Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menebak Bela Diri di Gunung Tembak

Dinas intelijen Amerika dan Indonesia menuding sejumlah tokoh memberi pelatihan militer di Pesantren Hidayatullah, Balikpapan. Siapakah mereka?

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lelaki kurus itu berdiri di depan sebuah bangunan tua sebuah pesantren jauh di pedalaman Kalimantan. "Anda dari Jakarta? Apa kabar?" katanya. Ia mengenakan baju kaus lengan panjang, mengapit kertas dan sebuah payung usang. Parasnya khas seorang ustad: janggutnya panjang, wajahnya teduh, dan di keningnya tertera dua titik hitam tanda bekas sujud. Ia banyak tersenyum. "Inilah pesantren kami. Selamat datang," kata Abdurrahman Muhammad, 47 tahun, pemimpin Pesantren Hidayatullah. Hidayatullah juga ramai disorot media asing. Pesantren ini luasnya 150 hektare, dengan santri lebih dari 2.000 orang, dan terletak di kawasan Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur. Majalah Time edisi September lalu menyebut pesantren ini sebagai tempat pelatihan militer Al-Qaidah. Sebelumnya, harian The New York Times di halaman pertamanya menulis lembaga pendidikan itu mengajari santrinya agar membenci Amerika Serikat. "Ada wartawan Belanda yang mengontak saya agar dipertemukan dengan Ustad Abdurrahman Muhammad," kata Wisnu Pramudya, Pemimpin Redaksi Majalah Suara Hidayatullah, media yang bernaung di bawah payung Hidayatullah. Didirikan pada 1972 oleh Abdullah Said, Hidayatullah adalah pesantren besar. Kini ia punya cabang hampir di semua kabupaten di Indonesia. Abdullah—kini almarhum—adalah pria Makassar, Sulawesi Selatan, yang terusir dari tanah kelahirannya karena pernah melakukan aksi menentang perjudian pada 1969. "Ia membakar tempat-tempat judi di sana," kata Syamsu Rijal Palu, Direktur Kampus Hidayatullah. Ketika itu Abdullah masih menggunakan nama Mukhsin Kahar—nama aslinya sebelum hijrah ke Kalimantan. Orang tua Said adalah Abdul Kahar, seorang ulama Nahdlatul Ulama pada era itu. Banyak pihak menghubung-hubungkan Hidayatullah dengan gerakan Kahar Muzakar. Salah satunya adalah karena di sana Azis Muzakar—putra bungsu Kahar Muzakar—duduk sebagai pengurus. Selain itu, beberapa saudara Abdullah Said juga pernah aktif dalam gerakan Kahar Muzakar. Di antaranya adalah Marzuki Hasan (saudara sepupu Said), yang pernah menjadi Menteri Dalam Negeri Darul Islam Sulawesi Selatan. "Tapi itu tak ada hubungannya dengan kami. Ustad Said malah sempat dikucilkan karena tidak membawa inspirasi Darul Islam," kata Abdurrahman. Majalah Time menyebut Hidayatullah terbilang radikal. Ini lantaran mereka pernah menerima kedatangan sejumlah orang yang dicurigai sebagai antek Al-Qaidah. Mereka adalah Umar al-Faruq, Yassin Syawal, dan Aris Munandar. Al-Faruq adalah warga negara Kuwait yang kini sudah diekstradisi ke Amerika Serikat. Sedangkan dua orang lainnya adalah ustad lokal yang memiliki hubungan dengan Pesantren Al-Mukmin di Jawa Tengah, yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir. Di Hidayatullah, para pendatang itu disebut oleh Time memberikan pelatihan militer. Pimpinan Hidayatullah membantah pernah didatangi Faruq. "Mungkin dia pakai nama lain. Tapi, kalau Faruq yang fotonya ada di koran-koran, enggak pernah datang ke sini," kata Syamsu Rijal. Semua tamu diterima dengan terbuka. Rijal mengaku, Yassin dan Aris Munandar memang pernah datang sekitar Januari tahun lalu. Yassin ketika itu baru kembali dari Poso. Ia lalu berceramah tentang kondisi muslim Poso yang kian terjepit. Latihan fisik? Betul, Yassin memang memberikan gemblengan fisik di sana. "Tapi cuma senam biasa," kata Rijal. Di Hidayatullah,Yassin Syawal, yang menggunakan nama Abu Muamar, menginap tiga hari. Sedangkan Aris Munandar menginap semalam dan memberikan pelatihan yang sama. Aris adalah salah seorang pengurus Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), lembaga yang juga dipimpin Abu Bakar Ba'asyir. Hidayatullah memang bekerja sama dengan MMI dalam hal pelatihan bela diri. "Aris Munandar kami kirim ke sana untuk maksud itu, tapi tak ada latihan kemiliteran," kata Irfan S. Awwas, salah seorang Ketua MMI. Hidayatullah tampaknya peduli pada pelatihan bela diri ini. Soalnya, lima dari 142 cabang pesantren itu di seluruh Indonesia menjadi korban konflik antar-etnis atau antar-agama. Kelimanya adalah pesantren cabang Sanggau Ledo (Kalimantan Barat), Wamena (Papua), Masohi (Maluku), dan Poso (Sulawesi Tenggara). Di Desa Sepa, Masohi, bangunan pesantren itu rata dengan tanah. "Kami sampai mengungsi," kata Sumang, pemimpin Hidayatullah di sana. "Di sana kami bahkan sempat bertarung di lapangan terbuka," ia menambahkan. Menurut Rijal, posisi mereka dalam konflik Poso dan Ambon hanya bertahan. Lalu, mengapa Time dan Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) menganggap kedatangan tokoh-tokoh itu begitu istimewa? Di mata intel asing—juga Indonesia—Yassin Syawal dan Aris memang spesial. Sebuah dokumen Badan Intelijen Negara (BIN) yang sempat dibaca TEMPO menyebutkan: Yassin masuk dalam lingkaran dalam Al-Faruq. Ia adalah orang yang mengenalkan pria yang diduga tokoh Al-Qaidah di Asia Tenggara itu dengan banyak tokoh Islam. Yassin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia pernah berlatih perang di kamp Chaldum di Afganistan bersama Hambali, tokoh yang dituding sebagai biang berbagai terorisme di Asia Tenggara, dan Umar al-Faruq. Ia adalah menantu Abdullah Sungkar, tokoh Ngruki yang pernah dihukum karena menentang asas tunggal Pancasila. Sungkar meninggal dunia di Malaysia ketika sedang mengasingkan diri—mereka menyebutnya "hijrah"— bersama Abu Bakar Ba'asyir. Urusan domestik, Yassin juga galak. Ia dituduh pernah merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Megawati. Ia juga dianggap pernah menyelundupkan senjata dari Filipina ke Sulawesi Selatan. Dari Aris Munandar, kabarnya ia pernah menerima setengah ton bahan peledak untuk dipakai berperang di Ambon. Adapun Aris adalah pengurus Departemen Hubungan Antar-Mujahidin Majelis Mujahidin Indonesia. Ia juga Ketua Kompak (Komite Penanggulangan Krisis) Dewan Dakwah Islamiyah. Setelah konflik Ambon meletus, ia aktif mengirimkan bantuan kemanusiaan ke sana. Akhir tahun lalu Aris pernah membawa bantuan dari Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta sebesar Rp 600 juta. Uang sebanyak itu dibelanjakan untuk membeli bahan-bahan kebutuhan pokok di Kota Palu, Sulawesi Tenggara. "Sampai-sampai semua mi instan di toko-toko di Palu habis dibeli Kompak," kata Tamsil Linrung, aktivis Partai Amanat Nasional yang juga Ketua Umum Kompak. Karena sering berkeliling ke daerah-daerah konflik, Aris kerap membuat film dokumenter tentang kaum muslim di kawasan yang bergolak tersebut. Aris lahir di Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Usianya sekitar 40 tahun. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk kegiatan kemanusiaan. Sejak SD hingga tamat SMU, Aris nyantri di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki. "Tapi, mengingat ia lulus dari Ngruki tahun 1989, saya kira ia tak pernah diajar langsung oleh Ustad Abu Bakar Ba'asyir," kata Wahyudin, Wakil Direktur Pesantren Al-Mukmin. Lelaki yang beristrikan seorang dokter ini banyak memiliki anak asuh. Ia tak punya pekerjaan tetap selain sebagai investor pabrik jamu penggemukan sapi. "Saya tidak tahu persis apa pekerjaannya, tapi dia orang ulet dan tahu peluang bisnis," kata Wahyudin. Karena punya sense bisnis itulah Aris dipercaya mengelola Darul Birri', sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. LSM ini memiliki program memberikan bantuan dana untuk pendirian masjid dan panti asuhan. Setamat dari Ngruki, Aris melanjutkan sekolahnya ke sebuah universitas di Pakistan hingga mendapat gelar Lc (program sarjana dari universitas di Timur Tengah). Baik Tamsil maupun Wahyudin meragukan keterlibatan Aris dalam pelatihan militer. "Kalau lobi, memang dia jago. Tapi kalau sampai melatih perang, saya rasa tidak. Ia tak memiliki potongan orang yang suka kekerasan, apalagi perang," kata Wahyudin. Sayang, Aris Munandar dan Yassin Syawal tak bisa dikontak untuk diklarifikasi. Sejak nama mereka disebut-sebut banyak media asing, keduanya nyaris tak bisa ditemui. Menurut beberapa karyawan Kompak Solo, selama tiga bulan terakhir Aris tak muncul. "Padahal sebelumnya, meski sebentar, Aris setiap hari datang," kata karyawan itu. Di rumahnya pun Aris tak ada. "Bapak selalu pergi. Saya enggak tahu ke mana. Saya enggak suka ada orang nanya-nanya suami saya," kata istrinya melalui telepon kepada TEMPO. Lalu, klik, telepon ditutup. Yassin lebih misterius lagi. Polisi menyebutkan ia tinggal di kawasan Kramat, Jakarta Pusat. Ketika TEMPO menghubungi alamat itu via telepon, seorang perempuan membenarkan itu rumah Yassin. "Tapi Bapak sedang pergi ke Jawa Timur," ujarnya. Namun, saat TEMPO datang berkunjung, nama Yassin justru tak dikenal. "Tidak ada nama Yassin di sini," kata seorang lelaki 71 tahun yang memperkenalkan diri bernama Haji Sangkala. Ia adalah aktivis MMI. "Haji Sangkala adalah mertua Yassin Syawal," kata seorang pengurus MMI. Namun, Sangkala mati-matian menyangkal mengenal Yassin. Jurus-jurus bela diri dan khotbah kedua tokoh tersebut sedikit menoreh Hidayatullah, pesantren pertanian yang kini jadi buah mulut dunia. Arif Zulkifli (Balikpapan), Tomi Lebang, Edy Budiyarso (Jakarta), Imron Rosyid (Solo), Heru Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus