Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Perguruan Tinggi Daerah Bicara

Cerita tentang keadaan Universitas palangkaraya, universitas Riau dan Universitas Tanjungpura. Kesulitan mereka hampir sama: kekurangan tenaga pengajar dan fasilitas. (pdk)

27 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA ini, perguruan tinggi negeri yang tergabung dalam SKALU, bagi sementara kalangan dilihat sebagai anak emas. Kelompok yang dulu bernama Center of Excelent itu -- tapi kemudian banyak perguruan tinggi negeri lain merasa keberatan atas istilah itu. sebab kalanya, "apanya yang excelence?" -- mendapat anggaran biaya yang paling besar dibanding dengan rekan-rekannya yang lain. Hal itu dapat dilihat dari seluruh anggaran Pelita sampai dengan tahun 1976, kira-kira 50 prosen dialokasikan untuk lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Tapi kebijaksanaan menciptakan "kelompok anak tiri" terhadap perguruan tinggi negeri yang lain, sudah tentu bukan maksud pemerintah. Sebab masalah pembagian anggaran itu, "nanti akan digilir", ujar Sjarif Thajeb. Lagi pula, katanya, SKALU yang telah mendapatkan porsi terbesar dari anggaran itu, juga memang telah memberikan hasil yang banyak. Jadi tidak mubazirlah. Lantas bagaimana kehidupan perguruan tinggi negeri lain. Terutama di daerah selama ini? Universitas Palangkaraya Universitas negeri yang terletak di Palangkaraya, ibukota Kalimantan Tengah, yang berdiri sejak tahun 1963 itu, sudah lama mengalami krisis tenaga pengajar. Kini universitas yang hanya memiliki fakultas keguruan (jurusan keguruan dan pendidikan). fakultan ekonomi, dan fakultas kehutanan itu cuma memiliki tenaga pengajar tetap sebanyak 17 orang. Dari jumlah itu pun hanya 14 saja yang memiliki titel sarjana. Sisanya baru sarjana muda. Bisa dibayangkan, apa yang bisa diperbuat oleh sejumlah tenaga pengajar itu terhadap sekitar 1000 orang mahasiswanya. Jangankan mengharap ada kegiatan riset atau menghasilkan tenaga doktor. Untuk hidup saja nampaknya cukup sulit "Kami terpaksa merekrut 20 tenaga pengajar dari luar yang berasal dari pejabat pemerintah dan daerah setempat", ujar drs. Nang. AMD Patianom. Kuasa Presiden Universitas Palangkaraya. Barangkali karena kesulitan itu. Universitas yang terletak di daerah hutan Kalimantan itu, tahun 1965, menutup fakultas kehutanannya. Tragis. Kini perguruan tinggi negeri yang sudah lebih 10 tahun hanya memiliki dua fakultas itu, masih berusaha untuk menyambung nafas. Misalnya dengan mengadakan afiliasi dengan Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, terutama untuk fakultas ekonominya, serta dengan IKIP Bandung dan Malang untuk fakultas keguruannya. Itu pun kabarnya, afiliasi dengan cara mengirim mahasiswa tingkat sarjana muda ke perguruan-perguruan tinggi tersebut (untuk calon dosen) atas biaya universitas jadi statusnya tidak resmi. Dan usaha yang mendapat bantuan dari Pemda Kalimantan Tengah sebesar Rp 11 juta per tahunnya itu masih juga tidak beres. Sebab sering calon dosen yang dikirim itu, keberatan untuk pulang kampung. Maklumlah. Universitas Riau Universitas yang disingkat Unri dan berdiri setahun lebih tua dari Universitas Palangkaraya ini, agak lebih beruntung ketimbang rekannya terdahulu. Memiliki fakultas perikanan yang berafiliasi dengan IPB, fakultas sospol, fakultas pendidikan dan keguruan, serta fakultas ekonomi dan FIPIA -- yang kini masing-masing sedang dijajagi kemungkinan afiliasi dengan Universitas Gajah Mada dan ITB -- sampai kini masih menikmati fasilitas bantuan Pemda Riau dan perusahaan minyak Caltex. Dari perusahaan minyak Amerika yang sudah beberapa puluh tahun menghisap minyak dari kawasan itu, Unri, selain mendapat sumbangan $ 5 ribu per tahun dan pinjaman fasilitas laboratorium bahasa, juga dapat bantuan menerbangkan delapan pengajar luar biasa yang dicomot dari ITB, UI, GAMA, IPB, Unpad. Sementara dari fihak Pemda Riau, universitas yang memiliki 145 dosen tetap (semuanya sarjana) dan 1117 mahasiswa itu, saban tahun mendapat suntikan sebesar satu prosen dari APBD. Kenapa harus minta bantuan ke universitas di Jawa, bukan misalnya berafiliasi dengan Universitas Andalas atau Sumatera Utara? "Kalau kami harus datangkan dosen luar biasa dari universitas tersebut, kami harus pikul biaya sendiri, kami tidak sanggup" ujar drs. Muchtar Luthfi, Wakil Ketua Presidium Unri. Dan masih ada alasan lain. "Fasilitas laboratorium, perpustakaan dan tenaga pengajar di IPB misalnya, cukup lengkap", sambung M. Farid Kasmy, Sekretaris Presidium. Universitas Tanjungpura Berdiri sama-sama tahun 1963 dengan Palangkaraya tapi lebih muda dari Vniversitas Mulawarman di Kaltim ( 1962) dan Universitas Lambungmangkurat di Kalsel (1960), universitas yang melengkapi setiap propinsi Kalimantan dengan satu perguruan tinggi negeri itu terletak di Pontianak Kalbar Universitas yang memiliki fakultas hukum, ekonomi, pertanian, teknik, sospol serta keguruan dan pendidikan ini, mempunyai sebanyak 70 pengajar tetap (tambah 120 pengajar tidak tetap yang diambil dari pejabat-pejabat daerah) dan 2 ribu mahasiswa. Sebagaimana universitas negeri daerah yang lain, Untan juga mendapat bantuan penuh Pemda. Misalnya biaya untuk mencetak tenaga dosen lewat afiliasi dengan ITB dan IPB, setiap tahun Gubernur Kadarusno rata-rata memberi ongkos sebesar Rp 20 juta. Menambah jumlah dosen dengan lamaran terbuka, memang pernah dicoba juga. Tapi walaupun untuk tahun akademi 1975/1976 terbuka jatah untuk 15 dosen, "yang melamar cuma satu orang", ujar Ir. JC. Hartoyo, Pembantu Rektor Bidang Akademis, "itu pun lulusan fakultas ekonomi Untan sendiri". Agaknya, kesulitan mengelola universitas negeri, hampir sama saja di semua daerah. Sehingga untuk dapat hidup, bukan saja diperlukan kerja keras dari para pengasuhnya, tapi juga kebaikan hati para pejabat daerah setempat. Tapi melihat kasus Universitas Palangkaraya misalnya yang cuma memiliki dua fakultas, rasanya sukar diharapkan adanya hasil memadai. Namun Patianom, Kuasa Presediumnya, keberatan kalau Palangkaraya dituduh sudah susah hidup. "Lihat saja kami masih bisa berjalan sampai sekarang". katanya "lagipula bagaimanapun juga universutas ini jadi kebanggan putera daerah yang didukung oleh Pemda". Mungkin itulah salahnya. Sikap serupa itu yang mementingkan prestise dari pada prestasi, memang dimiliki oleh banyak pimpinan Universitas di daerah. Untungnya, seperti Patianom, kejujuran untuk mengakui kelemahan universitas yang dipimpinnya selama ini, masih terbuka. Bagaimana kalau perguruan tinggi negeri itu diintegrasikan atau ditutup sama sekali? "Kalau itu kemauan pemerintah, apa boleh buat", katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus