Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK Guntur Hamzah berpendapat, secara historis Indonesia pernah dipimpin oleh warga negara yang berusia di bawah 40 tahun. Dia adalah Sutan Sjahrir. Sosok yang akrab dipanggil Bung Kecil ini pernah memimpin Indonesia saat usia 36 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sutan Sjahrir menjabat sebagai perdana menteri pada usia 36 tahun,” kata Guntur dalam amar putusannya di sidang pembacaan putusan pada Senin 16 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati begitu, MK menolak gugatan uji materi Pasal 169 huruf q UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dari sembilan hakim MK, hanya Suhartoyo dan Guntur Hamzah yang berbeda pendapat. Dengan demikian, batas minimal usia capres-cawapres tetap 40 tahun. Bukan 35 seperti yang diusulkan pemohon.
“Memutuskan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusannya, Senin 16 Oktober 2023.
Profil Sutan Sjahrir
Sutan Syahrir lahir pada 5 Maret 1909. Dia dikenal sebagai intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Dia merupakan Perdana Menteri pertama Indonesia sejak 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sutan meninggal pada 1966 dalam pengasingan sebagai tahanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Dia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sutan Sjahrir lengkapnya Ibrahim Datuk Sutan Sjahrir, termasuk salah seorang tokoh bangsa Indonesia yang luar biasa. Tetapi juga kontroversial. Bukan itu saja. Bagi banyak orang, apalagi mereka yang pernah mendengar nama dan sepak terjang perjuangan politiknya dari mulut ke mulut, tokoh ini mengandung berbagai misteri yang menjadikannya legendaris.
Begitulah sastrawan Rosihan Anwar dalam bukunya Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya menggambar sosoknya. Sutan Sjahrir dilahirkan di Pandan Gadang, Sumatra Barat dan tumbuh di lingkungan adat-istiadat Minangkabau. Pendidikan kebudayaan dari bangsanya itulah yang membangun karakter Sjahrir menjadi sosok yang anteng tetapi cermat.
“Menyerang, mengkritik, tapi pukulannya bukan smash. Dia seorang pemain rally yang pelan, cermat,” kata Budayawan Goenawan Mohamad, mendeskripsikan Sjahrir dengan memungut analogi dari permainan bulu tangkis.
Sjahrir mengenyam pendidikan sekolah dasar atau ELS dan sekolah menengah atau MULO terbaik di Medan. Karenanya, dia berkesempatan menjamah buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Saat malam, dia mengamen di Hotel De Boer, sekarang Hotel Natour Dharma Deli, hotel khusus tamu Eropa. Sekelarnya dari MULO pada 1926, Sjahrir merantau ke Jawa dan bersekolah di sekolah lanjutan atas atau AMS Bandung.
Sjahrir seorang bintang di AMS. Dia bukan tipe siswa yang cuma sibuk dengan buku dan pekerjaan rumah. Di AMS, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia sebagai sutradara, penulis skenario, sekaligus aktor. Hasil mentas digunakannya untuk memodali sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit alias Cahaya Universitas Rakyat. Lewat sekolah ini, ia memberikan pendidikan gratis melek huruf bagi anak-anak tak mampu.
Sjahrir melanjutkan pendidikan ke Belanda di Universitas Amsterdam. Di sana, Sjahrir berkutat dengan teori-teori sosialisme secara sungguh-sungguh. Ilmu itu ia gunakan untuk bersosialisasi dan berpolitik. Salah satunya, Sjahrir termasuk dalam 10 orang penggagas pendirian Jong Indonesië pada 20 Februari 1927. Perhimpunan itu lalu berubah nama jadi Pemuda Indonesia. Penggerak Kongres Pemuda Indonesia, kongres pencetus Sumpah Pemuda pada Oktober 1928.
Banyak peran Sutan Sjahrir untuk Indonesia. Peneliti dari Riset Independen Arsip Kenegaraan Jakarta, Zen Rachmat Sugito dalam tulisannya yang dimuat di Koran Tempo terbitan Sabtu, 8 April 2006, mengungkapkan Sjahrir adalah konduktor operasi diplomasi Indonesia. Itu terjadi pada Agustus 1947, hanya berselang beberapa hari dari Agresi I Belanda. Peristiwa itu terjadi di depan Dewan Keamanan PBB di Lake Success.
Di situlah Sutan Sjahrir berpidato, mewakili sebuah bangsa baru di Timur Jauh yang terancam kemerdekaannya. Sjahrir, seperti diceritakan oleh Charles Wolf Jr., memulai pidatonya dengan mengisahkan bangsa Indonesia yang sudah mengenal tulisan sejak 1.500 tahun silam, yang memiliki sejarah emas di bawah Sriwijaya dan Majapahit, yang terbentang dari Papua hingga Madagaskar.
Dengan cemerlang sekaligus efektif, Sjahrir mengakhirinya dengan kata-kata, “Dalam proses itu, negeri saya kehilangan kemerdekaannya, dan jatuh dari tempatnya yang megah dahulu menjadi tanah jajahan yang lemah dan hina.” Di atas mimbar di Lake Success, di hadapan Dewan Keamanan PBB, Sjahrir seakan menjadi konduktor dunia internasional. Perlahan tapi pasti, dunia mengutuk dan memaksa Belanda duduk di perundingan.
Apa yang dilakukan Sjahrir ketika itu mengingatkan pada pidato pertama kali Yasser Arafat di PBB mewakili PLO, yang dianggap sebagai representasi keinginan bangsa Palestina untuk bebas dari pendudukan Israel. Di momen itulah Palestina, seperti halnya Indonesia ketika Sjahrir berpidato, untuk pertama kalinya mendapat pengakuan secara de facto sebagai sebuah bangsa di perserawungan resmi antarnegara.
Namun, nama Sutan Sjahrir tak begitu baik dalam kenangan sejarah diplomasi Indonesia. Saat berunding dengan Belanda di Linggarjati pada 1947, Sjahrir dinilai terlalu kompromistis. Gara-gara itu, dia didepak dari kursi Perdana Menteri. Sejak itu, Sjahrir selalu saja dianggap sebagai juru runding yang gagal, politikus yang dinilai di kompromistis, peragu, dan terlampau berbelas kasih terhadap Barat.
“Sjahrir tetap (saja) diletakkan di tempat yang salah, dan dilupakan,” tulis Rudolf Mrazek dalam biografi Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia.
Zen Rachmat memandang hal ini sebagai ironi. Sama ironisnya dengan bagaimana Sutan Sjahrir menjemput ajal. Dia wafat dalam status tahanan politik di Swiss. Tapi, persis di hari kematiannya, Presiden Sukarno, orang yang paling bertanggung jawab atas penahanan, langsung mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Sjahrir mungkin punya banyak nilai. Dia barangkali tipe orang yang tidak taktis. Tapi Sjahrir tentu saja tak sepenuhnya keliru.
“Dalam batas-batas tertentu, Sjahrir bisa jadi benar. Bukankah kedaulatan de facto dan de jure Republik Indonesia akhirnya ditangguk lewat sebuah proses perundingan (Konferensi Meja Bundar)?” tulis Zen Rachmat.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | KORAN TEMPO