Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perang Kata di Aceh

Militer Indonesia masih mengepung gerilyawan GAM di Cot Trieng. Tapi keduanya sepakat maju ke meja perundingan.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasukan Indonesia kian rapat mengepung rawa-rawa Cot Trieng, tempat yang mereka yakin dihuni gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka. Toh, meski beberapa pekan telah berlalu, baku tembak berdarah tidak terjadi. Sementara yang berlangsung adalah perang kata.

Pekan lalu terbetik kabar wakil GAM di Swedia telah bersepakat menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia pada 9 Desember nanti—sebuah upaya damai yang ditengahi Henry Dunant Center.

Namun bayangan perjanjian damai masih terlalu samar. Zaini Abdullah, pemimpin juru runding GAM di Swedia, tak bisa memberi kata pasti apakah perjanjian memang benar-benar akan diteken. Tak lama setelah bertemu staf Henry Dunant, muncul siaran pers dari GAM bahwa 9 Desember masih dalam taraf perundingan lanjutan, dan bukan penandatanganan naskah perjanjian damai. Namun sehari kemudian muncul siaran pers lain yang menyatakan GAM bersedia membubuhkan tanda tangan.

Kebingungan dan pernyataan kontradiktif GAM tampaknya dipicu oleh kesediaan mereka menerima syarat yang diajukan. Dua masalah masih mengganjal. Jalan menuju meja perundingan memang memiliki syarat: GAM menyerahkan senjata, sementara Indonesia menarik pasukan militer dan hanya menempatkan personel Brimob tanpa senjata.

Gam keberatan karena senjata adalah modal utama perjuangan gerakan separatis itu. Senjatalah yang membuat mereka diketahui dunia. Tanpa senjata sama artinya dengan membubarkan diri. "Itu artinya apa Teuntara Neugara Aceh atau GAM akan menyerah," kata Abdullah. "Senjata itu kunci rahasia GAM."

Padahal dokter yang berpraktek di Swedia ini berharap perjanjian damai itu tak hanya menguntungkan kepentingan bangsa Aceh tapi juga GAM. Jadi, perjanjian damai ini bukan tujuan final, karena mereka akan terus berupaya Aceh bisa merdeka.

Abdullah juga menyatakan prasyarat itu akan memberi keuntungan kepada Indonesia. Sebab, hanya GAM yang diminta menyerahkan senjata, sementara TNI dan Polri sebagai alat negara yang berdaulat tak bisa dilucuti.

Bagi GAM, melepas senjata lebih sulit daripada kehilangan beberapa anggotanya yang terkepung di Cot Trieng, Muara Dua, Aceh Utara. Alasannya, senjata itu milik bangsa Aceh yang harus dijaga mati-matian. Bagi Abdullah dan kawan-kawan, ancaman Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda tidak ada artinya. Belum lama ini, Wirayuda mengatakan pasukan Indonesia akan menyerbu jika sampai 15 Desember 2002 GAM tidak bersedia menandatangani perjanjian.

Abdullah, yang juga Menteri Luar Negeri GAM, malah tertawa mendengar ultimatum yang sudah berulang kali didengarnya itu. Dia balik bertanya, apakah yang terjadi di Aceh sekarang bukan perang, karena kontak senjata terjadi hampir setiap hari.

Bahkan dia menantang tentara Indonesia untuk menembaki Cot Trieng. "Silakan tembak sajalah," katanya. "Tidak apa-apa, kenapa menunggu-nunggu?"

Sejauh ini pasukan Indonesia memang belum tergerak. Tapi pekan lalu Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sjafrie Sjamsoedin, mengatakan Jakarta tidak akan mengakhiri pengepungan di Cot Trieng maupun di Manggamat, Aceh Selatan, dan Lokop, Aceh Timur. Lebih dari itu, kata dia, TNI juga tidak akan menarik pasukannya dari Aceh. TNI hanya mengubah strateginya dari mencari dan menghancurkan jadi bertahan.

Lain Zaini Abdullah, lain juga kelompok GAM di dalam negeri. Meski ada instruksi dari pimpinan GAM di luar negeri untuk melakukan gencatan senjata sepihak selama Ramadan, pasukan lokal beberapa kali menyerang tentara dan polisi.

Pekan lalu jatuh korban akibat serangan kecil itu: empat anggota Brimob di Cot Dua, Nisam, Aceh Utara, terkena pecahan granat. Dua hari sebelumnya, satu personel TNI di Desa Bayi, Tanah Luas, Aceh Utara, tewas dan tiga lainnya luka-luka diterjang peluru GAM.

GAM beralasan penyerangan itu terpaksa dilakukan untuk membela diri, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengingkari gencatan sepihak yang berlaku sejak 4 November. Juru bicara GAM wilayah Pase, Tengku Jamaika, menyatakan GAM menyerang karena operasi pengepungan terhadap markas mereka kian gencar.

Memasuki pekan keempat, posisi pengepungan di Cot Trieng memang makin rapat. Meski tetap jaga jarak, perlahan TNI mulai merangsek masuk. Kontak senjata kembali terjadi, seperti Kamis lalu. Anggota GAM berusaha keluar dari lokasi pengepungan ketika malam sudah larut.

Kontak senjata, yang dilaporkan tidak menimbulkan korban jiwa di kedua pihak, kerap terjadi saat matahari tenggelam. Siang harinya, suasana pengepungan tenang lagi. Hanya, dua pesawat OV-10 dari Medan, yang terbang berputar di atas Cot Trieng, mengintai.

Tak adanya aktivitas musuh yang menonjol di siang hari membuat kerja pasukan TNI dari Batalion Infanteri Lintas Udara 431 Kostrad di garis depan cenderung santai. Bukan senapan berat yang mereka angkat, tapi jeriken-jeriken plastik untuk air minum. Sebagian yang lain malah memakai waktu luangnya untuk mengecat dinding masjid di samping posnya.

Tentara memang bisa santai. Bagaimana tidak. Jumlah penghuni rawa-rawa itu juga tak berubah, sekitar 40 anggota GAM plus beberapa orang penduduk desa yang ikut terkurung. Tapi jumlah yang mengepung lebih dari 12 kompi, berpuluh kali lipat.

Sebenarnya keberadaan markas GAM di rawa Cot Trieng sendiri masih dipertanyakan. Tak satu pun penduduk desa sekitar yang tahu. Mereka malah tidak percaya bahwa di sana tempat bercokolnya sejumlah pemimpin Teuntara Neugara Aceh.

Hamidah Sabi, misalnya. Perempuan berusia 55 yang tinggal tak jauh dari pos TNI di Cot Trieng ini meragukannya. "Selama ini hampir di mana-mana GAM, tapi saya tidak percaya di sini ada markasnya," kata Hamidah. Dia menduga GAM yang terkepung hanya kebetulan melintasi desanya tapi terjebak. Sebab, dia hanya pernah melihat beberapa cantoi, alias anggota GAM, yang tak bersenjata. Bukan petinggi GAM seperti Panglima Teuntara Neugara Aceh Muzzakir Manaf ataupun juru bicara GAM Sofyan Daud yang mengaku ikut terkurung di rawa.

Namun Teungku Sayudan, seorang warga Desa Keutapang yang bersebelahan letaknya dengan Cot Trieng, mengaku kerap menyaksikan anggota GAM lewat di depan pasar desanya. Menurut pedagang kelontong ini, hampir setiap minggu terlihat berkeliaran anggota GAM berseragam militer menyandang senjata AK-47 atau senapan mesin dengan rantai peluru melilit di dadanya. Terkadang jalan kaki tapi sering pula mengendarai sepeda motor. Sayang, Sayudan tak tahu ke mana tujuan mereka. Apa pergi ke markasnya di Cot Trieng? Sayudan menggeleng tak yakin.

Tapi kalangan militer di Aceh yakin ada sebuah rumah di sana yang sebelumnya sering disinggahi petinggi GAM bersama puluhan anggotanya. Markas GAM yang dilengkapi dengan generator listrik itu dijuluki "rumah putih". Di rumah putih itulah konon Muzzakir Manaf beristirahat sekembalinya dari perjalanan.

Sampai saat ini belum jelas di mana Manaf berada. Semua juru bicara GAM tutup mulut. Soal keberadaan Sofyan Daud yang mengaku berada di tengah pengepungan justru dipastikan tak ada di Cot Trieng. Kepastian ini datang dari Komandan Korem Lilawangsa, A.Y. Nasution, yang merangkap Komandan Sektor A dalam kendali operasi TNI di Aceh.

Lalu siapa yang ada di dalam, Muzzakir Manaf? Nasution bungkam. Tapi, bagi TNI, seperti dikatakan Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Djali Jusuf, tak soal siapa tokoh yang terkurung. Mereka hanya diperintah untuk terus mengepung sampai GAM menandatangani perjanjian damai di Jenewa, 9 Desember nanti.

Melihat sikap Zaini Abdullah yang berkeras mempertahankan senjata GAM, bagaimana nasib perundingan ini? Abdullah mengatakan perjanjian hanya bisa ditandatangani jika kunci persoalan bisa disepakati menurut kepentingan mereka. "Kalau misalnya hal itu belum lagi sesuai, itu kan tidak mungkin ditandatangani," ujarnya.

Jadi apa akan terjadi kebuntuan? Pemerintah Indonesia dan Henry Dunant Center akan berupaya semaksimal mungkin guna membawa perundingan ke arah penandatanganan perjanjian. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yakin masalah senjata dan Brimob bisa dirumuskan untuk kepentingan dua belah pihak.

Amin Rianom, anggota tim perunding pemerintah, menyatakan keberatan terhadap persyaratan damai hanya datang dari Abdullah pribadi. Pimpinan GAM di Swedia secara keseluruhan menyetujui draf yang sudah sebelas kali dirombak. Sampai akhir pekan kemarin pun secara intensif tim perunding pemerintah dan tim Henry Dunant Center bertemu untuk mencari kesesuaian tawar-menawar.

Optimisme juga datang dari lembaga Henry Dunant Center. Juru bicaranya di Aceh, William Dowell, menyatakan jika ditunda terus, besar kemungkinan terjadi masalah yang mengganggu proses damai. Padahal rakyat Aceh sudah tak sabar ingin mengecap apa itu rasanya damai.

Tjandra Dewi, Zainal Bakri (Lhokseumawe), Yuswardi A. S.(Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus