Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

106 negeri yang mencari jalur

Ktt nonblok ke-10 berlangsung di jakarta. dihadiri sekitar 60 kepala negara dan pemerintahan serta 2000 delegasi. masalah ekonomi menjadi fokus gnb. topik paling alot soal politik.

5 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Negeri yang Mencari Jalur Ada desakan, Nonblok menjadi wadah perjuangan menentang dominasi dan proteksi ekonomi negara maju. Sebagian kepala negara anti Amerika tak datang. Mungkinkah Nonblok tanpa politik? PADA tahun 1961, ada puisi Afrika yang kemudian menjelaskan latar belakang lahirnya Gerakan Nonblok: "Apabila dua gajah berkelahi, rumput-rumput pun ikut menderita". Tahun itu juga diadakan pertemuan puncak Gerakan Nonblok yang pertama di Beograd, Yugoslavia. Kini, satu gajah dunia bernama Uni Soviet sudah menjadi fosil. Tinggallah Amerika Serikat yang pelan tapi pasti menjadi "super gajah". Maka, ketika KTT Nonblok X dibuka Selasa pekan ini di Jakarta, ada pertanyaan penting: "Mau ke mana Nonblok sekarang?" Itulah tugas 57 kepala negara dan 106 negara yang datang untuk menjawabnya. Untuk itu, tuan rumah telah menggelar panggung megah untuk KTT. Balai Sidang Senayan disulap menjadi Jakarta International Convention Centre (JICC) yang megah dan mewah. Ini belum termasuk biaya penyelenggaraan KTT sebesar Rp 85 milyar. Di Plenary Hall, ruang sidang utama di JICC yang dibungkus karpet ungu muda, dua buah video wall berukuran 6,5 - 5 meter sudah dipasang di kiri dan kanan podium. Dan lewat 64 unit televisi yang masing-masing berukuran 40 inci itu akan ditayangkan gambar pembicara yang tengah memberi sambutan di podium. Sejak Konperensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, inilah perhelatan paling besar untuk tuan rumah. Sampai-sampai Presiden Soeharto berbagi tugas menjemput tamu-tamunya dengan Wakil Presiden Sudharmono. Kalau tamu negara mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Sudharmono sudah siap di sana. Dan Pak Harto menunggu tamunya di Halim Perdanakusuma. Bahkan, Minggu malam lalu, seusai menyambut Presiden Senegal Abdou Diouf, Pak Harto memutuskan untuk menginap di ruang khusus yang disediakan di Bandara Halim. Namun kemudian dibatalkan. Dan Pak Harto meninggalkan Bandara Halim pukul 21.30. Menyambut 106 negara memang bukan soal gampang. Bahkan, untuk mencari di mana letak negara Rwanda, Sao Tome and Principe, Swasi, atau Seychelles saja mungkin sudah sulit. Penduduk Seychelles, negeri kepulauan di lepas pantai barat Afrika, cuma 69.000 jiwa tak lebih seperlima penduduk Depok (Jawa Barat) yang 380 ribu jiwa itu. Soal menyiapkan bendera 106 negara tadi juga bukan hal mudah. Menteri Moerdiono sempat kaget ketika tahu panitia menyiapkan bendera 106 negara ini atas dasar contoh yang dibuat bulan Mei tahun lalu. "Padahal, ini Agustus 1992 dan banyak perubahan yang terjadi di dunia ini. Mungkin benderanya sudah bukan begitu," kata Moerdiono agak jengkel. Korps musik yang menyiapkan 106 lagu kebangsaan, perlu berlatih selama lima bulan. Sekali waktu, utusan perwakilan suatu negara di sini diminta mendengarkan lagu kebangsaan mereka. Komentar utusan itu, "Wah, itu lagu kebangsaan kami yang lama." Toh semua persiapan beres. Dan Selasa ini, sekitar pukul 08.30, para kepala negara dan istri diterima Presiden di Assembly Hall 1 JICC. Lima kursi di muka sidang diisi oleh Presiden Soeharto, Menteri Ali Alatas sebagai Ketua KTT, Nana Sutresna sebagai Sekjen KTT, Menteri Moerdiono sebagai Ketua Panitia Nasional, dan Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali. Sekitar 2.000 anggota delegasi hadir dan duduk di kursi warna peach yang diimpor dari AS. Tak seperti biasa, pembukaan KTT ini langsung diawali dengan pidato pembukaan (inaugural statement) oleh Presiden Soeharto. Tak ada serah terima jabatan Ketua Nonblok dari Yugoslavia kepada Indonesia, menyusul pecahnya negeri pendiri Nonblok itu. Dari segi jumlah kepala negara yang hadir, KTT di Jakarta ini mencatat rekor yang hampir sama dengan KTT Beograd (1989) lalu, dihadiri sekitar 60 kepala negara dan pemerintahan. Bedanya, KTT Jakarta kali ini tak begitu sepi dari para "bintang". Muammar Qadhafi, yang pernah mengumpat Nonblok sebagai gerakan lucu dan palsu, misalnya, memang tak sempat mendirikan tenda dan menambatkan tali untanya di Senayan atau halaman kedutaannya di kawasan Menteng Jakarta. Tapi Yasser Arafat, pemimpin PLO, dipastikan hadir di saat-saat terakhir. Demikian pula dengan PM Zimbabwe Robert Mugabe, bekas ketua GNB yang pragmatis dan kerap mengundang konflik dengan negara maju. Sedang, Presiden Mesir Husni Mubarak, yang pernah mengusulkan agar Gerakan Nonblok digabungkan saja dengan Kelompok 77, absen. Raja Hussein dari Yordania dikabarkan sakit. Tokoh karismatik lainnya yang belum pasti datang adalah Presiden Kuba Fidel Castro (lihat Para Bintang dari Selatan). Walhasil, kalau Castro atau Presiden Irak Saddam Hussein tak muncul, lengkaplah barisan yang selama ini bersuara keras pada Amerika Serikat absen pada KTT ini. Perang dingin sudah usai. Dan Indonesia menginginkan Nonblok difokuskan pada masalah ekonomi. Presiden Soeharto dalam konperensi tingkat menteri Biro Koordinasi Gerakan Nonblok di Bali, Mei lalu, menegaskan, "Pada tahap sekarang ini fokus perhatian Gerakan Nonblok perlu ditujukan pada masalah ekonomi. Jika hubungan Timur-Barat sudah membaik, tetap ada polarisasi yang makin tajam dalam hubungan Utara-Selatan." Pidato Presiden Soeharto ini kemudian diangkat menjadi dokumen resmi persidangan. Menteri Ali Alatas selaku chairman KTT juga menjelaskan, masalah ekonomilah yang kini menjadi prioritas utama Nonblok, walau tak mengabaikan urusan politik. Salah satu cara yang diusulkan Indonesia, memperkuat kerja sama ekonomi antarnegara Nonblok lewat Action Programme for Economic Cooperation among the NonAligned Countries (APEC). Gerakan itu juga menginginkan adanya pendekatan baru dalam pembayaran utang negara Selatan. Kata Alatas, semua langkah ini ditujukan agar Nonblok lebih membumi (lihat "Inilah Saatnya GNB Lebih Membumi"). Vietnam, negara yang kena blokade ekonomi AS, setuju kalau Nonblok difokuskan pada kerja sama ekonomi. Negara berpenduduk sekitar 67 juta jiwa dengan pendapatan per kapita US$ 215 kurang dari separuh Indonesia ini melihat potensi Nonblok sebagai kekuatan ekonomi kolektif. "Tanpa kekuatan ekonomi, Nonblok tak mungkin punya pukulan politik yang efektif. Saya kira itu sangat membantu posisi Nonblok menghadapi Amerika dan lainnya," kata Le Mai, Wakil Menteri Luar Negeri Vietnam. Menteri Koordinator Luar Negeri India, J.N. Dixit, bersuara mirip seperti Indonesia. Dixit berpendapat, Selatan punya kekuatan dalam hal sumber daya manusia. Dikatakannya, tiga setengah milyar manusia di Selatan adalah pasar untuk barang-barang dari Utara. Misalnya, penjualan senjata dari Utara yang, kata Dixit, selama ini dipakai untuk berperang oleh negara Selatan. Kalau perkembangan situasi ekonomi dan politik di Selatan bisa didorong maju, Utara tak lagi akan menjual senjata tapi traktor ke Selatan. Namun, apa boleh buat, masalah politik masih "primadona" dalam KTT kali ini. Ini sama persis dengan konperensi tingkat menteri di Bali pada Mei lalu. Di JICC, Jumat pekan lalu, ketika berlangsung senior officer meeting (SOM), topik paling alot masih soal politik. Terutama soal keanggotaan Yugoslavia negeri yang kini terpecah menjadi Serbia dan Montenegro dan dianggap bertanggung jawab atas pembantaian etnis muslim di wilayah Bosnia. Ada yang mendesak agar Yugoslavia mendaftar ulang sebagai anggota baru Nonblok dengan nama lain. Ada pula yang menginginkan agar masalah Yugoslavia tak dibicarakan. Soal ini akhirnya membuat SOM macet. Suasana "panas" juga mewarnai sidang Organisasi Konperensi Islam yang juga berlangsung di JICC pada Jumat pekan lalu. Iran dan Malaysia, contohnya, tegas menolak kehadiran Yugoslavia. Malaysia sebelumnya telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Yugo, akibat pembantaian di Bosnia. Sikap paling "moderat" dalam pertemuan OKI adalah mengusulkan agar Yugoslavia mendaftar ulang sebagai anggota baru, dengan nama lain. Usulan ini memang sama saja dengan mendepak Yugo. Esok harinya, dibuka konperensi tingkat menteri luar negeri yang dipimpin oleh Menteri Ali Alatas. Lagilagi urusan politik merebak. Dan kembali soal keanggotaan Yugoslavia mengundang debat panjang sampai macet. Maka, sekitar pukul 19.00, ketika para menteri luar negeri meninggalkan ruang Assembly Hall 2. Suasananya tampak serba tak menyenangkan. Minggu pagi acara itu dilanjutkan lagi dan akhirnya ada konsensus untuk membawa masalah keanggotaan Yugo ke konperensi menteri luar negeri Nonblok di New York, Oktober yang akan datang. Farouk Kaddoumi, Menteri Luar Negeri Palestina, rupanya bosan dengan urusan Yugoslavia ini. Namun, dia melihat Nonblok harus terus berada di jalur politik, dengan membahas persoalan yang lebih penting dari urusan Yugo. "Yang terpenting adalah demokratisasi PBB," katanya tajam. Dia mengingatkan, dua perlima anggota PBB adalah anggota Nonblok. Dan itu adalah kekuatan untuk memperbaiki operasi PBB. "Untuk mendemokrasikan PBB, bisa dengan menambah jumlah anggota Dewan Keamanan, atau mengurangi hak vetonya," ujarnya. Wakil Menteri Luar Negeri Irak Ahmed Hussein juga menegaskan bahwa Nonblok harus mengutamakan politik. "Kelemahan Nonblok adalah solidaritas yang kendur. Lihat saja Amerika Serikat yang seenaknya menetapkan no fly zone (wilayah larangan terbang) di wilayah kami. Namun Nonblok tak berdaya dan tak ada yang mendengar kami," kata Hussein. Bahkan, Hussein tegas-tegas tak setuju kalau Nonblok memprioritaskan masalah ekonomi. "Mayoritas anggota Nonblok masih miskin dan butuh bantuan negara maju. Nonblok harus menyadari keterbatasan masing-masing, dan menjalin kerja sama perdagangan antar negara Dunia Ketiga belum menguntungkan. Pembangunan ekonomi, kalau politiknya kena serangan terus, tak akan banyak hasilnya," tutur Hussein dengan tegas. Isu politik memang masih merundung Nonblok. Ada soal IrakwIran, soal Palestina, masalah Afrika Selatan, Timur Tengah, Bosnia-Hercegovina, dan lebih dari 20 isu hangat lainnya. Dengan "dapur" penuh urusan politik intern begini, akankah Nonblok melangkah mulus meniti kerja sama ekonomi dengan Utara. Sebuah tugas berat dari Jakarta International Convention Centre. Toriq Hadad, Linda Djalil, Leila S. Chudori, dan Yuli Ismartono (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus