Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Partai Terbelah Sikapi Kampanye di Kampus

Partai oposisi khawatir putusan MK yang membolehkan kampanye di kampus disalahgunakan. Pemohon uji materi pun ikut kecewa.

24 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengendara melintas di dekat bendera parpol yang terpasang di kawasan Tebet, Jakarta, 17 Juli 2023. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanye menggunakan fasilitas pendidikan.

  • Putusan MK yang membolehkan kampanye menggunakan fasilitas pendidikan selama mendapat izin memang harus diatur dalam Peraturan KPU.

  • Putusan Mahkamah Konstitusi dinilai tidak sesuai dengan harapan.

JAKARTA – Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanye menggunakan fasilitas pendidikan. Dua partai oposisi pemerintah itu khawatir putusan tersebut disalahgunakan untuk kepentingan politik elektoral. "Mengapa putusan seperti ini ditetapkan menjelang pemilu? Apalagi ada frasa 'sepanjang mendapat izin'," ujar anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, Rabu, 23 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dede menilai frasa "sepanjang mendapat izin" dari penanggung jawab tempat pendidikan yang disebut dalam putusan Mahkamah Konstitusi berpotensi dipolitisasi. Wakil Ketua Komisi X DPR bidang pendidikan itu khawatir partai peserta pemilu yang saat ini menjadi oposisi pemerintah bakal sulit mendapat izin. Sebaliknya, partai di gerbong pemerintah ditengarai mendapat kemudahan mengakses fasilitas pendidikan untuk kepentingan kampanye.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Partai pendukung pemerintahan saat ini adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. "Kami khawatir frasa 'asal mendapat izin' ini rentan disalahgunakan," ucap Dede. "Kalau partai oposisi, nanti diizinkan atau tidak?"

Putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksudkan itu adalah putusan perkara bernomor 65/PUU-XXI/2023. Mahkamah membacakan putusan itu pada Selasa, 22 Agustus lalu. Putusan tersebut mengubah isi Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Awalnya, pasal itu menyatakan pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. MK dalam putusannya mengubah pasal tersebut dengan menambahkan frasa "kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu".

Frasa pengecualian tersebut sebelumnya tertuang pada bagian penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Pemilu. Bagian penjelasan inilah yang awalnya dipersoalkan oleh pemohon karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Materi Pasal 280 ayat 1 huruf h dengan tegas melarang penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye. Namun bagian penjelasan justru mengatur adanya pengecualian.

Sidang Pengujian Materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 22 Agustus 2023. ANTARA/Sigid Kurniawan

Uji materi terhadap pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi diajukan seorang karyawan swasta, Handrey Mantiri; dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Ong Yenny. Para pemohon ini sebetulnya menilai dibolehkannya kampanye di tempat pendidikan berpotensi melahirkan pemilu yang membelah institusi pendidikan. Mereka menilai kampanye di tempat pendidikan akan mencederai sistem pendidikan yang tujuan pokoknya adalah mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat. Karena itu, pemohon meminta agar penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h dihapuskan untuk memberikan kepastian hukum.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusan sependapat dengan dalil pemohon bahwa penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h menimbulkan ambiguitas. Penjelasan pasal itu pun dinyatakan inkonstitusional. Namun majelis hakim konstitusi justru memindahkan frasa pengecualian pada bagian penjelasan ke materi Pasal 280 ayat 1 huruf h. "Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan," demikian tertulis dalam bagian pertimbangan hukum putusan MK yang dibacakan pada 15 Agustus lalu.

Baca juga:
Jualan Politik di Mimbar Akademik
Alarm Politisasi Institusi Pendidikan
Resah Guru Menyongsong Kampanye Pemilu

Dede Yusuf mengatakan putusan MK itu mesti diterjemahkan Komisi Pemilihan Umum dengan bijaksana. Sebab, KPU-lah yang nantinya punya kewenangan menerjemahkan putusan itu dalam aturan teknis kampanye.

Menurut dia, KPU perlu memetakan kriteria tempat atau institusi pendidikan yang bisa digunakan untuk berkampanye selama masa pemilu. Sebab, tidak mungkin peserta pemilu berkampanye di hadapan siswa yang belum mempunyai hak pilih di jenjang taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sebagian siswa sekolah menengah atas atau sederajat.

KPU juga mesti memperjelas kegiatan kampanye yang dibolehkan atau tidak menggunakan lahan pendidikan. Penyelenggara pemilu, kata Dede, perlu melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya dalam merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu. Revisi tersebut perlu dilakukan dalam merumuskan kebijakan teknis untuk menerjemahkan putusan MK. "Jangan sampai kebijakan tersebut merugikan dan tidak memberikan kesempatan yang setara antar-peserta pemilu."

Warga saat mencoblos di tempat pemungutan suara pemilihan kepala daerah di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2020. TEMPO/Prima Mulia

Pendidikan politik bagi pelajar hingga mahasiswa penting diberikan, tapi bukan memaksa mereka terlibat langsung dalam politik praktis. Dede mengatakan Komisi Pendidikan DPR segera membahas putusan MK tersebut dalam rapat komisi. "Kami sepakat kalau regulasi ini hanya sebatas mengundang peserta pemilu untuk adu gagasan dan penyampaian visi-misi di kampus,” ucapnya. "Silakan adu gagasan di kampus dan siap untuk diblejeti. Bukan berkampanye untuk kepentingan elektoral."

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes, menyatakan tidak setuju fasilitas atau institusi pendidikan menjadi tempat berkampanye. Menurut dia, muruah lembaga pendidikan semestinya tidak tercemar kegiatan politik elektoral. "Lembaga itu difungsikan untuk proses pendidikan, bukan kepentingan politik elektoral," ujarnya.

Aktivitas politik di fasilitas pendidikan semestinya dibatasi hanya untuk penyampaian gagasan yang bisa diuji. Para peserta pemilu saat menyampaikan gagasan juga mesti mendapat kesempatan yang setara. Menurut dia, kesempatan yang setara untuk mengakses fasilitas pendidikan harus dipastikan guna menghindari ketidaknetralan lembaga pendidikan. "Kami khawatir ada penanggung jawab di lembaga pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada pihak tertentu yang diduga afiliasi politiknya sama, sedangkan yang berbeda dipersulit untuk mendapat izin." 

Perlu Aturan KPU Batasan Kampanye di Fasilitas Pendidikan 

Anggota Komisi X DPR dari PDIP, Andreas Hugo Pareira, punya pandangan berbeda. Menurut dia, putusan MK yang membolehkan kampanye menggunakan fasilitas pendidikan selama mendapat izin memang harus diatur dalam Peraturan KPU. Menurut dia, kampanye di institusi pendidikan merupakan bagian dari edukasi peserta didik di sekolah ataupun kampus. "Hanya, nanti diatur polanya dalam menyampaikan informasi dan program. Putusan MK ini mesti dijalankan karena sifatnya final dan mengikat," ujarnya. 

Andreas memahami kekhawatiran sebagian kalangan ihwal adanya potensi politisasi institusi pendidikan yang dijadikan tempat berkampanye. Karena itu, ia meminta KPU mengatur batasan kampanye yang bisa dilakukan menggunakan fasilitas pendidikan. "Para kontestan bisa memberikan pendidikan politik dengan menyampaikan gagasan. Pendekatannya tidak hanya mempromosikan diri atau politik elektoral," ucapnya.

Melalui sistem informasi dan kegiatan pemilu yang semakin terbuka, Andreas menilai upaya politisasi institusi pendidikan dan potensi mobilisasi aparatur sipil negara bisa diawasi. Partai politik peserta pemilu saat ini juga dipastikan menghindari risiko memanfaatkan fasilitas pendidikan untuk kepentingan politik elektoral karena begitu efektifnya kontrol masyarakat. "Masyarakat saat ini sudah bisa melakukan kontrol sosial," ujarnya.

Anggota Komisi X dari Fraksi PAN, Zainudin Maliki, menyambut baik putusan MK yang membolehkan partai politik peserta pemilu menggunakan fasilitas pendidikan untuk berkampanye. Menurut dia, putusan MK memberikan ruang pendidikan politik di institusi pendidikan. "Bagi politikus, bertemu dengan dunia pendidikan merupakan peluang untuk mendapat masukan dari komunitas akademik dengan pemikiran yang jernih dan obyektif," ucapnya.

Institusi pendidikan, kata Zainudin, memang harus inklusif dan terbuka terhadap dialog politik dengan peserta pemilu. Sebab, dia melanjutkan, lembaga pendidikan menjadi salah satu sarana untuk menguji gagasan dan visi-misi yang ditawarkan peserta pemilu kepada pemilih. "Institusi pendidikan justru bisa melihat lebih dalam suatu visi-misi itu rasional atau tidak. Perguruan tinggi memang harus terbuka sebagai tempat untuk berkampanye gagasan," ujarnya.

Dua petugas mencopot alat peraga kampanye (APK) calon legislatif (caleg) yang menyalahi aturan di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, 22 Agustus 2023. ANTARA/Oky Lukmansyah

Putusan MK Tidak Sesuai Harapan Pemohon 

Ong Yenny mengatakan putusan MK itu tidak sesuai dengan harapannya. Saat mengajukan uji materi tentang ketentuan larangan berkampanye di tempat ibadah, fasilitas pemerintah, dan tempat pendidikan itu, Yenny berharap MK menegaskan kembali larangan yang tertuang di Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Pemilu. "Tapi malah diberi celah untuk berkampanye."

Uji materi terhadap pasal tersebut, kata Yenny, diajukan karena awalnya tidak mengetahui bahwa ada pasal penjelasan yang menjadi celah peserta pemilu untuk menggunakan tempat ibadah untuk berkampanye asalkan mendapat undangan. Regulasi yang menjadi celah tersebut tertuang dalam klausul penjelasan Pasal 280 ayat 1 huruf h.

Menurut pemohon uji materi pasal tersebut, tidak semua orang tahu adanya pasal penjelasan yang memberikan ruang untuk berkampanye asalkan mendapat undangan. Yenny juga menilai banyak peserta pemilu yang dirugikan karena tidak memahami regulasi tersebut secara utuh. "Karena yang diketahui peserta pemilu itu tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah dilarang digunakan untuk berkampanye pemilu," ujarnya. "Saya pun tahunya bahwa semua tempat itu dilarang."

Yenny sepakat bahwa tempat ibadah, fasilitas pemerintah, dan tempat pendidikan harus steril dari kegiatan politik praktis. Karena itu, ia mengajukan gugatan agar tempat tersebut tidak digunakan untuk kampanye. "Tapi putusan MK malah memberi celah untuk fasilitas pemerintah dan pendidikan menjadi tempat kampanye dengan penambahan frasa 'sepanjang mendapat izin'," ucapnya.

"Padahal saya maunya pasal penjelasan itu dihapus saja. Jadi, tidak ada lagi kampanye di tempat ibadah ataupun fasilitas pemerintah dan pendidikan. Sebab, memang tidak layak tempat-tempat itu untuk berkampanye."

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus