Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pulang Kandang

Komunitas jazz tumbuh subur di Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Purwokerto. Mereka satu kata: jazz bukan musik milik elite semata.

2 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gadis berkerudung merah, Ken Nampi Mukti, meniup saksofon kuning emas. Ia menyanyikan lagu Ke Rumah Paman. Lagu beraliran swing tentang liburan bocah ke rumah paman di desa itu ia ciptakan setelah mengunjungi pamannya. "Saya suka pemandangan sawah," kata Kenny, pelajar kelas I SMP 14 Yogyakarta.

Kenny bersama Kirana Big Band membuka Ngayogjazz 2013 di Desa Wisata Sidoakur, Dusun Jethak, Sidokarto, Godean, Sleman, Sabtu siang, 16 November lalu. Ada lima panggung, yang dibangun di sela-sela rumah penduduk, untuk pergelaran ini. Maka di desa itu seperti sedang terjadi jorjoran pesta mantu. Musik terdengar di seantero kampung, penjual dadakan bermunculan, dan suasana pesta ada di mana-mana.

Panggung Ngayogjazz pertama digelar pada 2007. Bisa dikatakan inilah panggung jazz terbesar di Tanah Air setelah Java Jazz. Bedanya, konser di Jakarta itu digelar di tempat mewah dengan tiket mahal. Sedangkan panggung Ngayogjazz berdiri tak jauh dari sawah dan gratis.

Ada 29 penampil dalam konser kali ini. Ada yang sudah punya nama seperti Monita Tahalea, Shadu Band, Idang Rasjidi, Dony Koeswinarno Quintet, dan Oele Pattiselano Trio. Ada juga Baraka dan D'aqua dari Jepang, peniup trompet kenamaan Erik Truffaz dari Prancis, Brink Man Ship dari Swiss, dan Jerry Pellegrino dari Amerika Serikat.

Kelompok yang bisa jadi baru Anda dengar namanya pun diberi tempat. Mereka adalah komunitas jazz dari berbagai kota. Selain Kirana Big Band dan Komunitas Jazz Jogja dari Yogyakarta, ada DAC Band Semarang, Solo Jazz Society, Jazz Ngisor Ringin Semarang, dan Jes Udu Purwokerto. Komunitas jazz asal luar Jawa juga hadir. Ada Balikpapan Jazz Lovers dan Gubug Jazz Pekanbaru.

Mereka tampil di lima panggung secara simultan sejak pukul 10.00 hingga menjelang 24.00. Nama panggung menggunakan kata dan frasa Jawa yang mencerminkan harmoni: Sayuk Rukun, Wawuh, Guyub, Srawung, dan panggung seni tradisional.

Bresss…. Hujan mengguyur. Penonton pun tunggang-langgang, berteduh ke teras-teras rumah. Tapi beberapa masih bertahan karena sudah menyiapkan jas hujan dan payung.

1 1 1

Penduduk Sidokarto bergandeng tangan menggelar hajatan jazz. Djoko Soedarjo, Koordinator Seni Panembromo Anggoro Kasih, kelompok seni Desa Wisata Sidoakur, mengatakan ratusan penduduk terlibat dalam penyelenggaraan Ngayogjazz 2013 ini. Ada yang membantu menyiapkan rumah untuk latar belakang panggung, menyediakan toilet umum, atau mengatur parkir kendaraan. Desa wisata yang sudah biasa disewa ini juga dimanfaatkan untuk home stay selama hajatan berlangsung. "Kami bahu-membahu dengan panitia," kata Djoko.

Tegur sapa ala desa terdengar di tengah hiruk-pikuk penonton yang berlalu-lalang. Penduduk juga menonton penampilan musikus jazz dari emperan rumah. "Tindak endi, Yu (mau ke mana, Mbak)," kata seorang perempuan. Sapaan itu dijawab oleh perempuan lain, "Kae, Yu, nonton jazz (mau menonton jazz)."

Ada pula hiasan janur kuning di samping panggung. Janur itu melengkung seperti janur yang dipasang untuk hajatan pernikahan. Penonton yang kebanyakan muda-mudi menyesaki panggung ini. Di tengah keriuhan itu, ada pula penonton yang mengenakan sarung.

Tontonan jazz yang merakyat ini tak bisa lepas dari cita-cita penggagas Ngayogjazz, Gregorius Djaduk Ferianto. Ia menyatakan keterlibatan komunitas desa menunjukkan jazz adalah musik rakyat, tak ubahnya jatilan. Ia mengatakan jazz lahir dari perlawanan rakyat jelata di Amerika sana. Sayangnya, selama ini jazz dikesankan milik kelas atas. Sebagian kalangan menganggap musik ini hanya pantas dinikmati sendiri, bukan untuk banyak orang. Padahal jazz sebagai perlawanan berhubungan dengan masyarakat. "Jazz sebaiknya dikembalikan ke habitat awal. Jazz proletar," kata Djaduk.

Itulah sebabnya ia bergembira ketika Ngayogjazz bisa mempertemukan komunitas jazz di Indonesia, bahkan dunia. Menurut dia, komunitas jazz di berbagai daerah berkembang memilih arah masing-masing. Komunitas jazz di Yogyakarta berbeda dengan di Solo, Semarang, Pekalongan, dan Purwokerto. Masing-masing punya cara sendiri untuk membangun jaringan. Djaduk memprovokasi komunitas itu untuk menyajikan musik jazz sebagai perilaku, bukan sebagai repertoar. "Jangan jadi epigon," katanya.

1 1 1

Agung Prasetyo menenteng koper berisi pengeras suara. Ia hilir-mudik dari ruang penyimpanan alat musik ke panggung, yang berjarak sekitar 20 meter. Agung, 51 tahun, merupakan penggagas komunitas jazz Yogyakarta yang berhimpun di Kirana Big Band. Ia bersama Bambang Hermawan, anggota staf Kirana Big Band, menggotong perlengkapan panggung musik pada Rabu malam, 20 November lalu, di kedai susu kambing Etawa, Jalan Ringroad Utara, Condong Catur, Sleman.

Tak lama kemudian, bergabung Jery, Ruzan, dan Milky. Mereka lalu sibuk menyiapkan panggung. Inilah tempat berkumpul komunitas jazz Yogyakarta bernama Etawa Jazz Club. Mereka biasa berkumpul setiap Rabu malam untuk jam session.

Ada juga panggung jazz lain di Bentara Budaya Yogyakarta. Tuan rumah di sini adalah kelompok Jazz Mben Senin, yang biasa manggung setiap Senin malam.

Kirana Big Band beranggotakan 25 orang. Mereka kebanyakan mahasiswa dari berbagai daerah, seperti Ambon, Tangerang, dan Yogyakarta. Ada juga ekspatriat asal Rusia di Yogyakarta bernama Yuri. Ia sempat pentas bersama Kirana Big Band sebagai vokalis dalam pembukaan Ngayogjazz 2013.

Kirana Big Band mengenalkan jazz sebagai musik yang tidak elitis, misalnya dengan bermain di jalanan. Lima tahun lalu, mereka bermain di Bundaran Universitas Gadjah Mada. Agung punya mimpi menularkan jazz ke pelosok, misalnya Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, dan Banyuwangi.

Mereka membuat kegiatan itu dengan cara gotong-royong memanfaatkan jaringan. Mereka biasa bermain di panggung kecil, bahkan di tempat acara mantenan atau sunatan. Mereka tidak peduli meski tanpa honor. "Paling tidak ada tempat mandi dan nasi bungkus ala kadarnya," kata Agung.

Di Semarang, Gatot Hendraputra membidani lahirnya komunitas Jazz Ngisor Ringin. Awalnya, pada 13 Juli 2009, di kafe miliknya di kawasan Karanganyar Gunung, Our's Cafe, Gatot mengundang beberapa band jazz di Semarang untuk tampil. Mereka tampil dengan membawa alat musik sendiri meski tanpa honor. Secara bergantian, mereka bermain di panggung kecil di bawah pohon beringin di halaman kafe.

Geliat musik jazz di Solo baru muncul pada 2007, ketika sejumlah musikus yang memiliki minat pada musik asal Amerika ini mulai membentuk Solo Jazz Society atau Sojazz. "Pada saat itu baru ada dua kelompok musik yang mengambil jalur jazz," kata Adit Ong, pendiri Sojazz. Dua band itu adalah Mid Season dan Arcade.

Di Purwokerto, komunitas jazz lahir di rumah yang dikenal dengan nama Padepokan Seni Satria. Wisnu Bharata, penggagas Jes Udu, menyatakan band beraliran jazz ini dibentuk oleh Nangkring, Paping, Gurit, dan Andre Bayu. Wisnu mengatakan komunitas ini muncul untuk membumikan jazz. "Kami ingin jazz lebih merakyat," katanya.

Sunudyantoro, Shinta Maharani (Yogyakarta), Sohirin (Semarang), Ahmad Rafiq (Solo), Aris Andrianto (Purwokerto)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus