Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noro Cafe, Semarang. Jarum jam menunjuk angka 21.00, Senin pekan lalu. Jam session pun dimulai. Katarina Hadriani naik panggung dan menyanyikan Misty sebagai lagu pembuka, disusul Blue Moon. Setelah itu, pengunjung kafe yang berlokasi di Jalan Lamper Sari tersebut bergantian manggung. Ada yang menjadi vokalis, pemain gitar atau bas, penabuh drum, serta pemain keyboard.
Itulah jam session komunitas Jazz Ngisor Ringin Semarang yang digelar tiap Senin malam pada pekan pertama dan ketiga. Jam session adalah arena bermusik para musikus jazz secara spontan. Siapa saja boleh tampil. Malam itu sekitar 50 musikus dan penikmat musik jazz yang bernaung dalam komunitas Jazz Ngisor Ringin berkumpul. Acara selesai menjelang pukul 24.00.
Jam session bukan hanya merupakan arena para jazzer menikmati lagu jazz. Ini ajang belajar dan berinteraksi. Semua akrab. Katarina Hadriani adalah mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro. Kokok Soesman, 52 tahun, merupakan pemain keyboard dan musikus senior Semarang. Gatot Hendraputra, pencetus Jazz Ngisor Ringin, memainkan gitar. Adapun drum dan bas bisa jadi dimainkan oleh orang yang sama sekali baru kenal saat itu. Siapa saja boleh tampil. Alat musik disediakan pemilik kafe, meski banyak juga yang datang dengan menenteng gitar atau bas sendiri. Hampir separuh yang hadir adalah mahasiswa.
Di sela-sela acara, terlihat seseorang mengedarkan kaleng plastik, meminta saweran. Duit hasil saweran bukan untuk membayar sewa tempat, melainkan buat kepentingan komunitas, seperti publikasi dan biaya mendatangkan pemusik luar kota. Uang itu juga dipakai untuk membantu anggota komunitas yang sedang membutuhkan.
Menurut Gatot Hendraputra, komunitas Jazz Ngisor Ringin berdiri pada 13 Juli 2009 di Our's Cafe miliknya di kawasan Karanganyar Gunung. Gatot mengundang beberapa kelompok musik jazz di Semarang untuk tampil. Mereka membawa peralatan sendiri dan tanpa honor. Secara bergantian, mereka bermain musik di panggung kecil di bawah pohon ringin atau beringin yang tumbuh di halaman kafe. "Nama itu hasil othak-athik gathuk," ujar Gatot. Secara filosofis, ringin adalah pohon yang bisa dipakai bernaung. Ini, kata dia, mirip musik jazz yang bisa menaungi siapa saja. Jazz juga bisa berkolaborasi dengan alat musik dan genre musik mana pun.
Enam bulan setelah itu, Our's Cafe tutup. Namun tak berarti Jazz Ngisor Ringin mati. Untuk menggelar jam session, komunitas ini berpindah-pindah tempat. Pernah di Baviere Spot Cafe di kawasan Erlangga, lalu berpindah ke Pondok Daun di Marina, Tung De Blang di Jalan Sultan Agung, dan Kalosi Cafe di Jalan Sisingamangaraja. Berikutnya di halaman parkir Radio Republik Indonesia Semarang dan terakhir di Noro Cafe. Jiwaskito, pemilik Noro Cafe, menyediakan tempat lengkap dengan alat musiknya. "Kami tak perlu repot bawa alat sendiri," kata Gatot.
Selain menggelar jam session tiap Senin malam pada pekan pertama dan ketiga, komunitas ini mengadakan acara sinau ngejazz (belajar jazz) tiap Senin pada pekan kedua dan keempat. Mereka menyewa studio. Sinau ngejazz pernah menghadirkan beberapa musikus papan atas, seperti Indro Harjodikoro, I Wayan Balawan, Barry Likumahuwa, dan Katon Bagaskara.
Acara reguler yang lain adalah Jazz in the Mall, yang diadakan sebulan sekali di Mal Ciputra. Dalam acara ini, komunitas Jazz Ngisor Ringin menampilkan empat band anggota komunitas. Sedangkan untuk kegiatan tahunan, mereka menggelar Lumpia Jazz, kegiatan berskala nasional pada Juli. Mereka menghadirkan sejumlah komunitas musik jazz dan musikus jazz ternama. Acara ini juga sebagai penanda ulang tahun Jazz Ngisor Ringin. Juli tahun depan adalah Lumpia Jazz yang ketiga.
Agar berumur panjang, anggota komunitas sepakat melembagakan Jazz Ngisor Ringin. Sebagai langkah awal dibentuk steering committee serta pembuatan akta pendirian Jazz Ngisor Ringin.
Tak hanya di Semarang, pesona jazz juga menyedot minat warga Solo. Di kota ini kegiatan musik jazz berkembang sejak enam tahun lalu. Sebelum itu, tak pernah ada panggung jazz. Kalaupun ada, pertunjukan jazz hanya bisa ditemui di restoran di dalam hotel berbintang. Musikusnya pun tak muda lagi. Geliat jazz baru muncul pada 2007, ketika sejumlah musikus yang memiliki minat pada jazz membentuk Solo Jazz Society atau Sojazz. "Pada saat itu baru ada dua kelompok musik yang mengambil jalur jazz," kata Adit Ong, pendiri Sojazz. Dua grup itu adalah Mid Season dan Arcade.
Dari komunitas yang dibentuk oleh tujuh orang itu, Sojazz menggaet musikus lain. Mereka memulai dengan menunjukkan eksistensi kepada masyarakat melalui panggung kecil. Sekali dalam sebulan, mereka manggung di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, Solo. "Setiap Kamis malam pada pekan terakhir," kata Adit Ong. Selain itu, mereka menggelar pentas rutin di food court Solo Grand Mall tiga kali dalam sebulan.
Panggung kecil itu cukup efektif untuk menghitung sejauh mana jazz diapresiasi wong Solo. Pada awal tampil di Balai Soedjatmoko, mereka harus puas manggung dengan jumlah penonton yang bisa dihitung dengan jari. "Berangsur, penonton bertambah," kata Adit. Itu menjadi salah satu indikasi jazz mulai diterima masyarakat Solo.
Menurut Adit, perlu beberapa trik khusus agar jazz bisa diterima masyarakat. Komunikasi antara musikus dan audiens harus dibangun di sela penampilan. Untuk itulah mereka selalu berupaya tampil interaktif dan tak segan menjelaskan musik yang dimainkan. Trik lainnya, mereka membawakan lagu yang sudah populer dengan irama jazz. Namun mereka tidak memberi porsi besar untuk trik ini. Sebab, mereka berupaya setia pada jazz standar.
Sementara Semarang punya Jazz Ngisor Ringin dan Solo ada Sojazz, Purwokerto memiliki Jes Udu. Komunitas ini lahir di Padepokan Seni Satria. Penggagasnya Wisnu Bharata, Nangkring, Paping, Gurit, dan Andre Bayu. Menurut Wisnu, komunitas ini muncul untuk membumikan jazz yang dikenal elitis. Jes Udu artinya bermain musik jenis apa pun, tapi tetap berwarna jazz, meski tak harus melulu jazz murni. Cara ini terbukti manjur untuk lebih mendekatkan jazz ke telinga masyarakat Purwokerto.
Jes Udu berdiri pada Oktober 2011. Mereka memulai kegiatan dengan Jes Slasaan. Tiap Selasa malam, anggota komunitas dan pencinta jazz berkumpul. Mereka unjuk kebolehan di padepokan yang juga difungsikan sebagai kafe itu. Pertunjukan digelar di teras rumah. Penonton duduk manis di karpet. Sambil memesan makanan, mereka menikmati band yang membawakan musik jazz. Tak jarang mereka melakukan jamming.
Setidaknya ada 15 band yang menjadi anggota komunitas Jes Udu. Lagu-lagu milik Miles Davies sering mereka mainkan untuk referensi bermain musik jazz standar.
Kini mereka tak lagi bermain musik di Padepokan Seni Satria karena habis masa sewanya. Jes Udu pindah ke Kafe Elano dan di sentra kuliner Gelanggang Olahraga Satria. Mereka sadar betul di Purwokerto musik jazz belum bisa menjadi tambang uang. Toh, mereka tetap menggeluti jazz lantaran suka. "Kami akan terus bertahan," kata Wisnu.
Sunudyantoro, Sohirin (Semarang), Ahmad Rafiq (Solo), Aris Andrianto (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo