Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penyamun di Sarang Bulog

Korupsi merajalela di pos dana taktis Bulog, jauh sebelum era Abdurrahman Wahid. Ratusan triliun rupiah amblas.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUSTANIL Arifin mungkin telah memiliki segalanya. Selama 20 tahun menjabat kepala Badan Urusan Logistik (Bulog), dia adalah salah satu pejabat paling berkuasa di Republik. Kekayaannya jangan dibilang. Data sebuah lembaga auditor menunjukkan, dari Januari 1997 hingga Agustus 1998 saja, mutasi dana dari 17 rekening pribadinya di dalam dan luar negeri mencapai nilai Rp 35,5 miliar. Namanya pun dicatat sejarah sebagai arsitek dana nonbujeter Bulog.

Cuma ada satu hal yang tak dimilikinya: rasa bersalah. ”Apa salah kalau saya memakai dana hasil usaha sendiri? Penyelewengannya apa, sih?” katanya berulang kali kepada TEMPO. Padahal, hasil karyanya itu kini tengah banyak dipersoalkan. Pos dana nonbujeter Bulog—sebagaimana kas serupa lainnya di banyak departemen—telah menjelma begitu rupa menjadi sarang korupsi para penyamun berdasi.

Dokumen penyelidikan tim Komisi III DPR menunjukkannya. Arus uang keluar selama lima tahun anggaran (1994/1995-1998/1999) menunjukkan adanya penyelewengan Rp 2 triliun lebih (lihat infografik). Kerugian negara dari pembobolan kas ini sudah bergunung-gunung. Makin ditelusuri, jumlahnya kian membengkak.

Menurut koordinator tim, Widjanarko Puspoyo, dari PDI Perjuangan, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada dua tahun anggaran saja (1997/1998-1998/1999) sudah menunjuk angka Rp 2,86 triliun. Hasil audit Arthur Andersen, misalnya, menyatakan bahwa selama lima tahun terakhir, Bulog mengalami inefisiensi tak kurang dari Rp 7 triliun. Kuat diduga, sejak pos ”siluman” ini diciptakan Bustanil pada 1982, total sudah sekitar Rp 100 triliun uang negara dihamburkan.

Lembaga penyangga ini memang bak lumbung uang. Dana mengucur begitu saja dari keuntungan impor berbagai komoditi—beras, terigu, gula, gandum, kacang kedelai—yang dimonopolinya. Bayangkan, jika impor beras rata-rata 2 juta ton saja, dana yang masuk ke pos dana taktis ini tiap tahun bisa mencapai US$ 400 juta (Rp 3,2 triliun).

Benar, bahwa ada cita-cita mulia di awal pembentukan pos ini. Dari sinilah tunjangan kesejahteraan karyawan, pembiayaan operasional Bulog, dan keperluan mendesak negara dibiayai.

Masalahnya, kemudian ia berubah bentuk menjadi semacam brankas pribadi setiap kepala Bulog dan presiden negeri ini. Pengelolaan dana yang tersebar di 116 rekening di tujuh bank ini serba tertutup. Pembukuan tak jelas dan tak masuk neraca resmi. Lembaga pemeriksa keuangan tak pernah bisa menyentuhnya.

Arus dana ditangani hanya oleh tiga pejabat penting: Deputi Keuangan, Kepala Biro Pembiayaan, dan Kepala Bagian Administrasi Keuangan. Saking awut-awutannya, ketika dimintai keterangan Komisi III, ketiga pejabat itu menyatakan tak sanggup merinci arus keluar-masuk dana selama ini. Sejak Orde Baru, kepala Bulog dan presiden seolah jadi pemilik yang setiap saat dan untuk keperluan apa saja bisa mencairkannya. ”Kelihaian Bustanil adalah merancang Bulog menjadi sebuah kerajaan yang tak bisa tersentuh siapa pun,” kata Wakil Sekretaris Fraksi PDI-P, Tjahjo Kumolo, yang juga tengah intensif menyelidiki kasus ini.

Dalam posisi ini, korupsi dan penyelewengan jelas terlalu menggoda untuk dilewatkan. Dana ini telah menjadi salah satu sumber utama brankas Golkar, mesin politik Orde Baru ketika itu. Seperti diakui Bustanil, tiap kali menjelang pemilu, ia berkampanye ke Aceh membawa berkoper-koper uang Bulog. Untuk menjegal laju Partai Persatuan Pembangunan, dia taburkan uang ke pesantren-pesantren, masjid, dan tokoh masyarakat di daerah itu. Dengan dana ini pula, kata seorang politisi, Bustanil menggalang jaringan politik yang luar biasa luas. Kalangan alumni Himpunan Mahasiswa Islam adalah target utamanya. Dan yang tak kalah penting, dia juga sangat royal lagi telanjang membagi-bagi uang kepada para wartawan yang rela menjual profesinya.

Keluarga Soeharto tentu saja juga merupakan penikmat utama. Laporan itu menduga, semasa Kepala Bulog Beddu Amang, setidaknya ada Rp 17 miliar yang mengucur ke Keluarga Cendana, PT Rejosari Agung, serta 14 yayasan Soeharto. Bustanil memang terhitung kerabat dekat Tien Soeharto. Ia juga tercatat sebagai bendahara Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila—salah satu yayasan junjungannya itu. ”Saya ini dibesarkan Soeharto. Tiap kali bertemu, saya selalu mencium tangannya,” katanya. Kendati begitu, ia membantah dugaan bahwa Cendana kerap menggaruk dana ini.

Para kepala Bulog tentu tak ketinggalan ambil bagian. Jelas tertera, misalnya, bagaimana pundi-pundi Bustanil pribadi dan kerabatnya telah digerojoki uang negara ini. Tiap tahun ia menerima ”uang jasa” Rp 560 juta lebih. Ini diakui Bustanil. ”Itu uang pensiun saya,” katanya. Bahkan juga diakuinya bahwa dari kas yang sama ia pernah dihadiahi sebuah rumah megah di Jalan Daha, Jakarta.

Lalu bagaimana dengan perusahaan anak-anaknya? Ada banyak cerita. Dengan lihainya, menurut sumber di Senayan, dana ini diputar Bustanil sedemikian rupa sehingga nyaris jadi modal banyak bisnis anaknya. Modusnya, duit dikucurkan setelah dihibahkan terlebih dahulu melalui Koperasi Pegawai Bulog (Kopel) dan yayasan Bulog lainnya.

Koperasi itu tercatat memiliki sejumlah saham di berbagai perusahaan yang nota bene milik keluarga Bustanil. Salah satunya di Indocitra Leasing milik Arni Arifin, putri pertama Bustanil. Alkisah, pada 1986, melalui Surat Keputusan No. 422, Bustanil menghibahkan Rp 460 juta untuk Kopel. Setelah dana masuk, pimpinan koperasi dipanggil. Perintah penting dikeluarkan. Seluruh dana itu mesti dibelikan saham Indocitra.

Contoh lain dalam kasus Gedung Bank Bukopin, bank milik Bulog. Pada 1986-1987 diadakan pembangunan Gedung Bukopin di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan, di atas tanah milik Bulog. Tanah itu lalu dihibahkan ke Kopel. Untuk biaya pembangunan, koperasi mendapat kucuran kredit dari Bukopin. Setelah gedung megah berdiri, permainan serupa berulang. Koperasi malah menjualnya kembali ke Bukopin. Setelah itu, gedung ini dijual ke perusahaan milik Arni Arifin senilai Rp 21,7 miliar. Yang dahsyat, Arni membelinya dengan kredit yang dikucurkan Bukopin. Dan hingga kini, pihak Bukopin harus membayar sewa ke pihak Arni.

PT Sriboga Raturaya, perusahaan terigu besar di Semarang milik Bustanil dan Alwi Arifin (putranya yang lain), adalah kisah kesekian. Salah satu pabrik terigu terbesar yang berlokasi di Semarang ini diketahui pernah mencicipi pinjaman tanpa agunan senilai Rp 76 miliar pada September 1999.

Tapi, segala tudingan itu tegas dibantah Bustanil. ”Nggak bener sama sekali itu,” katanya. Menurut dia, Arni tak pernah terlibat dalam proyek gedung Bukopin. Soal Alwi, Bustanil mengakuinya. Tapi itu berupa pinjaman yang katanya didapat menurut prosedur dan terus dicicil. Sisa tunggakan senilai Rp 16,7 miliar akan dilunasi akhir tahun ini.

Pos ini pun menjadi ajang pesta-pora para kroni kepala Bulog. Yang tercatat adalah Hokiarto, bos pemilik Bank Hokindo dan kroni nomor satu Beddu Amang. Kasusnya amat terkenal dan sempat dimejahijaukan: tukar guling Goro milik Tommy Soeharto dengan tanah di Marunda milik Bulog. Hokiarto, yang memakelari pembelian tanah di Marunda itu, meraup ”pinjaman” Rp 32,5 miliar. Laporan itu menengarai Hokiarto ada main mata dengan Beddu. Selain ini, Hobros—firma milik Hokiarto—masih melahap dana Rp 38 miliar. Edannya, pengeluaran ini tercatat sebagai ”bantuan”.

Bahkan, dua lembaga pemeriksa keuangan negara—BPKP dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—turut kena cipratannya. BPKP tercatat pernah menerima Rp 3,5 miliar dan BPK Rp 133 juta. Kuat diduga, dana ini tak lain ”uang tutup mata” agar kedua badan pemeriksa itu tak getol memelototi ke mana saja dana Bulog mengalir.

Namun, mantan Deputi Pengawasan Khusus BPKP, Soerjatna Soenoesubrata, membantahnya. Menurut dia, dana itu sebatas untuk biaya jasa penyusunan administrasi keuangan Bulog dan pinjaman ke koperasi BPKP. Toh, kalaupun bantahan itu benar, di sini jelas ada konflik kepentingan. Apalagi, menurut ketentuan, BPKP dilarang keras menerima dana dan segala bentuk hadiah dari setiap lembaga yang diperiksanya.

Bau korupsi itu bukan sama sekali tak terendus. Pada akhir 1998, setelah Soeharto jatuh, BPKP mencium banyak ketidakberesan. Kepala BPKP kala itu, Soedarjono, lalu menggelar pemeriksaan khusus. Tapi tim audit tak diizinkan masuk. Pada 8 April 1999 Rahardi Ramelan, Kepala Bulog saat itu, malah berkirim surat ke Presiden Habibie. Isinya, saran agar dana itu tetap dipendam dalam pos nonbujeter dan dipertanggungjawabkan langsung ke Presiden seperti sediakala. Habibie, melalui surat Menteri Sekretaris Negara saat itu, Akbar Tandjung, menyatakan setuju.

Ada empat alasan Rahardi: cadangan untuk menutup risiko defisit Bulog, pengeluaran khusus berupa penugasan pemerintah, biaya koordinasi dengan instansi lain, kesejahteraan karyawan dan kepentingan lain-lain.

Terbukti kemudian, seperti tertera dalam laporan Komisi III itu, tak satu pun dana dikeluarkan untuk tiga alasan yang diajukan Rahardi. Yang terbanyak justru untuk ”kepentingan lain-lain” yang tak jelas juntrungannya itu. Semasa Rahardi, juga tercatat sejumlah kejanggalan. Ia juga disebut-sebut terlibat dalam kasus raibnya dana Rp 400 miliar dari pos ini. Sayang, ketika dikonfirmasi, Rahardi enggan menjelaskan duduk persoalannya.

Rezim kini telah berganti. Presiden Abdurrahman, yang sempat juga melirik dana ini, mesti meluruskannya. Tak ada lain cara. Segera audit tuntas, masukkan ke kas negara, dan sapu bersih-bersih sarang penyamun itu.

Karaniya Dharmasaputra, Jajang Jamaludin, Agus Hidayat, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus