Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pasukan 240 Miliar yang Kontroversial

Setelah Pam Swakarsa, menjelang pemilu nanti ada Ratih. Yang satu "direstui" militer, sedangkan Ratih dibentuk militer. Mengapa ide ini dianggap tidak tepat?

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Letjen Purnawirawan Hasnan Habib ngeri dengan rencana ini: rakyat direkrut, dilatih militer selama tiga bulan, dipersenjatai, lalu disiagakan menjaga Pemilu 1999 nanti. "Mengerikan sekali kalau ada rakyat berjalan-jalan sambil menenteng senjata," kata bekas kepala staf Departemen Hankam ini. Rencana kolosal menyiapkan Rakyat Terlatih (Ratih) yang mengkhawatirkan Habib itu terungkap ketika Menteri Hankam Jenderal Wiranto bertemu dengan Ketua Umum Nahdlatul Ulama di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo, Jakarta--sebuah tempat yang unik untuk bertemu--Rabu pekan lalu.

Jenderal Wiranto menjelaskan, sekitar 70 ribu anggota Ratih akan direkrut untuk membantu polisi. Dasar langkah orang nomor satu ABRI itu adalah UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang pertahanan dan keamanan negara. Dalam tahap pertama, 40 ribu orang akan disiapkan segera untuk mengamankan pemilu, yang dijadwalkan pada 7 Juni 1999. Sisanya akan disiapkan menjelang sidang MPR, yang rencananya dilaksanakan pada Oktober 1999. Menko Polkam Feisal Tandjung menyatakan bisa saja pasukan rakyat itu dipersenjatai. Tapi Jenderal Wiranto, dalam jumpa pers Minggu lalu di Jakarta, memastikan bahwa senjata yang akan dipakai hanya pentungan dan tameng.

Yang akan direkrut adalah kalangan pemuda, terutama korban pemutusan hubungan kerja. Selain dilatih militer, mereka juga akan menerima honor yang kata Wiranto "di atas upah minimum regional". Dana sudah disiapkan pihak sekretariat negara, yang mengalokasikan Rp 6 juta untuk setiap anggota Ratih sepanjang tugasnya tahun 1999. Itu berarti, menurut Akbar Tandjung, akan dianggarkan Rp 240 miliar dari APBN.

Ratih adalah satu dari dua produk Departemen Hankam yang banyak disorot. Satu lagi, Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum, yang menurut Wiranto sama sekali bukan pengganti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib)--sebuah lembaga ekstrayudisial yang luas diprotes. Pembentukan Ratih boleh jadi adalah rekrutmen kolosal pertama rakyat untuk kepentingan pertahanan sejak zaman Orde Baru. Dalam Sidang Istimewa MPR yang lalu, Jenderal Wiranto juga "merestui" adanya kelompok Pam Swakarsa--beranggota pemuda dari organisasi berbendera Islam--yang berniat mengamankan sidang.

Sayang, niat itu tak terlaksana. Dalam bentrok dengan rakyat di Cawang, Jakarta Timur, tiga anggota Pam Swakarsa tewas mengenaskan.

Kehadiran pasukan "bambu runcing" itu malah dinilai banyak kalangan justru memancing kerusuhan. Jajak pendapat TEMPO menunjukkan hal itu. Mayoritas responden TEMPO berpendapat bahwa kerusuhan sepanjang SI MPR, antara lain, dipicu oleh kehadiran Pam Swakarsa. Salah seorang anggota Pam, Wiwiet Pratiwo, mengaku di Komnas HAM bahwa militer ikut terlibat dalam pengerahan pasukan "sukarela berhonor" itu.

Adakah Ratih ini semacam Pam Swakarsa yang baru? Jenderal Wiranto menolak anggapan ini. Walau rekrutmen akan dilakukan terbuka, kata sebuah sumber, basis-basis organisasi berbendera Islam akan mendapat jatah cukup besar. Hal inilah yang sedikit "disentil" Abdurrahman Wahid dalam pertemuan dengan Wiranto, meski ia setuju dengan pembentukan Ratih, asal yang bertanggung jawab adalah Jenderal Wiranto. Kelompok Ciganjur--Wahid, Amien Rais, Megawati, Sultan HB X--dalam Deklarasi Ciganjur saat SI MPR lalu memang menolak kehadiran Pam Swakarsa.

Namun rencana Ratih jalan terus. Dan pemilu adalah targetnya. "Dalam gelombang reformasi, terus terang kondisi kita masih rentan terhadap kerusuhan," tutur Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat lalu, kepada TEMPO. Kepala Staf Teritorial ABRI itu menghitung bahwa rasio polisi dibandingkan penduduk yang ideal adalah 1 berbanding 300. Tapi sekarang ini, dengan jumlah polisi sekitar 200 ribu, rasio itu masih 1 berbanding 1.000. Masih perlu tambahan 70 ribu polisi. Tentu tak mudah mendidik polisi secepat itu. Dan Ratih pun dijadikan solusi.

Ratih itu akan direkrut dan dilatih di komando daerah militer (kodam) di seluruh Indonesia, kata sebuah sumber. Jatah Ratih disusun berdasarkan banyak alasan: tingkat kerawanan daerah, jumlah penduduk, dan--ini penting--jumlah mahasiswa.

Di Jakarta, misalnya, daerah berpenduduk 10 juta dengan tingkat kerawanan urutan pertama, akan mendapat jatah Ratih terbanyak, yaitu 12 ribu. Maklumlah, jumlah mahasiswa di Jakarta ternyata juga yang terbanyak, lebih dari 400 ribu (lihat info grafik).

Ratih disambut baik oleh Najri Adlani, Ketua Umum Furkon, organisasi yang ikut memperkuat Pam Swakarsa. "Tanpa diminta pun kita harus ikut, karena ini bagian dari tanggung jawab. Kita juga menganjurkan masyarakat untuk ikut," kata Adlani, yang yakin bahwa Ratih akan berbeda dengan Pam Swakarsa--karena Ratih dibentuk pemerintah dengan undang-undang, katanya.

Dari mana datangnya gagasan? Letjen Yudhoyono menampik bahwa ide datang dari Angkatan Kelima--setelah AD, AL, AU, Kepolisian--yang pernah diusulkan Bung Karno tahun 1965. Konsep terakhir ini milik pemimpin komunis Cina Zhou Enlai, yang mempersenjatai kaum buruh dan petani. Menurut Prof. Dr. Sugeng Istanto, ide Ratih muncul tahun 1996, ketika Jenderal Edi Sudradjat duduk di kursi Menhankam (1993-1997). Guru besar hukum humaniter UGM Yogyakarta ini terlibat dalam penyusunan konsep Ratih versi Edi itu.

Soalnya, kata Istanto, pengertian Ratih menurut UU 20/1982 adalah rekrutmen tenaga rakyat dalam konteks mempertahan negara dari serangan luar. Adapun ide Wiranto adalah membantu polisi dalam pemilu. "Ini saya pikir kurang pas, Ratih bukan untuk kepentingan (pemilu) itu. Tugasnya membantu ketertiban umum, tapi dalam perang," katanya. Jika polisi kurang, Istanto menyarankan dibentuk sistem keamanan lingkungan saja. Sebab, tuturnya, "Kalau Ratih, menurut saya, salah kamar."

Ide Ratih juga diragukan Hasnan Habib. Apalagi pendidikan hanya berjalan singkat. "Kalau cuma tiga bulan, lalu mereka kembali ke masyarakat yang kondisinya begini, bisa berbahaya," kata Habib.

Waktunya pun salah. Bila masyarakat sudah kembali mapan, pemilu sudah usai, pemerintahan normal, itulah waktu yang menurut Habib tepat untuk membentuk Ratih. Lagipula, masyarakat masih trauma dengan kehadiran Pam Swakarsa dan tragedi Semanggi, demikian Prof. Dr. Dimyati Hartono, dosen pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Bagi Sarwono Kusumaatmadja, bekas Menteri Negara Lingkungan Hidup, syarat amannya negeri ini adalah tuntasnya kasus kekerasan, terutama yang melibatkan pihak militer, misalnya tragedi Trisakti dan Semanggi. Kata Sarwono, kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan adalah jaminan keamanan yang paling besar. Ini lebih penting ketimbang membentuk pasukan yang belum jelas tindak-tanduknya nanti.

Toriq Hadad, Andari K. Anom, Hani Pudjiarti, Agus Riyanto, Wens Manggut, Arief Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus