Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kandas Sebelum Beredar

Kapolri melarang beredarnya Kartu Pos Olahraga berhadiah Rp 1 miliar. Ormas Islam ramai-ramai menarik dukungan.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIADA dinyana, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Adhyaksa Dault, mendadak murka—malah menantang ”mubahalah”. Mantan Ketua Umum KNPI (1999-2002) itu mengambil kitab suci Al-Quran dari meja kerjanya. ”Ayo, saya atau kamu yang mati duluan!” katanya kepada Tempo, yang Jumat siang pekan lalu menemuinya.

Mubahalah, menurut ensiklopedi Islam, berarti pertemuan khusus antara dua pihak yang berbeda keyakinan atau agama, masing-masing berdoa kepada Tuhan agar menjatuhkan kutukan kepada pihak yang berdusta di antara mereka. Menteri yang diusung Partai Keadilan Sejahtera dalam Kabinet Indonesia Bersatu ini berdiri dengan telunjuk mengarah langit-langit. ”Demi Allah yang punya langit dan bumi, saya tak pernah ikut melobi masalah ini!”

Kemarahan Menteri Adhyaksa bermula ketika Tempo menanyakan apakah Adhyaksa membantu lobi memuluskan beredarnya Kartu Pos Olahraga (KPO) berhadiah yang diusulkan PT Prima Selaras? Menurut sang Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tidak ada alasan ia membantu lobi. Toh, kementeriannya tak diuntungkan jika KPO beredar.

Izin pun cukup dari Menteri Sosial. Adhyaksa mengaku hanya mendapat penjelasan sepintas soal KPO. Dia tidak akan pernah setuju bila ada unsur judi dalam kartu pos itu. ”Bagi saya, haram hukumnya bila tidak jelas asal-usulnya,” katanya.

Rencana peredaran KPO memang menghasilkan kontroversi. Sebagian kalangan mengkhawatirkan undian berhadiah ini mengarah pada judi. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengakui telah menerbitkan surat keputusan yang mengizinkan KPO beroperasi. Tapi dia mengaku tak asal memberi izin.

Pihaknya juga mendengarkan masukan Menteri Adhyaksa terkait dengan KPO ini. ”Pastilah dia menghubungi saya,” kata Bachtiar kepada Tempo. ”Wajar, kan, kalau Adhyaksa melakukan lobi?” Menurut Bachtiar, lobi itu merupakan upaya Menpora yang ingin memperhatikan kesejahteraan atletnya.

Bachtiar mengaku setiap tahun menandatangani 5.000 izin undian gratis berhadiah, dan tidak bermasalah. ”Misalnya undian dari Lion Air atau Matahari,” katanya. Tapi, setiap kali ada undian berhadiah yang menyangkut olahraga, selalu muncul protes.

Bachtiar meminta Prima Selaras melakukan simulasi lebih dulu dengan pihak kepolisian. ”Tidak boleh jalan sebelum ada kepastian—terdapat unsur judi atau tidak—dari kepolisian,” katanya.

Ternyata Kepala Kepolisian RI, Jenderal Polisi Sutanto, menyatakan KPO mengandung unsur judi, Jumat pekan lalu. Sutanto meminta Menteri Sosial dan Menpora menghentikan program itu. ”Ada dugaan unsur judi dalam penyelenggaraan program KPO,” kata Kapolri melalui juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Aryanto Budihardjo.

Penggalangan dana masyarakat melalui undian berhadiah sudah muncul di Indonesia sejak 1960-an. Di Bandung ada Totot Raga, upaya pengumpulan dana melalui pacuan kuda. Pada masa Ali Sadikin gubernur Jakarta, muncul undian Toto dan Nalo (Nasional Lotere). Pemda Surabaya menerbitkan Lotto (Lotere Totalisator) PON Surya untuk menghimpun dana penyelenggaraan PON VII, 1969.

Setelah Toto KONI dihapus pada 1974, berbagai bentuk undian berhadiah bermunculan. Mulai dari Porkas, yang kemudian berganti nama jadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB), sampai akhirnya tampil Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), dengan hadiah utama Rp 1 miliar. Berbagai bentuk undian itu tak urung memancing reaksi prokontra.

Dalam perkara KPO, Prima Selaras mengajukannya sebagai bentuk penggalangan dana masyarakat untuk membantu kesejahteraan atlet. Pada KPO akan dimuat foto saat-saat monumental atlet nasional meraih prestasi puncaknya. ”Misalnya ketika Susi Susanti meraih medali emas Olimpiade,” kata Adolf Posumah, Direktur Utama PT Prima Selaras.

Kartu pos yang dijual Rp 5.000 per lembar itu dibubuhi angka delapan digit. Pengundian dilakukan setiap Ahad. Pemenang yang delapan digit angkanya muncul akan mendapat hadiah Rp 1 miliar. Lima kartu lain mendapat hadiah kedua masing-masing Rp 250 juta.

Adolf meyakinkan, tak ada unsur judi dalam KPO ini. Dia merasa heran undian berhadiah dari produk sabun, bank, atau tiket penerbangan tidak diributkan. ”Undian ini sama dengan iklan-iklan produk lain yang memberikan hadiah,” ujarnya. Prima Selaras memilih menjual kartu pos karena, menurut riset, kartu pos merupakan barang koleksi paling diminati ketiga setelah uang logam dan perangko.

