Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran menuai kritik karena memuat pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers. Salah satu pasal yang menuai kritik adalah Pasal 50 B Ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam catatan rapat pembahasan draf RUU ini, Komisi I DPR RI beralasan pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan penayangan eksklusif jurnarlisme investigasi dalam draf RUU Penyiaran itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.
1. Peneliti Setara Institute Sayyidatul Insiyah: Ancaman terhadap Kebebasan Pers
Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute, Sayyidatul Insiyah, mengatakan revisi UU Penyiaran memvalidasi penyempitan ruang-ruang sipil.
Laporan tahunan Indeks HAM Setara Institute, kata dia, selalu menunjukkan skor pada indikator kebebasan berekspresi adalah skor paling rendah pada tiap tahunnya dan tidak pernah mendekati angka moderat dari skor 1-7. Adapun rincian skor dari tahun ke tahun sejak 2019, yakni 1,9 pada 2019; 1,7 pada 2020; 1,6 pada 2021; 1,5 pada 2022; dan 1,3 pada 2023.
“Artinya, alih-alih menjamin kebebasan berekspresi, revisi UU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi terutama melalui pemasungan kebebasan pers,” kata Insiyah lewat keterangan tertulis, Rabu, 15 Mei 2024.
Setara Institute juga menilai revisi UU Penyiaran memuat beberapa ketentuan yang memiliki intensi untuk mengendalikan kebebasan pers, khususnya jurnalisme investigasi melalui Pasal 50B ayat (2) huruf c draf revisi UU Penyiaran. Pasal yang melarang jurnalisme investigasi merupakan upaya untuk mengurangi kontrol terhadap pemerintah.
Padahal, kata Insiyah, pilar demokrasi modern salah satunya adalah kebebasan pers yang, antara lain, memberikan ruang bagi jurnalisme investigasi untuk melakukan kontrol atas bekerjanya kekuasaan dan berjalannya pemerintahan.
Insiyah mengatakan konten dan produk jurnalistik seharusnya tetap menjadi yurisdiksi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jurnalisme investigasi seharusnya tetap berada di bawah pengaturan UU Pers, meskipun penyiarannya dilakukan melalui televisi ataupun situs Internet.
“Dalam konteks itu, revisi UU Penyiaran secara intensional melemahkan UU Pers,” kata dia.
2. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu: Jika Diteruskan, Produk Pers Jadi Tidak Independen
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan draf RUU Penyiaran tidak sesuai dengan hak konstitusional warga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak, sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945," ujar Ninik dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Mei 2924.
Dalam konteks politik-hukum, kata Ninik, regulasi tersebut tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Tidak dimasukkannya UU 40 Tahun 1999 dalam konsideran di dalam RUU ini mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," tuturnya.
Kemudian, Ninik menyebut bahwa RUU Penyiaran ini menjadi salah satu alasan pers Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak melahirkan karya jurnalistik berkualitas. “Dewan pers berpandangan, jika diteruskan, sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers kita jadi produk pers yang buruk dan tidak independen,” tuturnya.
3. Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi: Jurnalistik Itu Harus Investigasi, Masa Harus Dilarang?
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi merasa heran dengan munculnya RUU Penyiaran. Menurut Budi, tugas jurnalistik seharusnya memang menginvestigasi, sehingga menghasilkan produk berkualitas.
"Jurnalistik itu harus investigasi, masa harus dilarang?" kata Budi dikutip dari akun Instagram resminya, @budiariesetiadi, Kamis,16 Mei 2024.
Dia mengatakan jurnalistik harus berkembang sebagaimana masyarakat yang turut berkembang. "Jurnalistik harus berkembang, karena kita pun, masyarakat, juga berkembang," ucapnya.
Menkominfo menilai pembahasan RUU Penyiaran perlu mengakomodasi masukan dari berbagai elemen. "Utamanya insan pers, demi mencegah munculnya kontroversi yang tajam," ujarnya dikutip dari Antara pada Kamis, 16 Mei 2024.
Budi yang pernah menjadi jurnalis berkomitmen agar kebebasan pers tetap terjaga, termasuk peliputan investigasi. Sehingga, RUU Penyiaran tidak memberikan kesan buruk sebagai wajah baru pembungkaman pers.
4. Pakar Media Universitas Airlangga: Berpotensi Mengancam Kebebasan Pers
Pakar Media Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Irfan Wahyudi menyoroti implikasi dari RUU Penyiaran terhadap independensi pers. Irfan mengatakan salah satu pasal yang paling kontroversial dalam RUU Penyiaran adalah Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.
"Pasal ini menjadi perkara yang signifikan. Sebab, jurnalisme investigatif telah memberi nuansa yang kuat pada proses politik maupun sosial di Indonesia," ujar Irfan.
Dia menginterpretasikan larangan tersebut sebagai wujud pembungkaman pers dan ekspresi media. Peraturan itu membingungkan dan menimbulkan keresahan publik. Sebagai wujud penyempurnaan dari UU Nomor 32 Tahun 2002, Irfan menekankan RUU Penyiaran perlu disesuaikan dengan zaman.
Dalam konteks perubahan regulasi media, Irfan memberikan pandangannya pada dampak RUU Penyiaran terhadap jurnalisme investigatif. Menurut dia, RUU ini berpotensi memudahkan pemerintah membatasi dan bahkan mempidanakan konten yang dianggap meresahkan.
"Penyelesaian masalah pers seharusnya melibatkan lembaga yang menangani etika pers. Jadi ada hak jawab dari narasumber yang merasa keberatan. Tidak serta-merta langsung masuk ke pidana," ujar Irfan.
Irfan merasa khawatir dengan kebebasan pers yang belum sepenuhnya terjamin. Dengan adanya peluncuran RUU yang lebih keras, hal ini malah menakuti para jurnalis dan berpotensi mengancam kebebasan pers.
Irfan menambahkan jurnalisme merupakan pilar penting bagi demokrasi Indonesia. Dia juga memperingatkan tentang konsekuensi hukum dari RUU ini, yang dapat meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap jurnalis.
"Media harus berhati-hati untuk tidak kembali ke masa pemberedelan pers seperti era Orde Baru. Ketika mengkritik pemerintah, media harus bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan independensi institusi," ujar Irfan.
EKA YUDHA SAPUTRA | AISYAH AMIRA WAKANG | DEFARA DHANYA PARAMITHA | ANTARA