KAPTEN Pilot Markus terkesiap. Secepatnya ia menaikkan kembali pesawat Twin Otter DHC 6 milik penerbangan Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang siap mendarat di lapangan terbang perintis Satarracik. Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT, Senin 26 Oktober pekan lalu. Puluhan orang tampak bergerombol di tengah landasan pacu, sambil mengacung-acungkan parang dan bambu. "Landasan tidak aman, pendaratan sebaiknya dialihkan ke lapangan terbang terdekat," perintah dari menara pengawas kepada Markus. Markus pun mendaratkan pesawatnya di lapangan terbang Mutiara, Labuhan Bajo, 100 km dari Ruteng. Selama kurang lebih satu jam, sejak pukul 08.00 hari itu penduduk Desa Pitak, Kumba, dan Tenda yang tinggal di sekitar lapangan terbang melakukan unjuk rasa di tengah landasan pacu. "Jangan coba-coba turun kalau ingin selamat, ini tanah kami," teriak mereka. Satuan pengamanan lapangan terbang Satartacik tidak mampu mengusir mereka. Baru setelah satu peleton polisi dari Resort Manggarai serta beberapa petugas dari Kodim tiba, unjuk rasa itu bisa dibubarkan. "Sudah terlalu lama rakyat kami menanggung penderitaan. Menunggu terus. Apa yang dijanjikan pemerintah tidak pernah terwujud," kata Anton Ninggut, 62 tahun, pimpinan pengunjuk rasa ini, kepada Jalil Hakim dari TEMPO. Demonstrasi pekan lalu merupakan puncak rasa ketidakpuasan penduduk sejak pembuatan lapangan terbang dilaksanakan, 1969. Tanah turun-temurun yang telah menjadi sumber kehidupan ini tergusur dengan adanya proyek ini. Anton Ninggut sendiri tidak ingat berapa luas tanah persekutuan adat atau lingko yang terkena gusur. "Kami belum memiliki administrasi yang rapi seperti halnya kantoran," tutur Anton Ninggut, yang juga ketua persekutuan adat (Tua Teno) di Desa Pitak ini. Ketidakpuasan masyarakat makin menjadi-jadi ketika lapangan terbang diperluas. "Janji santunan yang dulu saja belum dibayar, kok tiba-tiba lapangan terus diperluas," kata Ninggut. "Bukannya kami melawan kebijaksanaan pemerintah. Kami hanya ingin minta perhatian pemerintah. Lain tidak," tambahnya. Peristiwa ini dinilai Sekwilda Manggarai, Johanis Bessy, sebagai suatu kenekatan yang luar biasa. "'Kan pemakaian tanah lingko ini sudah mendapat persetujuan dan pemuka-pemuka adat. Apalagi tanah-tanah itu milik negara juga," katanya. Pemerintah, katanya, memang telah sepakat akan memberikan semacam santunan dan tanah pengganti. Bukan ganti rugi. Namun, sejak lapangan terbang itu diresmikan oleh Frans Seda -- menteri perhubungan saat itu -- pada 1971, janji itu belum terpenuhi hingga 1986. Tanah pengganti yang diberikan juga ditolak dengan alasan daerah baru itu tidak menguntungkan, asing dan jauh dari tempat asal. Pada 1980, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menyetujui usulan dari Pemda dan menyediakan dana Rp 225 juta. Namun, para bekas penggarap itu -- entah mengapa -- belum bisa memperoleh hak mereka. Bahkan sampai 1982/1983, ketika Satartacik diperluas menjadi 59,8 ha dari 30,3 ha. Status lapangan terbang perintis pun berubah menjadi lapangan terbang kelas III. Baru pada 1986, sebagian penduduk bekas penggarap mulai menerima santunan. Menurut Simon Saleh, Kahumas Kabupaten Manggarai, pembayaran santunan itu dikategorikan sebagai pembayaran tahap I sebesar Rp 94.751.200,00 -- bagi 176 penduduk untuk tanah seluas 236.878 m2. Pembayaran ini diwarnai dengan ketegangan. Harga santunan Rp 400,00/m2 dirasakan terlalu kecil. Tapi, menurut Pemda, angka itu adalah kesepakatan antara pemerintah daerah dan para tua teno. Pembayaran tahap II lagi-lagi tersendat. Karena itulah penduduk melakukan unjuk rasa. Ternyata, mereka berhasil. Keesokan harinya, 27 Oktober, pembayaran tahap II dilakukan. "Kalau kami tidak menduduki lapangan, barangkali pemberian uang santunan belum akan dilakukan," tutur Ninggut. Mengapa pembayaran santunan tertunda-tunda? "Kami tidak bisa mendapatkan keterangan yang jelas dari para ketua adat. Kami tidak tahu secara jelas siapa yang berhak menerima," kata Bessy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini