SEORANG lagi, yang dituduh penggerak terjadinya peristiwa Tanjungpriok, akhirnya ditangkap pertengahan bulan lalu. Dia adalah, Syarifin Maloko, yang bersama Almarhum Amir Biki dan M. Nasir dituding telah membakar massa hingga menyerbu kantor Polres dan Kodim Jakarta Utara. arifin Maloko, setelah buron hampir dua tahun sejak peristiwa Tanjungpriok pecah 12 September 1984, ditangkap di Kampung Bumiwaras, Merak, Jawa Barat. Selama pelarian itu, Syarifin telah mengganti namanya menjadi Abdullah. Tak hanya itu penyaruannya. Ia, misalnya, mencukur kumis dan jenggotnya, sehingga ia tampil dengan wajah yang klimis. Ia ditangkap di rumah seorang bernama Alwadinata. Alwa adalah Ketua RT 02 di Kampung Bumiwaras. Kecuali itu, di kawasan Merak, Alwa dikenal pula sebagai sesepuh bagi orang-orang yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. "Sering orang dari NTT, yang tak punya penginapan, menumpang di rumah kami," ujar Jupri, anak keempat Alwadinata. Akan halnya Syarifin Maloko, yang menamatkan PGA di NTT, pertama kali muncul di rumah Alwa sekitar satu setengah tahun lalu. "Seminggu datang, kemudian sebulan pergi entah ke mana," kata Sri, istri Alwadinata. Jika ditanya, Syarifin selalu menjawab pergi ke Sumatera. Tapi kemudian muncul kembali. Yang terang, selama berada di Kampung Bumiwaras itu, Syarifin lebih suka tidur di masjid Al Ikhlas, yang berada di depan rumah Alwa. Ia tetap rajin berbicara tentang agama, dan rajin salat di masjid itu. Penduduk memang tak mencurigainya. Sebab, penduduk menyangkanya sebagai famili Alwa. "Padahal, Pak Alwa adalah tokoh yang dihormati," ujar seorang warga Kampung Bumiwaras. Syarifin Maloko sendiri makin lama makin bisa diterima penduduk. Terutama kalangan muda, terpukau pada kemampuan Syarifin. "Dia pintar bicara, dan pengetahuan agamanya luas. Anak-anak menjadi tertarik," kata Haji Saleh Hasan, pengurus masjid Al Muttaqien. Adalah pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna, yang mengusulkan pada Haji Hasan agar Syarifin Maloko menjadi penceramah dalam pengajian di bulan puasa lalu. "Kebetulan, ustad yang biasa memberi ceramah pergi ke Sukabumi," kata Saleh Hasan. Syarifin Maloko, yang telah menyaru dengan nama Abdullah, lantas diberi kesempatan berceramah dalam empat kali pengajian. Itu terjadi tiap Selasa dan Jumat sore. Syarifin Maloko, dalam ceramahnya tidak menyinggung-nyinggung soal politik. Di masjid Al Muttaqien itu, ia bicara tentang bagaimana mestinya pribadi Muslim yang baik. Misalnya, seorang Muslim tidak boleh memandang hina orang lain. Islam mewasiatkan agar berbuat baik pada tetangga. Popularitas Abdullah rupanya merambat pula ke masjid lain. Ia juga diminta berceramah di masjid Roudhatul Jannah, di kompleks PLTU Suralaya, Merak. Ada enam kali sang buron ini berkhotbah di situ. Pullcaknya ialah khotbah pada salat Idulfitri yang lalu. Ia bertindak sebagai imam dan khatib. Itulah awal terbongkarnya penyamaran Abdullah alias Syarifin Maloko. Seperti laimnya, ada aparat keamanan yang bertugas memonitor isi ceramah yang disampaikan pengkhotbah. Petugas di masjid Roudhatul Jannah itu semula ragu apakah pengkhotbah yang disebut bernama Abdullah itulah buron yang dicari. "Soalnya, ia tak berjenggot seperti foto yang dibagikan kepada petugas," kata sumber TEMPO. Tetapi, "Setelah diteliti, dan didengar baik-baik, suaranya mirip suara Syarifin Maloko." Aparat keamanan tak hanya menyebarkan potret sang buron, rupanya, tapi juga kaset rekaman suara khotbah Syarifin. Tapi petugas tak segera menangkapnya. Sang buron dipantau dengan saksama dan terinci. Sepekan setelah hari raya Idulfitri, Senin 16 Juni, seusai salat magrib, barulah petugas Korem "menjemputnya". Syarifin ditangkap di rumah Alwadinata, ketika ia sedang berbincang-bincang. "Saat itu saya sedang memasukkan kambing ke kandang," kata istri Alwadinata. Tertangkapnya Syarifin Maloko tentu memperjelas latar belakang serta motivasi terjadinya peristiwa Tanjungpriok. Huru-hara malam 12 September 1984 itu meledak setelah massa mendengar ceramah yang disampaikan oleh Amir Biki, Syarifin Maloko, dan M. Nasir. Pidato Amir Biki, misalnya mengejek pemerintah, dan akhirnya mengajak massa bersiap untuk menyerbu Polres 702 dan Kodim 0502 Jakarta Utara, jika empat warga yang ditahan tidak dilepaskan. Keempat orang itu -- Achmad Sahi, M. Noor, Syafruddin Rambe, dan Syafwan ditahan karena tindak kekerasan terhadap dua anggota Babinsa (bintara pembina desa), Sertu Hermanu, dan Serma Rochmat. Bahkan, mereka membakarsepeda motor Sersan Hermanu. Ini terjadi setelah beredar kabar bahwa anggota Babinsa itu telah memasuki musala tanpa membuka sepatu, kemudlan mencabut dan menutupi pamflet-pamflet yang terpasang di tembok dengan air got. Syarifin Maloko sendiri, menurut sebuah sumber, sejak pertengahan 1983, "tiba-tiba muncul dan aktif mengikuti pengajian di Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI)." Kala itu masalah asas tunggal sedang menjadi topik pembicaraan. Syarifin segera terkenal di kawasan Priok, karena ia seorang orator yang memikat dan bersuara keras. Ia, berpendapat asas tunggal Pancasila adalah kejawen, dan bertentangan dengan akidah Islam. Syarifin Moloko, kini sekitar 33 tahun. Lelaki yang bertubuh besar dan berkulit hitam itu pernah menjadi guru PMP (Pendidikan Moral Pancasila) di SMP Bhayangkara, Jalan Jember, Jakarta Utara. Ia lantas dipecat, "karena bisa merusak anak didik," kata salah seorang pengurus di sekolah itu. Syarifin pernah pula aktif di HMI, sebagai Koordinator Komisariat Universitas Ibnu Chaldun -- semasa Tonny Ardie menjadi Ketua Umum HMI Cabang Jakarta. "Ia memang pintar menarik perhatian massa," kata sumber yang mengenalnya di HMI. "Ia seorang praktisi, yang tidak pernah punya gagasan," katanya. Saur Hutabarat, Laporan Biro Bandung & Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini