ADA kegiatan politik yang selalu dilakukan oleh Pak Harto tiap awal tahun, yakni menyampaikan pidato mengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Maka, Senin pekan ini, ruang sidang pleno Graha Sabha Paripurna di DPR kembali disesaki lebih dari 400 anggota dewan -- hal yang jarang terjadi pada sidang pleno biasa. Mengenakan jas berwarna gelap, Pak Harto berbicara dengan tenang selama hampir dua jam, setelah sebelumnya sidang dibuka oleh Ketua MPR/DPR M. Kharis Suhud. Tak banyak hal baru yang dikemukakan oleh Kepala Negara. Sesuai dengan maksudnya untuk mengantar RAPBN, pidato tersebut lebih banyak diwarnai oleh uraian tentang keadaan ekonomi negara, yang menurut beliau baru saja melewati tahun yang tak mudah. Soal politik yang amat penting yang akan terjadi tahun ini, seperti pemilu, tak banyak disinggung. Pak Harto hanya menyebut pemilu, pembentukan MPR, dan pelaksanaan KTT Non Blok sebagai tiga tugas besar nasional yang harus dilaksanakan dalam tahun 1992 ini. Salah satu hal lain yang dipandang sangat penting oleh Presiden dalam soal politik adalah persatuan bangsa. Melihat perkembangan di luar yang menjurus ke perpecahan, Presiden kembali menegaskan ajakannya, yang sudah dilontarkan saat menyampaikan pidato menyambut Tahun Baru 1992. "Persatuan dan kesatuan bangsa perlu terus-menerus dibina dan disegarkan," kata Presiden. Melihat pentingnya soal persatuan ini, tak berlebihan jika Pak Harto menyinggung lagi soal peristiwa 12 November di Dili. Pak Harto mengajak, "Marilah kita semua mawas diri dan mengambil hikmah dari musibah ini." Tak berpanjang lebar di sini, Presiden hanya menegaskan pentingnya menanamkan rasa tenteram dan sejuk di hati masyarakat Timor Timur. Pak Harto juga sekali lagi menyampaikan rasa belasungkawa kepada semua keluarga masyarakat Tim-Tim yang sanak keluarganya yang tak berdosa telah tewas. Kepala Negara juga merasa prihatin atas nasib orang yang sampai sekarang belum diketahui berada di mana. Di bidang ekonomi, Pak Harto kembali mengingatkan betapa berat tantangan yang mesti dihadapi perekonomian Indonesia untuk tahun 1992-93 ini. Soal minyak, misalnya, pagipagi Pak Harto sudah menyebut kemungkinan turunnya harga minyak sebagai akibat kelebihan pasokan di pasar dunia. Situasi minyak yang suram inilah yang membuat Pemerintah hanya berani memasang patokan harga minyak US$ 17 per barel sebagai dasar penghitungan RAPBN 1992-93. Memang, posisi minyak dalam ekspor Indonesia secara keseluruhan sudah menurun. Bahkan Pak Harto menyebut, porsi minyak dalam penerimaan negara tinggal 39% saja. Namun, patut dicatat bahwa penerimaan dari ekspor nonmigas tidaklah langsung jatuh ke tangan negara. Duit di sini hampir semuanya terkumpul di sektor swasta. Pemerintah baru kemudian bisa menangguk pertumbuhan ini dari pajak. Itu sebabnya pajak menjadi sumber yang cukup deras akan disedot. Paling tidak, pajak bisa meningkat perannya lebih dari 12% terhadap PDB. Sebagai penerimaan dalam negeri di luar minyak, pajak bahkan diharapkan bisa naik 29% dibandingkan dengan tahun lalu. Maka, "Masyarakat perlu makin sadar akan kewajibannya membayar pajak," kata Presiden. Maka, hampir semua jenis pajak meningkat cukup tajam. "Sumber penerimaan dalam negeri nonminyak dan gas yang kenaikannya tak terlalu tinggi adalah cukai," kata Presiden Soeharto. Pemerintah tampaknya cukup realistis dalam hal ini. Porsi terbesar cukai selama ini selalu berasal dari cukai tembakau. Seperti diketahui, industri rokok kretek Indonesia memang tidaklah begitu cerah dua tahun belakangan ini. Kenaikan tarif cukai serta kenaikan harga cengkeh menjadi Rp 15 ribu per kilo cukup berdampak serius pada omzet pabrik rokok yang sebelumnya bisa menyetor cukai hampir Rp 2 trilyun per tahun. Pilihan pada pajak memang tak terelakkan. Selama ini, selain dari minyak dan pajak, penerimaan negara memiliki satu pos lagi: bantuan atau utang dari luar negeri, yang dalam RAPBN dihaluskan sebutannya menjadi penerimaan pembangunan. Jelas, Pemerintah tak bisa lagi menaruh banyak harapan di sini. Pak Harto sendiri menegaskan, bantuan luar negeri ini hanyalah pelengkap dalam membiayai pembangunan nasional. Memang, untuk anggaran 1992-93 ini, hanya Rp 500 milyar bantuan luar negeri berupa dana tunai yang dianggarkan. Ini pun adalah persetujuan tahun-tahun sebelumnya yang belum direalisasikan. Bantuan lain sebesar Rp 9,6 trilyun berupa proyek-proyek pembangunan. Maka efisiensi Pemerintah di semua bidang tampaknya menjadi keharusan. "Kita mesti sungguh-sungguh meningkatkan pajak, menghapus subsidi yang tak perlu, dan meningkatkan efisiensi badan usaha milik negara," katanya. YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini