Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

PP tentang Praktisi Kesehatan Tradisional Dinilai Abaikan Pengobatan Alternatif

Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional dianggap menyulitkan praktisi kesehatan tradisional atau pengobatan alternatif.

8 Oktober 2021 | 12.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi obat herbal/alami, kayu manis, madu, cengkeh. REUTERS/Susan Lutz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Malang - Sebagian masyarakat yang tinggal di perdesaan masih memanfaatkan pengobatan alternatif ketimbang berobat ke dokter. Problemnya, saat ini keberdaan penyehat tradisional belum mendapat perhatian, perlindungan, pembinaan, dan pengembangan dari pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional pada 3 Desember 2014. Namun, peraturan tersebut justru menyulitkan penyehat atau praktisi kesehatan tradisional. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Medan Area, Rustam Ependi mengatakan, saat ini, banyak praktisi kesehatan tradisional yang tidak bisa memperpanjang izin praktik setelah ketentuan itu berlaku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sebab mereka harus mendapat surat rekomendasi dari organisasi profesi berskala nasional dulu," kata Rustam saat dihubungi dari Kota Malang pada Kamis, 7 Oktober 2021. Rustam mengkaji Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional bersama Yayasan Bina Keterampilan Perdesaan Indonesia atau Yayasan BITRA Indonesia.

Sebelum peraturan pemerintah itu berlaku, para penyehat tradisional di Sumatera Utara misalkan, sejak 2009 punya organisasi profesi bernama Perkumpulan Asosiasi Penyehat Alternatif Sumut (P-Apusu) yang beranggotakan sekitar 200 orang. Organisasi ini aktif membina dan pengembangan keahlian dan keterampilan penyehat tradisional.

Pemerintah sempat mengakui rekomendasi yang diberikan P-Apusu kepada anggotanya sebagai syarat untuk mendapatkan Surat Terdaftar Penyehat Tradisional atau STPT. Namun sejak peraturan pemerintah itu berlaku, P-Apusu kini tak lagi diakui karena bukan organisasi berskala nasional. Pasal 49 peraturan itu menyebutkan, "ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tenaga kesehatan tradisional diatur dengan peraturan menteri".

Rustam menambahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 itu juga mengelompokkan pelayanan kesehatan tradisional dalam tiga kategori, yaitu pelayanan kesehatan tradisional empiris, komplementer, dan integrasi. Dalam kelompok penyehat tradisional empiris, orang yang mengikuti pelatihan berbulan-bulan maupun sudah berpengalaman justru sama dengan penyehat tradisional yang memperoleh kemampuan secara turun-temurun, yang populer disebut dukun.

Penyehat tradisional dalam klaster komplementer harus berpendidikan minimal diploma III. Sedangkan kelompok integrasi merupakan gabungan kelompok empiris dan komplementer. Menurut Rustam, pola klaster semacam itu memang terlihat terstruktur dan terukur (sistematis) dari strategi mikro pelayanan kesehatan tradisional. Namun, pola klaster itu kontradiktif dengan asas keadilan, nondiskriminasi, dan menghambat peluang partisipasi penyehat tradisional secara luas.

Dalam konteks tersebut, penyehat tradisional empiris yang menjadi korban pertama. Mereka tak bisa berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan komplementer dan integrasi. Padahal, fakta empiris para penyehat tradisional mempunyai kemampuan dan keterampilan yang relatif sama dengan praktisi kesehatan yang masuk dua klaster lain.

Pengelompokan dan kewajiban mendapatkan rekomendasi Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (SPTP) dari organisasi berskala nasional, menurut Rustam, menunjukkan regulasi yang diskriminatif, mengabaikan kearifan lokal, melemahkan organisasi tingkat lokal, menghambat pengembangan sumber daya manusia, dan penyerapan ekonomi yang terpusat. Klaterisasi ini diskriminatif, membatasi peluang partisipasi, dan tidak memberi ruang pengembangan," kata Rustam yang juga pengusaha jamu. "Sedangkan kewajiban mendapatkan STPT dari organisasi berskala nasional juga makin meneguhkan sifat organisasi profesi yang sentralistik."

Sebab itu, Rustam menyarankan pemerintah pusat merevisi peraturan tersebut agar terhindar dari pelanggaran atas asas keadilan, nondiskriminasi, perikemanusiaan, dan asas lain yang termaktub dalam ketentuan tadi. Rustam memberikan lima saran kepada pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan para penyehat tradisional.

Pertama, pemerintah mendata potensi kuantitas dan kualitas keterampilan penyehat tradisional. Kedua, pemerintah membuka ruang dialog untuk mendapatkan simpul-simpul kebenaran praktis dan solusi bagi para praktisi kesehatan tradisional dan pemerintah. Ketiga, pemerintah memetakan masalah untuk menumbuhkembangkan penyehat tradisional empiris.

Keempat, pemerintah memaksimalkan fungsi pemberdayaan dan pembinaan secara khusus kepada para penyehat tradisional empiris agar mereka "naik kelas" menjadi pelayan kesehatan tradisional komplementer. Kelima, pemerintah merumuskan kebijakan berbasis fakta dan akomodatif terhadap eksistensi para penyehat tradisional.

Penjelasan Rustam selaras dengan harapan Irianto Sipayung, penyehat tradisional dari Desa Tanjung Harap, Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Irianto sudah mempunyai STPT dari dinas kesehatan setempat setelah mendapat rekomendasi dari P-Apusu. Namun, sejak 2017 dia tak lagi bisa memperpanjang maupun memperbarui STPT karena berdasarkan peraturan tadi, P-Apusu bukan lagi organisasi profesi berskala nasional. Padahal, selama ini P-Apusu yang membina Irianto sehingga terampil memijat dan membuat ramuan tradisional.

Profesor Heru Santoso dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara menyatakan, pelayanan kesehatan tradisional masih menjadi tulang punggung sistem kesehatan di perdesaan. Dia berharap pemerintah membangun dan mengembangkan layanan kesehatan tradisional ke hulu. "Supaya penduduk desa tidak perlu jauh-jauh ke puskesmas dan mengeluarkan ongkos transportasi yang tak sedikit, meski di puskesmas berobatnya gratis," katanya. "Itu sebabnya sebagian besar penduduk desa memilih berobat ke penyehat tradisional."

Satu lagi persoalan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional, menurut Heru, belum bisa terlaksana karena sampai sekarang belum ada peraturan turunan, berupa peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, tidak jelas siapa lembaga yang berwenang mengurus sertifikasi dan pelbagai izin bagi para penyehat tradisional ini, apakah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota?

Baca juga:
Profesor Harvard Medical School Ungkap Manfaat Bekam

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus