Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyatakan akan merangkul semua komponen bangsa setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU pada 24 April lalu. Sejauh ini, Prabowo telah bertemu dengan pimpinan partai politik di luar Koalisi Indonesia Maju seperti Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun sejumlah kalangan berpendapat kekuatan partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR tetap dibutuhkan agar ada yang mengontrol dan mengawasi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas Asrinaldi: PDIP Harus Konsisten Jadi Oposisi
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang, Asrinaldi mengingatkan PDIP untuk konsisten beroposisi selama masa pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Mestinya PDI Perjuangan harus konsisten, ya, karena partai ini juga terbiasa untuk beroposisi. Jadi tidak ada salahnya kalau PDI Perjuangan tetap beroposisi," kata Asrinaldi saat dihubungi pada Selasa, 30 April 2024 seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan tidak masalah PDIP menjadi oposisi pada periode pemerintahan mendatang karena telah menjadi partai penguasa selama dua periode, yakni pada 2014-2019 dan 2019-2024.
"Dalam konteks kekuatan penyeimbang di parlemen, tentu harus ada upaya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Tradisi demokrasi yang terus dibangun oleh PDI Perjuangan inilah yang diharapkan itu nanti," ujarnya.
Asrinaldi menuturkan PDIP dan PKS yang diperkirakan menjadi oposisi memang dibutuhkan agar demokrasi selama pemerintahan 2024-2029 tetap sehat.
"Ya, paling tidak mereka punya pandangan yang sama bahwa porsi mereka di luar pemerintahan dan mengawasi Prabowo-Gibran. Dengan cara seperti itu, demokrasi akan sehat," katanya.
2. Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Firman Noor: Negara Kuat karena Oposisi Kuat
Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan sebuah negara akan kuat dan makmur bila unsur oposisinya juga memiliki kekuatan sesuai dengan prinsip demokrasi.
Menurut dia, hal itu sudah terbukti karena negara-negara yang paling makmur di dunia justru memiliki porsi oposisi yang kuat sebagai rekan pemerintah yang menjalankan pengecekan dan pengawasan.
"Jadi saya kira tidak masuk akal kalau ada oposisi berarti tidak stabil," kata Firman dalam webinar bertajuk ‘Quo Vadis Demokrasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi’ pada Senin, 29 April.
Sebelum putusan MK dalam sengketa Pilpres, kata dia, konstelasi politik di Indonesia berpotensi memiliki oposisi yang kuat di parlemen yakni sebesar 57 persen. Namun, karena adanya wacana Nasdem dan PKB bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran, potensi oposisi hanya sekitar 25 persen.
"Sekarang sepertinya oposisi akan menjadi minoritas, sekitar 25 persen saja atau lebih kurang, kandidatnya PKS dan PDIP," kata dia.
Dia memprediksi saat ini akan terjadi power regrouping atau rekonsiliasi politik hingga masa pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Partai-partai politik pun bakal mencair dan bergerak sesuai dengan kepentingannya masing-masing.
3. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera: Kalau Saya, Oposisi
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera mengatakan, secara pribadi, dia menyarankan partainya berada di luar pemerintahan Prabowo-Gibran. Dia menilai keberadaan PKS sebagai oposisi di pemerintahan sehat bagi demokrasi di Indonesia.
Hal tersebut dia ungkapkan menanggapi penolakan Partai Gelora jika PKS bergabung dengan pemerintahan Prabowo.
"Kalau saya, oposisi. Sehat kok, sekalian," ujar Mardani dalam sebuah video pernyataan yang dia kirimkan kepada Tempo pada Senin, 29 April 2024.
Menurut Mardani, nantinya jika PKS tetap berada di luar pemerintahan, PKS bisa mengawasi pemerintah agar kebijakan yang dibuat dapat sesuai dengan kepentingan rakyat. "Kita jaga pemerintah biar bekerja betul-betul buat rakyat," kata dia.
4. Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro: Lebih Baik PKS Pilih Jalan Oposisi
Peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, menyarankan PKS tidak bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran dan menjadi oposisi.
"Lebih baik dan bijak bagi PKS untuk memilih jalan jadi oposisi selama 5 tahun mendatang, ketimbang bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran," kata Bawono saat dihubungi Tempo pada Senin, 29 April.
Dia menilai posisi PKS sebagai oposisi akan penting dan krusial bagi kelangsungan mekanisme checks and balances dalam sistem presidensial di Indonesia. Dengan adanya oposisi, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan memiliki feedback.
"Dengan demikian kebijakan yang dikeluarkan akan jadi yang terbaik karena memperoleh feedback dari oposisi," kata Bawono.
Di sisi lain, kata dia, PKS seharusnya memiliki sikap malu karena selama kampanye Pilpres 2024 kerap mengkritik Prabowo-Gibran. "Kalau PKS bergabung dengan pemerintahan ini, apakah PKS tidak punya rasa malu pada publik dan konstituen mereka?" ujarnya.
5. Dosen Fakultas Filsafat UGM Agus Wahyudi: Demokrasi Membutuhkan Partai Oposisi
Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi menyebutkan pentingnya keberadaan partai-partai politik yang seimbang antara partai penguasa dan partai oposisi.
“Demokrasi bukan semata-mata mayoritarianisme, bahwa suara mayoritas yang harus kuat dan selalu menang, tetapi justru sebaliknya, demokrasi membutuhkan partai oposisi untuk dapat mengawal dan mengarahkan pada pencapaian prinsip dan kebijakan dalam hidup bersama,” ujar Agus saat dihubungi Tempo, Ahad, 28 April 2024.
Dia menuturkan partai oposisi harus ada supaya pemerintah tidak lengah dan bisa terus dikontrol, terhindar dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan, kata dia, demokrasi harus menjunjung tinggi dan menghormati kelompok minoritas. Dalam Hal ini, minoritas bukan saja harus diakui tetapi juga mendapatkan tempat penting dalam proses pengambilan keputusan demokratik.
“Jika partai-partai yang ada sekarang semuanya merapat ke pemerintah dan tidak ada yang menjalankan fungsi oposisi dan pengawasan, demokrasi kita mengalami kemerosotan lebih jauh,” kata dia.
Agus mengatakan sudah saatnya partai oposisi mendapatkan pengakuan resmi dan mungkin dukungan anggaran. Atau, jika tidak, mendapatkan keleluasaan menjalankan peran dan fungsinya sebagai partai oposisi.
YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | DEFARA DHANYA PARAMITHA | SUKMA KANTHI NURANI | ANTARA