Menurut Adolf, KPO sangat berbeda dengan judi karena pembeli tidak bisa menulis angka yang diinginkan. Semua nomor sudah tercetak dalam kartu. Prima Selaras mengaku 70 persen hasil penjualan dan sponsor akan disumbangkan untuk dunia olahraga, kegiatan sosial, dan pendidikan.

Prima Selaras hanya akan mengambil 30 persen. Itu pun masih harus membayar pajak, biaya produksi, dan royalti atlet yang fotonya dipajang. Saat ini Prima Selaras telah meneken perjanjian dengan beberapa organisasi yang akan mereka bantu, di antaranya Ikatan Atlet Nasional Indonesia (IANI).

Adolf menggagas proyek ini hampir setahun. Namun, semua proses baru mereka mulai April lalu. Karena berhubungan dengan olahraga, dia merasa harus permisi dulu kepada Menpora. Setelah memaparkan proposal itu kepada Menpora—Menpora membantah pernah bertemu dengan wakil PT Prima Selaras—barulah mereka mengurus perizinannya. ”Pak Adhyaksa banyak membantu kami,” kata Adolf.

Selain izin resmi Departemen Sosial, Prima Selaras juga meminta rekomendasi dari beberapa organisasi massa Islam. ”Itu bukan persyaratan, tapi inisiatif kami untuk berjaga-jaga,” tuturnya. Mereka akhirnya mendapat sokongan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Front Pembela Islam (FPI), dan Forum Betawi Rempug (FBR). Ketiga organisasi itu memandang lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya. Ketua FBR, Fadloli El Muhir, membenarkan telah menyetujui beredarnya KPO. Persetujuan itu diberikan setelah seorang utusan Prima Selaras memberikan buku petunjuk pelaksanaan KPO. Setelah dipelajari, mereka tidak menemukan unsur judi dalam KPO. Tetapi Fadloli memperingatkan, jika dalam operasionalnya terdapat unsur judi, persetujuan itu batal dengan sendirinya.

FPI memberi restu senada. ”Kami memberikan rekomendasi karena berpendapat tidak ada yang bertentangan dari syariat,” kata Ketua Dewan Perwakilan Pusat FPI, Habib Hasan Al Jufri. Dia mengaku sempat ditegur beberapa habib saat membawa masalah ini dalam rapat internal FPI. Namun, dia bisa meyakinkan bahwa tidak ada unsur judi dalam KPO, karena kartu posnya sendiri bisa digunakan.

PBNU memberi dukungan melalui surat yang mereka terbitkan pada 22 Juni lalu. Surat yang diteken Ketua PBNU, Andi Jamaro Dulung, dan Wakil Sekretaris Jenderal, Syaiful Bahri Anshori, itu menanggapi surat PT Prima Selaras perihal kegiatan kartu pos untuk kemanusiaan.

Namun, dalam sepekan terakhir arah angin tiba-tiba berubah. PBNU, misalnya, mengirimkan surat pernyataan belum pernah membicarakan dan menyatakan sikap mengenai KPO. Surat yang diteken Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, itu dikirimkan Kamis pekan lalu. PBNU menyatakan surat dukungan terhadap KPO, yang mereka keluarkan 22 Juni lalu itu, ”dianggap tidak pernah ada.”

Penarikan dukungan juga dilakukan FPI. Ketua Badan Investigasi FPI, Muhamad Allawi Usman, kepada Tempo mengatakan telah mencabut rekomendasinya. ”Kita memposisikan diri hanya sebagai pengawas atau pemantau KPO saja,” kata Allawi.

Bisa jadi, penarikan dukungan itu akibat kampanye penolakan yang gencar disuarakan sebuah lembaga swadaya masyarakat dari Surabaya, Gerakan Rakyat Anti-Perjudian, Monopoli, Kemaksiatan, Korupsi, Kekerasan, dan Kenakalan (Graji Massal). Menurut ketua umumnya, Ponang Adji Handoko, KPO jelas mengarah ke judi. ”Ini bisa kita baca dalam proposalnya,” katanya.

Ponang menunjukkan satu bagian dalam proposal. Jika nomor kartu pemenang utama berseri 78328333, kartu lainnya yang tiga nomor terakhirnya 333 akan mendapatkan hadiah hiburan Rp 1,5 juta. Sedangkan pemilik kartu dua nomor buntut saja, 33, akan mendapat hadiah hiburan Rp 250 ribu. Bahkan halaman 13 proposal menyebutkan akan ada buku berisi 50 lembar kupon. Buku kupon itu berisi nomor buntut yang sama, misalnya 021. Hanya, lima angka depannya sudah tercetak berbeda-beda.

Halaman berikutnya menyebutkan, ada buku tercetak dengan nomor seri berurutan. Pembeli bisa memilih nomor buntut yang mereka minati sehingga tidak perlu lagi mengisi. ”Nah, apa bedanya dengan togel?” kata Ponang. ”Toh pembeli juga bisa memilih.”

Proposal itu juga menerangkan, KPO menjadi alternatif bagi pengeluaran masyarakat yang terbiasa berjudi togel untuk dialihkan ke undian KPO. Mereka mengkategorikan pembeli KPO sebagai social gambler atau penjudi yang masuk dalam kategori wajar, yang sekali-sekali pernah ikut membeli lotere.

Agung Rulianto, Mawar Kusuma, Maria Ulfah, Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus