Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sepekan rapat di kantor presiden berlangsung tidak biasa. Kursi tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin rapat rutin di istana kepresidenan itu tampak kosong. Tapi Presiden tetap hadir dan memimpin rapat. Cuma, yang terlihat hanya gambar dan suaranya di layar televisi. Maklum, Presiden sedang melawat ke Amerika Serikat.
Inilah rapat jarak jauh pertama dalam sejarah kepresidenan. Sebelum berangkat ke Amerika Serikat untuk menghadiri konferensi tingkat tinggi di Perserikatan Bangsa-Bangsa, SBY menyampaikan kepada para menteri bahwa rapat tetap jalan setiap hari. ”Saya ingin berkomunikasi dengan yang ada di Tanah Air,” ujarnya saat memimpin rapat jarak jauh, Kamis pekan lalu. Rapat biasa dimulai pagi sekitar pukul sembilan. Saat yang sama, di Amerika serikat, waktu sudah larut malam.
Tentu, rapat berjarak seperti ini makan ongkos. Perkiraan biaya selama sepekan, sejak Senin sampai Sabtu pekan lalu, mencapai Rp 426 juta. Jumlah itu, kata Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, meliputi persiapan peralatan di St Louis dan New York. Misalnya, persiapan di St Louis saja menelan duit US$ 20 ribu (Rp 200 juta). Belum termasuk pulsa Rp 2 juta per jam, ditambah biaya set up konferensi jarak jauh itu US$ 8.000, plus pajak sepuluh persen. Sedangkan di New York, total biaya mencapai Rp 132 juta.
Untung, tak semuanya ditanggung pemerintah. Menurut Yusril, pemerintah mendapat potongan 50-70 persen dari PT Indosat. Selain Indosat, jalur komunikasi itu juga dibantu PT Exelcomindo Pratama. Bahkan, khusus untuk lawatan Presiden ke AS ini, perusahaan itu tak mau dibayar alias gratis. ”Itu partisipasi dalam mendukung kegiatan pemerintah,” ujar Yusril.
Rapat itu toh tak luput dari gosip politik. Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menghilang pada rapat-rapat berikutnya. Dia hanya hadir pada hari pertama, saat rapat kabinet terbatas digelar. Setelah itu, Kalla lenyap dari ruang rapat. Kursinya kosong setiap SBY muncul di layar kaca. Kabar bertiup, Kalla tak senang rapat jarak jauh itu. Sebagai wakil presiden, ia merasa tak diberi wewenang memimpin rapat.
Kalla sendiri hanya tersenyum mendengar isu itu. Absennya dia pada rapat di kantor presiden rupanya bukanlah bentuk protes. ”Saya hanya membuka di hari pertama, selanjutnya (Presiden berdiskusi) dengan para menteri,” ujarnya singkat, Jumat pekan lalu di Denpasar, Bali. Banyak yang menduga dia bolos karena Presiden tak setuju Kalla menyampaikan rencana kebijakan menaikkan BBM
Gosip itu juga ditampik Presiden. Saat membuka rapat pada Kamis pekan lalu, SBY mengatakan ketidakhadiran Kalla adalah hal biasa. Presiden menggelar beragam jenis rapat. Tak semua mesti dihadiri wakil presiden. ”Kadang dengan wakil presiden, kadang tidak,” ujar SBY. Misalnya, rapat pemberantasan korupsi dengan lembaga terkait plus beberapa menteri, Kamis pekan lalu. Rapat itu rutin setiap bulan, dan wakil presiden tak harus hadir.
Soal tak diberi wewenang adalah tudingan keliru. Sebelum meninggalkan Tanah Air, SBY sudah membuat surat keputusan presiden yang menugasi wakil presiden melaksanakan tugas sehari-hari. Menurut kopi dokumen yang diperoleh Tempo, surat itu bertanggal dan diteken 10 September, persis pada hari keberangkatan SBY ke Amerika Serikat. Dan keppres begini sudah lazim dalam ketatanegaraan sejak dulu.
Meski memegang mandat itu, Kalla memilih tak hadir dalam semua rapat jarak jauh itu. Misalnya, saat rapat pemberantasan korupsi, Kalla malah menggelar rapat lain di kantornya. Ia membahas dana reintegrasi bekas gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka serta rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara.
Soal tak hadirnya Kalla itu memicu analisis bahwa hubungan SBY-Kalla kian renggang. Di tengah kabar tak elok itu, serangan dari Dewan Perwakilan Rakyat mendadak muncul. Sejumlah anggota DPR menggalang tanda tangan meminta interpelasi. Mereka menilai rapat jarak jauh itu hanya memboroskan uang negara. Ali Mochtar Ngabalin dari Fraksi Bulan Bintang menyatakan dukungan sudah mencapai 17 orang. Angka itu, kata dia, sudah mencukupi syarat mengajukan interpelasi. Ali selama ini dikenal sebagai anggota DPR yang dekat dengan Jusuf Kalla.
Rapat jarak jauh itu juga membuat DPR terbelah. Tak semua anggota Dewan setuju interpelasi. Hasto Kristiyanto dari PDI Perjuangan, partai politik yang terkenal getol beroposisi, malah tidak sepakat. ”Itu bukan hal substantif,” katanya. Soalnya, kata dia, banyak perkara yang lebih penting untuk diinterpelasi. Misalnya, soal kesejahteraan rakyat dan harga bahan bakar minyak yang terus melambung tinggi.
Nezar Patria, Dimas Adityo, Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo