Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CITA-CITA menegakkan pemerintahan yang bersih di negeri ini tampaknya masih ’’jauh panggang dari api”. Jika sebelumnya Abdurrahman Wahid kerap dituding mempraktekkan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemerintahannya, seperti tampak pada kasus Bulog, kini tudingan itu diarahkan kepada DPR. Lembaga itu dinilai gagal memenuhi tenggat pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, yang jatuh 19 Mei lalu. Sampai minggu ketiga bulan ini, lembaga yang bertugas memeriksa kekayaan pejabat negara ini belum juga terwujud.
Adalah MPR yang dua tahun lalu mengeluarkan Tap No. XI/1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi. Desakan reformasi menyusul jatuhnya Soeharto memaksa MPR ketika itu menghasilan ketetapan tersebut. Di era Habibie, berdasarkan ketetapan tersebut, DPR kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, dan Undang-Undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang yang pertamalah yang mengamanatkan dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara paling telat 19 Mei lalu—enam bulan setelah undang-undang tersebut diberlakukan. Tidak itu saja, dalam memorandum kesepakatannya dengan Indonesia, Dana Moneter Internasional (IMF) pun mengharuskan Indonesia membentuk lembaga itu paling lambat akhir Juni.
Jika bisa dibentuk, komisi ini sesungguhnya punya wewenang yang luas. Ia, misalnya, punya hak untuk memeriksa daftar kekayaan pejabat negara sebelum dan sesudah pejabat tersebut bertugas. Komisi ini juga diizinkan untuk meminta bukti pemilikan harta pejabat yang diduga sebagai hasil korupsi. Semua pejabat negara boleh diauditnya, termasuk presiden dan wakil presiden serta para anggota DPR. Dalam kasus Bulog, komisi ini—jika saja telah terbentuk—bisa mengaudit rekening Presiden Abdurrahman untuk memastikan apakah bekas ketua NU itu terlibat atau tidak dalam kasus itu.
Pemerintah sebetulnya bukannya tidak bergerak untuk mewujudkan komisi ini. Menurut Staf Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), Amin Muin, konsep awal komisi ini sudah dimulai sejak era Habibie dan dilanjutkan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Pada Desember tahun lalu, konsep awal sudah diselesaikan oleh Kementerian PAN dan diserahkan kepada presiden. Sebulan kemudian, giliran Presiden Abdurrahman yang mengirimkan konsep pemerintah kepada DPR, plus 122 nama calon anggota untuk dibahas.
Nah, di DPR-lah kemudian konsep itu mengendap. Menurut anggota DPR Radja Roesli, pembahasan intensif di Komisi II DPR baru dimulai Jumat dua pekan lalu. Artinya, beberapa hari setelah tenggat 19 Mei terlewati. Sebelum itu, menurut Amin Muin, DPR sibuk meminta pemerintah membuat peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 28/1999. ’’Padahal, pada masa Habibie sudah dikeluarkan empat peraturan pemerintah,” kata Amin. Dengan kata lain, DPR tidak tahu kemajuan yang sudah dicapai pemerintah.
Ketidaktahuan itu pulalah yang terjadi dalam penyusunan calon anggota komisi. DPR, misalnya, melalui Fraksi Reformasi, mengusulkan Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, sebagai salah satu calon. Padahal, usia Teten saat ini adalah 37 tahun, atau tiga tahun lebih muda dari batas minimum usia anggota komisi seperti yang diatur undang-undang. Hal yang sama terjadi pada Anas Urbaningrum, bekas Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam, yang belum berusia 40 tahun. Anas dicalonkan oleh Fraksi Partai Bulan Bintang.
Sejauh ini, DPR telah mengeluarkan 204 nama calon anggota. Dari sana kemudian DPR akan melakukan uji kelayakan dengan menyertakan input dari masyarakat. Diharapkan, berdasarkan jadwal DPR yang molor tersebut, pada 22 Juni nanti sudah terpilih 45 orang yang duduk dalam komisi. Adapun ketua umum nanti akan dipilih oleh anggota.
Persoalannya, mengapa DPR bisa molor jadwal? Menurut Ferry Mursyidan Baldan, Wakil Ketua Komisi II DPR, masalahnya hanya karena banyaknya pekerjaan yang harus dibereskan di DPR: dari soal pembubaran departemen sampai penyelesaian kemelut Aceh. Karena itu, komisi ini jadi kececeran. ’’Tidak apa-apalah kita disalahkan. Kita memang tidak cermat memperhatikan batas waktu penyusunan komisi,” katanya.
Tapi, Arifin Junaidi, anggota DPR lainnya dari PKB, menduga sebenarnya ada upaya sejumlah orang di DPR untuk merontokkan kredibilitas Abdurrahman dalam Sidang Umum MPR Agustus nanti. Keterlambatan penyusunan tim ini menurut dia akan dijadikan peluru untuk memerahkan rapor Abdurrahman. Tapi tuduhan itu ditampik Ferry. ’’Keterlambatan itu bukan salah pemerintah, tapi salah dewan,” kata anggota DPR asal Golkar tersebut.
Siapa pun yang akan disalahkan Agustus nanti, akibat kelalaian DPR itu yang jelas dirugikan adalah rakyat. Kalau saja komisi itu telah berdiri, mestinya ada banyak kasus korupsi dan nepotisme pada awal pemerintahan Abdurrahman ini yang bisa diusut. Tapi, kebaikan tampaknya memang tak mudah terwujud.
Arif Zulkifli, Dwi Wiyana, Ardi Bramantyo, Arif A. Kuswardono, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo