Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pelataran lapang sebuah rumah, seratusan orang menatap layar putih sepanjang enam meter yang terang oleh sorot lampu. Dari baliknya, satu per satu tokoh wayang muncul diiringi suara dalang yang menggelegar. Malam itu penduduk Desa Tiripan, Kecamatan Berbek, Nganjuk, sedang menikmati pesta wayang yang digelar tetangga yang punya hajat.
Penonton tak peduli meski pergelaran minus perawit, gamelan, dan sinden. Mereka tetap asyik menonton wayang "minimalis" dengan hanya ada dalang dan asistennya serta penjaga perangkat suara itu. Tapi suasananya mirip dengan pergelaran wayang kulit dengan gamelan lengkap.
Inilah wayang paket hemat. Masyarakat Nganjuk menyebutnya wayang karaoke, yang mereka singkat menjadi wayang karo. Orang yang mengoperasikan sound system memiliki peran sentral dalam pertunjukan ini, karena alat tersebutlah yang bisa memberikan suasana mirip pergelaran wayang "live". Dalang tinggal mengisi suara seperti biasa.
Karena karaoke, alur cerita wayang karo tentu hanya mengikuti alur cerita wayang kulit yang diputar. Gerakan wayang juga mengikuti gamelan dari pengeras suara.
"Ini jauh lebih sulit dibanding memainkan wayang kulit biasa," kata Suwandi, pencipta wayang karo. Sang dalang wayang karo harus hafal alur cerita dan gamelan yang mengiringinya agar bisa mengikuti secara tepat. Gaya mendalang pun harus disesuaikan dengan karakter dalang aslinya. Misalnya Ki Manteb Sudarsono, yang jago sabetan, atau Ki Anom Suroto, yang humoris.
Wayang karo diciptakan karena ada kebutuhan wayang murah. Sebagai anggota komunitas pencinta wayang kulit, Suwandi dan teman-temannya prihatin karena hanya segelintir orang yang bisa mempelajari dan mendalami kesenian wayang karena biayanya mahal. Pasalnya, harga satu tokoh karakter wayang bisa jutaan rupiah. Sedangkan untuk melakonkan sebuah cerita dibutuhkan lebih dari 100 tokoh. Belum lagi biaya kursus dalang yang mahal. Praktis kesenian ini hanya milik seniman berduit.
Wayang karo menawarkan solusi. Selain minus perangkat gamelan, bahan wayang pun murah. Suwandi membuatnya dari mika atau plastik, bukan dari kulit lembu (baca boks: "Dari Plastik, Murah Meriah"). Para peminat wayang bisa menggelar pertunjukan dengan biaya terjangkau, yakni Rp 1-1,5 juta. Fasilitasnya sekotak wayang menurut kebutuhan cerita dan pemutar VCD atau MP3 berisi pertunjukan wayang kulit yang sudah diedit. Dari pertunjukan aslinya yang lebih dari enam jam, untuk wayang karo bisa dipotong jadi empat jam.
Untuk menyuguhkan suasana yang mirip pertunjukan wayang kulit asli yang banderolnya sekitar Rp 30 juta itu, Suwandi hanya dibantu empat orang. Satu orang menangani pemasangan layar dan tata suara, lalu dalang, asisten dalang, dan perias dalang. Karena honor tak banyak, "Hanya dalang yang mendapat upah. Lainnya habis untuk transpor, sewa kostum, dan perawatan wayang," ujar dosen ilmu sosial budaya dasar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi PGRI Nganjuk itu sambil tertawa.
Jerih payah itu diniatkan Suwandi untuk mempopulerkan kesenian ini. Karena itu, ia melibatkan anak-anak dan remaja dalam pementasan. Salah satu mitranya adalah Obi Freindy Chandra, siswa SMK 1 jurusan karawitan di Solo, sebagai dalang, dan Krisna Cahyo Wicaksono, murid kelas IV SDN Tiripan I, sebagai dalang cilik.
"Sementara pada wayang kulit gamelan mengikuti dalang, ini dalangnya yang mengikuti gamelan," kata Krisna, anak Warsito, pembantu Suwandi yang bertugas memasang layar dan tata suara. Krisna mulai menonton wayang sejak kecil, lalu belajar dari video. Sedangkan Chandra telah piawai memainkan wayang kulit sungguhan.
Suwandi membebaskan bocah-bocah itu belajar dan berekspresi dengan wayang-wayang ciptaannya. Ia membiarkan mereka membanting-banting wayang mika karena daya tahannya memang kuat. Ia juga membangun komunitas seni di rumahnya. Tapi tak banyak yang serius seperti Chandra dan Krisna. Mereka lebih suka menonton televisi.
Wayang karo memang belum dikenal luas. Juru bicara Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Abdul Wachid, mengaku baru mengetahui wayang karo dari pameran. "Saya akan mencoba berkomunikasi dengan Dinas Pariwisata mengenai hal ini."
Endri Kurniawati, Hari Tri Wasono
Dari Plastik, Murah Meriah
Mika atau plastik dipilih sebagai bahan wayang karo. Biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan wayang asli, yakni kulit. Bahannya lentur dan kuat tapi tahan air. "Paling yang rusak catnya. Itu pun bisa segera diperbaiki," kata Suwandi, yang membuat wayang mika sejak 2009.
Wayang mika itu ide almarhum Totok, anggota Paguyuban Wayang Karo. Kala itu, Totok menerima hadiah replika wayang mika dari pamannya. Lalu dia mempelajarinya. Ukuran wayang bikinan Totok yang terlalu kecil membuat pertunjukan wayang karo di beberapa acara hajatan tak banyak diperhatikan masyarakat. Suwandi memperbaikinya dengan memperbesar ukuran sama persis dengan ukuran standar wayang kulit.
Cara membuatnya mudah. Dari komputer, Suwandi mencetak gambar tokoh wayang dengan printer, lalu menempel kertas itu di lembaran mika. Untuk memotong lembaran mika itu diperlukan solder atau obeng yang dipanaskan. Polanya digambar dengan cat minyak, sesuai dengan pola wayang kulit. "Jika disorot dari belakang layar, wayangnya berwarna. Tidak hitam-putih seperti wayang kulit."
Biaya pembuatan wayang mika sekitar Rp 100 ribu untuk ukuran normal. Bandingkan dengan wayang kulit yang harganya lebih dari Rp 1 juta untuk ukuran sedang.
Jika dikejar tenggat, dalam sehari Suwandi bisa membuat wayang mika lebih dari satu. Tak kurang dari 300 karakter wayang telah dia buat, meski ia tak ingat berapa biayanya. Yang pasti, laptop dan printernya sampai jebol untuk mendesain wayang.
Meski ada peminat, Suwandi belum memperjualbelikan wayang mika. Ia tak punya waktu dan tenaga. Hanya sesekali ia mengikuti pameran dinas perindustrian, perdagangan, dan koperasi.
Endri Kurniawati, Hari Tri Wasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo