KARTOREJO, 55 tahun, hanya seorang tukang becak. Ia tinggal di rumah sederhana berdinding kayu di Kampung Sutodirjan, Kelurahan Pringgokusuman, Yogyakarta. Tetangganya, Ateng, 40 tahun, bukan pula tokoh penting. Ia penjual bakso. Tapi, dari kedua rumah inilah polisi Yogya menangkap sejumlah orang, Senin malam pekan lalu. Dari rumah Karto ditangkap delapan orang. Di rumah Ateng tiga orang, yakni seorang camat yang bertugas di Kabupaten Klaten, seorang temannya, dan sopir sang camat. Ketiganya ditangkap sedang makan bakso, dan memang warung Ateng malam itu belum tutup. Ke-13 orang itu langsung dibawa ke Kodim. Setelah diperiksa, lima orang tak boleh pulang, antara lain Kartorejo, Ateng, dan camat itu. Sabtu pekan lalu, kelimanya sudah bebas, tapi masih kena wajib apel mulai Senin pekan ini. Dandim Yogya, Letkol Sri Roso Sudarma, membantah berita di koran-koran bahwa aparat keamanan sudah memastikan kelompok itu sebagai aliran sesat. "Aliran kepercayaan atau bukan, pemeriksaan masih berlanjut," kata Letkol Sri. Menurut Karto, pertemuan itu hanya sekadar kumpul-kumpul dari orang-orang yang merasa disembuhkan oleh Supardi, penduduk Desa Dengo, Wonosari, Gunungkidul. Supardi yang berusia sekitar 70 tahun, dan masih mengajar di SD Wonosari, dikenal sebagal orang bisa menyembuhkan rupa-rupa penyakit. Di Kampung Sutodirjan, yang mula-mula mengenal Supardi adalah Ateng. Penjual bakso inii pernah mengantarkan istrinya yang sakit. "Di rumah Supardi, istri saya hanya disuruh mandi dan kepalanya diremas dengan tanah, lantas sembuh," cerita Ateng. Di malam Selasa Kliwon bulan Juli lalu, istri Karto bermimpi didatangi orang tua. Orang itu berkata, "Ojo sedih, yen pingin slamet mlaku ngidul ngetan Wonosari" (jangan sedih, kalau ingin selamat berjalanlah ke arah tenggara Wonosari). Saat itu, istri Karto yang berjualan kecil-kecilan, memang lagi sedih. Dagangannya kurang laku, mimpi istrinya ini diceritakan Karto ke Ateng, sembari menanyakan apa ada orang pintar di tenggara Wonosari. Ateng langsung membawa Kartorejo ke rumah Supardi, dan yakin orang tua inilah yang dimaksud dalam mimpi itu. Di rumah Supardi, begitu penuturan Karto, ia mendapat nasihat, "Kalau kamu ingin selamat, turutilah kata saya. Kalau saya bilang selatan ya selatan, utara ya utara." Karto mengiyakan. "Sejak itu kehidupan istri saya baik. Dagangannya laris dan jarang ditipu," kata Karto. "Saya hanya mencari keselamatan, jadi kata-kata Pak Supardi saya ikuti, toh tak ada ruginya." Memang tak rugi. Karena Supardi memberi nasihat dan penyembuhan itu tanpa memungut bayaran. "Ditinggali apa-apa juga tak mau," kata Karto. Maka, semakin seringlah Karto ke rumah "orang pintar" ini, sesekali mengajak tetangganya yang lain. Di sanalah, Karto berkenalan dengan sang camat, yang saat itu mengantar istrinya berobat. "Saya tak tahu nama camat itu. Karena saya merasa rakyat kecil, saya jarang bicara dengan dia," katanya. Di suatu hari, Jumat Legi bulan Syura (sekitar September), orang-orang yang sedang berada di rumah Supardi itu diberi teka-teki. "Pak Supardi memberi satu kalimat yang harus dicari artinya. Kalimat itu berbunyi, Ratu Adil Bathok Bolu," kata Karto. Nah, untuk memecahkan teka-teki inilah, Kartorejo merencanakan pertemuan di rumahnya. "Pak Supardi tidak kami undang dan tidak ada rencana untuk datang. Jadi, kami tak perlu minta izin Lurah," kata Karto. Pak Camat itu? "Ia tak diundang, mungkin kebetulan tahu, terus dolan sambil makan bakso," kata Ateng. Bagi Lurah Pringgokusuman, Petrus Untung Sudarto, pertemuan Ini tergolong rapat gelap karena tanpa izin. Rumah Petrus memang bersebelahan dengan rumah Kartorejo. Aparat kelurahan lantas melaporkan rapat gelap ini. Pertemuan memecahkan teka-teki yang belum berlangsung itu pun digerebek. Made Suarjana dan Nanik Ismiani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini