarikan diri.
Bambang Widjojanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, melihat langkah tersebut sebagai respons kejaksaan terhadap tekanan publik. "Jika alasan pemeriksaan, kenapa tidak ditaruh di rumah tahanan saja agar mudah mengontrol," katanya. Pendapat senada dilontarkan J.E. Sahetapi, Ketua Komisi Hukum Nasional. "Tidak ada perbedaan berarti antara tahanan kota dan tahanan rumah selain untuk menyenangkan hati rakyat," ujarnya.
Kendati demikian, bagi Marzuki Darusman, upaya pihak kejaksaan itu sangat berarti bagi pemeriksaan. Bahkan, ia yakin, tidak sampai 10 Agustus pengusutan kasus korupsi Soeharto selesai dan masuk ke pengadilan. "Kami sudah menemukan bukti ada korupsi di sejumlah yayasan yang dia pimpin," katanya.
Menurut Marzuki, faktor kesehatan yang selama ini disebut sebagai penghalang pemeriksaan tidaklah ada. "Pak Harto bicaranya lancar. Siapa bilang ia tidak bisa memberi keterangan?" kata politisi Golkar itu.
Tetapi, dalam prakteknya, pemeriksaan terhadap sang Jenderal sering kali tersendat karena kondisi kesehatannya. Pemeriksaan pada 29 Mei lalu, misalnya, terpaksa dihentikan di tengah jalan karena Soeharto sakit. "Menurut tim dokter, keterangan yang diberikan Pak Harto tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Mohamad Assegaf, pengacara Soeharto. Hingga kini, pihak kejaksaan belum melakukan pemeriksaan lagi.
Memang, belum ada tanda-tanda pihak kejaksaan mampu mengatasi faktor kesehatan itu. Sebaliknya, Marzuki justru sibuk melontarkan gagasan—seperti akan memindahkan Soeharto dari Cendana—tanpa hasil yang jelas. Pembekuan aset kekayaan Soeharto, yang juga menjadi keinginan publik, belum juga dilakukan kejaksaan. Selain itu, ucapan Presiden Abdurrahman Wahid akan mengampuni Soeharto juga ikut mempengaruhi proses hukum yang sedang dijalankan kejaksaan.
Kecuali kalau 10 Agustus nanti bisa membuktikan kata-katanya, Marzuki sulit berkelit dari tudingan lebih mementingkan kredit politiknya ketimbang posisinya sebagai penegak hukum.
Melihat berbagai kepentingan politik yang bermain, sukar diduga ke mana kasus Soeharto akan dibawa. Bukan tidak mungkin surat perintah penghentian penyidikan diterbitkan lagi oleh jaksa agung. Kasus Texmaco bisa menjadi contoh. Meski pernah dinyatakan ada bukti korupsi, toh "senjata pamungkas" itu dikeluarkan juga oleh Marzuki.
Johan Budi S.P., Hendriko L. Wiremmer, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo