JARUM sejarah kita putar balik pada 37 tahun silam. Ketika itu rakyat AsiaAfrika lemah karena terjajah. Perang dingin memecahkan perang lokal di Korea, Indocina, dan bangsa Arab bangkit melawan Zionisme. Apa yang bisa diperbuat di tengah gencetan dua gajah yang riuh berkelahi: Blok Barat versus Blok Timur? Bung Karno punya jawaban mantap: "Kita dapat berbuat banyak. Kita dapat menyuntikkan suara akal sehat ke dalam masalah internasional. Kita dapat memobilisasi semua kegiatan spiritual, moral, dan politik AsiaAfrika untuk kepentingan perdamaian." Itulah penggalan pidato Presiden Soekarno pada pembukaan Konperensi AsiaAfrika di Bandung, 18 April 1955. Bung Karno adalah seorang di antara lima pemimpin -- Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma -- yang menggagas mobilisasi kekuatan moral rakyat Asia dan Afrika di tengahtengah tarikan dua negara super, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Itulah Konperensi AsiaAfrika yang menelorkan "Semangat Bandung", yang berintikan perdamaian, kemerdekaan, kerja sama internasional untuk kepentingan bersama, dan hidup berdampingan secara damai. Konperensi itu kemudian menjadi tonggak perjuangan bangsabangsa yang dijajah Barat di pelbagai belahan dunia. Konperensi Bandung ini berantai membangkitkan berbagai gerakan yang memuncak pada Gerakan Nonblok. Para pemimpin besar dunia -- Nasser (Mesir), Tito (Yugoslavia), Nehru (India), Kwame Nkrumah (Ghana), dan Soekarno (Indonesia) -- di Majelis Umum PBB ke 25, tahun 1960, menyuarakan resolusi untuk meredakan ketegangan Timur dan Barat, mendesak diadakannya perundingan antara dua musuh bebuyutan itu, dan mencegah konflik terbuka. Resolusi ini berlanjut dalam bentuk gerakan yang tak mau terlibat atau terikat oleh dua blok besar itu. "Forum Nonblok ini anak kandung Konperensi Bandung," kata Roeslan Abdulgani, Sekjen Konperensi AA. Tiga tokoh utama pendiri Nonblok, Tito, Nehru, dan Nasser, menyiapkan sejak awal 1950an, dan semakin intensif ketika pecah Perang Korea. Dalam KTT pertama di Beograd 1961, Bung Karno dan Nkrumah disebut pula sebagai ikut mendirikan gerakan itu. Namun, hubungan Indonesia dan Nonblok mengendur ketika Bung Karno ingin mengulang sukses Konperensi AsiaAfrika yang akan digelar di Aljazair 1965. Ia tak memasukkan Yugoslavia, malah mengikutsertakan Cina yang bertikai dengan India soal Tibet. Menjelang KTT Nonblok di Kairo 1964, Tito dan sejumlah negara pemprakarsa berusaha mematahkan saingan Nonblok itu. Tito sebagai ketua Nonblok menggerakkan negara Amerika Latin untuk memperkuat Nonblok dan membentuk UNCTAD sebagai wadah kerja sama ekonominya. Tito juga menemui Presiden Mesir Nasser, Presiden Aljazair Ben Bella, dan sejumlah pemimpin Afrika untuk mencegah munculnya "kekuatan baru" Bung Karno. Politik luar negeri Indonesia ketika itu memang radikal. Terutama setelah konfrontasi dengan Malaysia. Pada peringatan ulang tahun Indonesia ke18, Bung Karno mencanangkan "Nefo" atau New Emerging Forces untuk menghadapi kekuatan yang dicapnya sebagai old established order. Bung Karno memang ingin menggalang persatuan bangsabangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, ditambah negaranegara sosialis dan golongan-golongan progresif di negara kapitalis. Radikalisme itu mencuat ketika Indonesia akan menggelar peringatan dasawarsa Konperensi Bandung, 1965, sampai menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Di Aljazair kelak, Bung Karno mempersiapkan kelahiran "Conefo" (Conference of New Emerging Forces) sebagai saingan KTT Nonblok II Kairo. Ambisi Bung Karno kempis. Selain ada tentangan keras dari anggotanya, terjadi kudeta di Aljazair. Ben Bella jatuh Juni 1965. Tiga bulan kemudian, Bung Karno sendiri harus menghadapi G30S/PKI. Indonesia mencoba berbalik setelah Orde Baru tampil. Indonesia mulai ikut di berbagai forum internasional, seperti ASEAN, PBB, Kelompok 77, dan sebagainya dengan wajah low profile. Presiden Soeharto pun hadir dalam KTT 1970 di Lusaka, Zambia. Sementara itu, modal dan pinjaman dari negaranegara Barat masuk dengan derasnya. Hal ini mengundang suarasuara sumbang pada sementara kalangan Nonblok. Indonesia dianggap bergantung pada negara kapitalis. Sebaliknya, Indonesia pun menganggap Nonblok mulai miring ke kiri. Anggota Nonblok yang jelas-jelas menerima bantuan Blok Sosialis, Kuba misalnya, tak dipermasalahkan. Pengalaman KTT 1979 di Havana justru mengecewakan delegasi Indonesia yang dipimpin Wakil Presiden Adam Malik. Sebab, salah satu deklarasi KTT itu tak mengakui integrasi Timor Timur ke dalam Indonesia. Tak heran bila Adam Malik pulang sebelum KTT berakhir. Semenjak itu, Indonesia merintis jalan ke kursi ketua. Kesempatan itu ada sewaktu KTT 1986 di Harare, Zimbabwe. Tapi, Nikaragua pun ngotot mencalonkan diri. Lantaran tiada yang mengalah, ketua Nonblok malah jatuh ke Yugoslavia. Pada KTT 1989 di Beograd, delegasi Indonesia yang dipimpin Presiden Soeharto berebut kursi ketua lagi dengan Nikaragua. Pilihan jatuh ke Nikaragua. Tapi karena kemudian menghadapi masalah dalam negeri, sekitar setahun lalu Nikaragua melepaskan peluang itu dan Indonesia menyambutnya dengan gembira sebagai tuan rumah KTT. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini