Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dana Non-Bujeter Mengalir sampai Jauh

Triliunan rupiah dana non-bujeter masih berada dalam institusi milik pemerintah. Aturan pemakaiannya tidak seragam.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Entah apa yang ada dalam pikiran Sultan Brunei Hassanal Bolkiah ketika memberi sumbangan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Sudah pasti, bantuan US$ 2 juta itu tidak dimaksudkan untuk membuat geger republik ini, lebih-lebih untuk menyulitkan kedudukan Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

Tapi apa mau dikata. Sejak informasi itu bocor ke pers dua pekan silam, gelombang kritik dan protes mengalir deras dari Gedung DPR. Suara itu semakin keras terdengar ketika diketahui ternyata bantuan itu disetor melalui rekening H. Masnuh, orang kepercayaan Presiden. Secara tegas beberapa anggota dewan menuntut agar Presiden Abdurrahman menjelaskan secara rinci ke mana dan untuk apa saja uang tersebut.

Sumbangan yang tidak masuk dalam anggaran dan tidak dilaporkan ke DPR itu kemudian populer disebut dana non-bujeter (non-balance sheet). Non-bujeter adalah dana yang terkumpul dari kegiatan di luar lingkup yang tercantum dalam neraca anggaran negara, karena itu dipisahkan dari pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pada masa Orde Baru, pos dana tersebut dimaksudkan untuk menunjang kebutuhan uang secara mendadak, seperti mengatasi bencana alam dan kelaparan. Sebagian bahkan digunakan untuk operasi negara yang bersifat rahasia.

Secara sistem, tidak ada pertanggungjawaban terhadap pemakaian dana tersebut, malah dikategorikan sebagai rahasia negara. Akibatnya, pemerintah di masa Orde Baru bisa leluasa menggunakannya untuk kepentingan apa saja. Bahkan tidak jarang untuk keperluan pribadi presiden atau pejabat terkait.

Ketika reformasi bergulir kencang dengan naiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden, masyarakat mulai berani mempertanyakan keberadaan dana-dana itu. Bahkan lebih jauh, penerima dana non-bujeter bisa dianggap melakukan praktek korupsi dan kolusi. Sumbangan pribadi Sultan Bolkiah yang tidak dilaporkan secara transparan kepada DPR adalah salah satunya.

Atas dugaan itulah, Alvin Lie, anggota DPR dari Fraksi Reformasi, mengusulkan agar Presiden Abdurrahman dinon-aktifkan sementara selama pemeriksaan berlangsung. ”Ada indikasi Presiden melanggar Undang-Undang No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB),” ujarnya. Selain itu, Presiden juga dipandang melanggar Undang-Undang tentang APBN tahun 2000, yang menyebut bahwa semua kesepakatan bantuan ataupun pinjaman luar negeri harus diketahui DPR.

Presiden, melalui penjelasan Masnuh, berpendapat bahwa sumbangan itu bukan untuk negara tetapi untuk pribadi Gus Dur. Uang itu dimaksudkan untuk membantu kemanusiaan seperti korban Aceh. Karena sifatnya pribadi, menurut Masnuh, uang itu tidak perlu dilaporkan ke DPR, apalagi harus dipertanggungjawabkan.

J. Kristiadi, pengamat politik Center for Strategic and International Studies (CSIS), menolak penalaran seperti itu. Pemberian itu diberikan kepada Abdurrahman Wahid dalam kapasitasnya sebagai presiden dan harus dipertanggungjawabkan. ”Apa Sultan Bolkiah mau memberi bantuan kepada orang biasa seperti saya untuk masalah Papua? Rasanya tidak mungkin,” katanya.

Sumbangan semacam itu diperkirakan tidak hanya datang dari Sultan Bolkiah. ”Tidak tertutup kemungkinan Gus Dur juga menerima dana sejenis tapi tidak dilaporkan,” kata Alvin. Meski relatif kecil, menurut catatan pengamat ekonomi Mohamad Ikhsan, Presiden Abdurrahman pernah menerima sumbangan dari konglomerat. ”Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur sendiri pernah mengaku menerima sumbangan dari para pengusaha Cina,” katanya.

Sapuan, mantan Wakil Kepala Bulog yang kini berstatus tersangka, mengaku bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pernah minta disediakan dana non-bujeter milik Bulog untuk menyelesaikan kasus Aceh. Permintaan itu batal karena Presiden menolak permintaannya agar dibuatkan keputusan presiden untuk itu. Belakangan, Suwondo, sang tukang pijit, tentu saja dengan mengatasnamakan Presiden, berhasil membobol Rp 35 miliar uang milik yayasan karyawan Bulog.

Dana non-bujeter memang banyak terdapat di Bulog. Pada masa silam, sebagian besar dana non-bujeter Bulog disembunyikan dalam kantong yayasan tadi. Dari catatan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kurang lebih ada Rp 2,7 triliun dana semacam itu. Di samping Bulog, beberapa badan usaha milik negara juga menyimpan dana tidak tercatat itu dalam jumlah besar. Pertamina, yang terkenal sebagai sapi perah Orde Baru, adalah salah satunya.

Demikian pula dengan beberapa instansi pemerintah. Seorang mantan pejabat tinggi menyebutkan bahwa Sekretariat Negara juga punya dua dana non-bujeter, dari pos bantuan presiden (banpres) dan dana reboisasi. ”Saat ini masih ada Rp 250 miliar dana banpres,” katanya.

Mohamad Ikhsan mencatat ada sekitar Rp 2 triliun dana non-bujeter yang ada di bawah penguasaan Departemen Keuangan. ”Sebagian dana itu diperoleh dari sisa pinjaman two step loan yang tidak habis terpakai,” ujarnya. Departemen Kehutanan dan Perkebunan punya pos dana tersebut sebesar Rp 1 triliun.

Tidak hanya itu. Departemen Pertahanan, menurut catatan Ihksan, juga menyimpan dana non-bujeter sekitar US$ 4 miliar yang dikumpulkan dari kelebihan menjual minyak. ”Misalnya target menjual hanya 100 ribu barel per hari ternyata yang dijual 120 ribu barel, nah, kelebihan itu masuk ke dana non-bujeter,” katanya.

Dari jumlah tersebut masih banyak yang tidak terdeteksi alias gelap. ”Sekitar 23 rekening dana non-bujeter yang berada di sejumlah departemen belum masuk kas negara,” kata Anshari Ritonga, Dirjen Anggaran Departemen Keuangan.

Keberadaan dana yang tidak masuk dalam pembukuan negara dan hanya diketahui pejabat terkait serta presiden jelas mengundang korupsi. ”Karena tidak ada kontrol dan pertanggungjawaban, penggunaan dana itu rawan penyimpangan,” kata P. Soeyatna Soenoesubrata, mantan Deputi Bidang Pengawasan Khusus Badan Pemeriksa Keuangan.

Rezim Soeharto membuktikan hal itu. Banyak dana non-bujeter yang justru dipakai untuk kepentingan politik penguasa, bahkan juga keluarga presiden. Laporan mantan kepala Bulog, Rahardi Ramelan, kepada mantan presiden B.J. Habibe, misalnya, bisa menjadi contoh. Surat tertanggal 8 April 1999 itu menyebutkan ada Rp 8 miliar dana Bulog yang dipakai untuk keperluan Cendana (keluarga Soeharto). Lebih gila lagi, laporan itu juga menyebut penggunaan dana Rp 50 miliar untuk ”keperluan lain-lain”.

Pada masa Orde Baru tidak sedikit dana tersebut dipakai untuk memberangus gerakan prodemokrasi. ”Sebagian juga dipakai untuk membiayai operasi intelijen tentara,” kata J. Kristiadi. Sumber TEMPO, seorang mantan menteri, juga menyebut bahwa sebagian besar dana non-bujeter dipakai untuk keperluan militer. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pernah mengatakan hanya 15 persen anggaran militer yang datang dari pemerintah.

Pertanggungjawaban penggunaan dana non-bujeter itu juga sulit dikejar. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Soeripto, memperkirakan ada Rp 5 triliun dana reboisasi yang tidak jelas nasibnya. ”Di antaranya untuk IPTN, Bob Hasan, dan konsorsium Sea Games 1997/1998 lalu,” katanya.

Mudahnya menggangsir dana tanpa terlacak membuat pemerintah berusaha mempertahankan keberadaannya. Mantan Ketua BPKP Soedarjono pernah minta kepada mantan presiden B.J. Habibie agar dana non-bujeter Bulog dimasukan ke dalam neraca. Pasalnya, pihak BPKP kesulitan memeriksa 116 rekening milik Bulog yang tidak dimasukan dalam neraca per 31 Maret 1998.

Rahardi Ramelan, kepala Bulog saat itu, menurut pengakuan Soedarjono, justru menolak dan mengusulkan pada Habibie agar dana tersebut tetap berada di luar neraca. Soedarjono mengaku menerima memo yang isinya ”sesuai petunjuk Presiden (Habibie), pemeriksaan terhadap Bulog supaya dihentikan”.

Melihat peluang besar dikorup, Kristiadi mengusulkan agar dana seperti itu dimasukkan dalam anggaran negara. Di samping untuk keperluan pertanggungjawaban terhadap publik, juga mencegah agar dana itu tidak digunakan untuk kepentingan politik penguasa. ”Bangsa ini terpuruk karena ada salah urus dalam mengelola uang rakyat itu,” katanya. Ungkapan senada dilontarkan Mohamad Ihksan. ”Untuk membentuk pemerintahan yang bersih, semua dana non-bujeter harus masuk dalam APBN.”

Sebenarnya, untuk mendapat dana taktis yang sifatnya mendadak, pemerintah tidak perlu mengais dari dana non-bujeter. Dalam APBN ada istilah ”Pos Anggaran 16”, yang memang diperuntukkan bagi keperluan mendadak dan darurat. Namun, pos seperti ini pun, jika tak ada kontrol ketat, tetap bisa disalahgunakan. Dalam prakteknya, pos tersebut tidak sekadar untuk membantu mengatasi korban bencana alam. ”Ketika anggaran Hankam membengkak sampai Rp 1,6 triliun pada 1999/2000, kekurangannya diambil dari Pos Anggaran 16 APBN,” kata Alvin.

Persoalannya, bagaimana jika keperluan dana taktis mendadak itu melebihi pos anggaran itu sendiri. ”Bisa diambil dari dana lain karena nanti di akhir tahun anggaran akan dibahas perbaikan APBN,” kata Alvin. Tentu saja pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana itu. Dan kelebihan tadi, menurut Mohamad Ikhsan, juga tak boleh lebih dari 1 persen dari total anggaran.

Kasus Bulog dan sumbangan Sultan Bolkiah menunjukkan bahwa pemerintahan Abdurrahman Wahid belum beranjak jauh dari tradisi buruk yang ditinggalkan Soeharto.

Johan Budi S.P., Iwan Setiawan, Dwi Wiyana, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus