PENDATANG haram di Malaysia tiba-tiba tak dianggap "haram" lagi. Buruh gelap asal Indonesia di negeri jiran itu tak diuber-uber polisi dan dipenjarakan lagi. "Si haram" kini sudah berubah. Tiba-tiba saja orang sadar, mereka ternyata bisa menjadi "tambang ringgit". Pada mulanya, memang terjadi perubahan besar di bidang politik ketika Malaysia "berbaik hati", memberikan pengampunan. Buruh gelap, yang selama ini harus kucing-kucingan dengan polisi, bisa diputihkan tanpa harus dipulangkan ke Indonesia dahulu. Mereka cukup mendaftar ke kantor Imigrasi Malaysia, kemudian memastikan kewarganegaraan di Kedutaan Besar Indonesia (KBRI), balik lagi ke Imigrasi Malaysia, beres. Izin kerja yang berlaku selama tiga tahun akan didapat. Untuk sementara baru buruh di perkebunan, bangunan, dan pembantu rumah tangga yang bisa menikmati keistimewaan ini. "Orang harus mengerti masuknya mereka cukup memberi manfaat kepada negara dan rakyat," kata Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ghafar Baba. Maklum, di sektor ini Malaysia dianggap kekurangan pekerja. Buruh gelap yang akan diputihkan ini ternyata cukup besar jumlahnya. Ghafar memperkirakan sekitar 300 ribu orang, sedangkan angka dari Sekjen Kongres Serikat Buruh Malaysia, V. David, jauh lebih besar. Perkiraannya, "pendatang haram" dari Indonesia ini semuanya bisa mencapai sejuta orang. Itu sebabnya Pemerintah Malaysia membuka 30 pusat pendaftaran untuk menampung luapan itu. Sementara itu, waktu pendaftaran dibuat cukup longgar, sampai 30 Juni 1992 nanti. Sekarang mari menghitung uang yang mereka keluarkan. Sejak dari pendaftaran, para buruh ini sudah mulai dikelilingi para calo. Mereka bisa pasang tarif sampai 500 ringgit atau sekitar Rp 365 ribu untuk pendaftaran yang mestinya gratis. "Tanpa uang, jangan harap urusan ini beres. Yang penting kan mereka tak diuber-uber polisi lagi," kata seorang calo di sana. Ini baru permulaan. Urusan berikutnya adalah ke KBRI dan balik lagi ke Imigrasi untuk mendapat izin kerja. Untuk menangani tahap ini, KBRI dan Kementerian Dalam Negeri Malaysia memutuskan untuk menunjuk tujuh agen tenaga kerja Malaysia. "Kami harus menggunakan agen karena KBRI sendiri kewalahan," demikian alasan Duta Besar RI, Soenarso. Di sinilah ringgit keluar lebih deras. Para agen, yang mulai beroperasi pertengahan Desember lalu, segera saja memasang tarif Rp 400 ribu per kepala. Baru setelah Soenarso menegur, agen mau menurunkannya menjadi sekitar Rp 330 ribu. Itu pun sebenarnya masih untung besar. Biaya yang diperlukan hanya Rp 170 ribu. Rinciannya, untuk mengurus tetek-bengek di KBRI Rp 131 ribu dan izin kerja di imigrasi Rp 38 ribu. Duit sebesar ini juga sudah termasuk jatah agen Rp 40 ribu dan setoran untuk koordinator Rp 36 ribu per kepala. "Saya hanya bisa mengimbau, tak bisa memaksa mereka untuk balik ke patokan Rp 170 ribu itu," kata Dubes Soenarso. Kalau saja ada 300 ribu buruh yang diputihkan, ketujuh agen itu paling tidak bisa menangguk Rp 27 milyar lebih. Yang juga menarik adalah para "koordinator" ini. Jumlahnya lima orang. Kebetulan mereka adalah para pejabat tinggi Malaysia yang ada kaitannya dengan urusan pemutihan ini dan keluarganya. Sejauh ini, menurut sumber-sumber TEMPO di pemerintahan, pekerjaan mereka boleh dikatakan hanya ongkang-ongkang. Selain "setoran" di atas, masih ada lagi duit masuk dari biaya izin kerja yang juga dinaikkan. Dihitung secara kasar, ringgit yang masuk kantong bisa mencapai Rp 43 milyar lebih. Selain dibebani pungutan dari berbagai calo dan ongkos agen tadi, tiap kepala masih dikenai uang jaminan Rp 365 ribu, yang mesti disimpan pada agen selama tiga tahun. Belum lagi pajak yang dikenakan Pemerintah Malaysia. Karena sudah tidak lagi gelap, mereka harus bayar pajak setiap tahun. Dari sini, sekitar Rp 92 milyar setahun akan masuk ke kas negara Malaysia. KBRI bukannya tak mendapat bagian. Dari tiap kepala, KBRI memungut sekitar Rp 55 ribu. Setelah dipotong foto dan formulir, ada sisa Rp 40 ribu yang masuk ke kas, tetapi Soenarso menjamin duit itu memang diperlukan. Misalnya saja untuk mewawancarai buruh. Salah satu syarat memang harus ada wawancara untuk meyakinkan bahwa si buruh memang betul-betul warga negara Indonesia. Kalau buruh jauh di luar kota, KBRI mesti mengirim orang. "Selain itu kami mesti mendatangkan 10 orang petugas imigrasi dari Jakarta. Yang ada di sini tak cukup," Soenarso menambahkan. Bau ringgit ini ternyata cepat menyeberang ke Jakarta. Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja, Ismail Sumaryo, meminta pemutihan ini juga melibatkan agen tenaga kerja Indonesia. Peraturan yang berlaku memang menyatakan begitu. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri memang harus dikerahkan lewat perusahaan yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja. "Sebagai tenaga kerja, mereka harus terkait dengan agen tenaga kerja di Indonesia," kata Dirjen Ismail. Sayangnya, saran simpatik ini ditolak tujuh agen Malaysia. Mereka beralasan bahwa tenaga kerja gelap yang sekarang diputihkan ini datang dan bekerja di Malaysia atas usaha sendiri. "Kan bukan mereka yang mengirim. Kok sekarang begitu mendengar adanya proyek pemutihan tiba-tiba saja mau nimbrung," kata seorang agen kepada TEMPO. Kalau toh Jakarta mendesak untuk mengirim petugasnya ke Malaysia, yang akan menanggung biaya tak lain para buruh pula. Memang, siapa lagi yang mesti menanggung ongkos pemutihan ini. Pemerintah Malaysia mewajibkan para majikan membayar ongkos ini, tapi jelas mereka memotong gaji buruhnya -- rata-rata Rp 500 ribu sebulan -- sebagai ganti. Nah, siapa suruh datang ke Malaysia. Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur) & YH (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini