Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menukar Bedil dengan Damai

GAM menyerahkan senjata tahap pertama. Intelijen menduga jumlahnya lebih besar.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBUNGKUS dalam karung, 109 pucuk senjata itu tak tampak garang lagi. Rupa-rupa ragamnya: AK-47, M-16, GLM (grenade launching machine), dan pistol otomatis FN. Terbanyak adalah senjata legendaris dari famili Kalashnikov buatan Rusia atawa Cina.

Bentuknya kebanyakan tak lagi tertib. Misalnya, ada yang popornya ditempeli stiker aneka rupa. Sejumlah magasin dilukisi bendera merah bulan-bintang bergaris tepi hitam-putih. Semua mesin pembunuh itu diserahkan Gerakan Aceh Merdeka wilayah Batee Iliek, Bireuen, kepada Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission - AMM), Kamis pekan lalu.

Melalui upacara, penyerahan dilakukan di Tanjong Seulamat, Peudada, Bireuen. Panglima gerilyawan di daerah itu, Darwis Jeunieb, memimpin penyerahan alat tempur itu kepada AMM.

Kumisnya melintang, tapi tatapan matanya santai. ”Kami berpegang teguh pada perjanjian Helsinki,” kata Darwis. Ia pernah ikut latihan militer di Libya, di bawah perintah Teungku Hasan Di Tiro, pemimpin GAM yang kini bermukim di Swedia.

Inilah pertama kali dalam sejarah pemberontakan melawan Republik, sejak 1976, GAM sudi menyerahkan senjata. Sesuai dengan perjanjian di Helsinki, gerakan bersenjata itu harus memusnahkan 840 pucuk senjata sampai 31 Desember. Pada tahap awal ini, GAM menyerahkan seperempatnya, yakni 210 pucuk.

Sehari sebelumnya, gerilyawan di Aceh Besar menyerahkan 79 pucuk senjata. Sisanya diserahkan di daerah Pidie, Sabtu pekan lalu. Tim dari Misi Pemantau Aceh memeriksa semua senjata itu. TNI ikut melakukan verifikasi. Semua senjata dilumpuhkan dengan memotongnya menjadi tiga penggal.

Menteri Komunikasi dan Informasi, Sofyan Djalil, hadir menyaksikan peristiwa itu. Ia tiba dengan helikopter bersama tim AMM. Lalu menyusul wakil TNI di AMM, Mayjen Bambang Darmono, dan Kepala Polda, Irjen Bachrumsyah Kasman, bersama Panglima Kodam I Iskandar Muda Mayjen Supiadin A.S. Mereka disambut Darwis Jeunieb dan Irwandi Yusuf, pejabat senior GAM di AMM.

Di Banda Aceh, sekitar 150 kilometer dari Bireuen, prosesi penyerahan senjata lumayan seru juga. Banyak wartawan dan warga kecele soal lokasinya. Awalnya disebut-sebut daerah pinggiran di kawasan Indrapuri, Aceh Besar. Tapi, akhirnya, tempatnya pindah ke Blang Padang, jantung Kota Banda Aceh.

Prosesnya lancar. Acara dibuka konvoi tiga mobil dan puluhan sepeda motor memasuki sisi timur lapangan Blang Padang. Lalu, enam karung senjata di jok belakang mobil itu dikeluarkan. Semua senjata digolekkan berjejer di atas tanah. Matahari bersinar garang. Laras-laras senjata itu berkilat ditimpa cahaya.

Setelah semua senjata diserahkan kepada anggota Misi Pemantau Aceh, pejabat AMM mengecek kondisi benda tempur itu. Setelah selesai, giliran TNI, yang diwakili Pangdam Iskandar Muda, memverifikasi keabsahan semua senjata itu. Beberapa senjata yang diyakini masih berfungsi langsung dirusak dengan mesin pemotong.

Pilihan Blang Padang itu memang mengejutkan. Hingga setengah jam sebelum acara dimulai, lokasi penyerahan senjata masih dirahasiakan. Sempat beredar kabar, penyerahan akan dilakukan di sebuah desa di Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.

Iskandar, 25 tahun, mantan anggota sayap militer GAM Aceh Besar, mengatakan awalnya mendapat instruksi penyerahan senjata akan dilakukan di Indrapuri. Pasukan GAM pun sudah memboyong senjata dari empat daerah struktur GAM dalam wilayah Aceh Besar. ”Dua hari sebelum penyerahan, senjata sudah dikumpulkan dan dimasukkan ke karung di Indrapuri,” ujarnya.

Pagi itu, katanya, anggota GAM sudah bersiap-siap menyerahkan senjata tak jauh dari makam Teungku Cik Di Tiro, kakek buyut Hasan Tiro. Namun, pukul 10 pagi, tiba-tiba telepon Panglima Operasi GAM setempat berdering: lokasi penyerahan senjata dipindahkan ke Indrapuri.

Konvoi pun bergerak menuju Blang Padang, sekitar 40 kilometer dari Indrapuri. Sepanjang jalan, rombongan itu melewati sejumlah pos TNI. ”Mereka tersenyum sambil melambaikan tangan,” kata Iskandar.

Iskandar hanya bisa pasrah melihat Kalashnikov bergambar bulan-bintang miliknya ikut dimusnahkan. ”Sudah empat tahun senjata itu selalu bersama saya,” katanya. Iskandar masuk GAM pada usia 21 tahun.

Blang Padang sebetulnya tempat Misi Pemantau Aceh memperlihatkan senjata yang telah diserahkan itu kepada pemerintah Indonesia. Jadi, bukan tempat GAM menyerahkan senjata. Tapi, rupanya ada pertimbangan lain.

GAM khawatir keamanan penduduk kalau diserahkan di pedalaman. ”Itu sebabnya kami bawa langsung ke Blang Padang, tak jauh dari rumah Pangdam dan Kapolda,” kata Muksalmina.

Muksalmina kebagian tugas menyampaikan teknis penyerahan senjata ke Aceh Besar, Pidie, dan Bireuen. Sejak 11 September, dia beredar ke tiga daerah itu untuk menyampaikan teknis penyerahan senjata, sekaligus meyakinkan ”prajurit” di lapangan. ”Perang sudah berakhir,” begitu ia mengimbau. ”Senjata harus kita serahkan untuk ditukar dengan perdamaian.”

Supiadin mengaku sangat puas dengan penyerahan senjata hari pertama itu. ”Kita bersyukur, mereka membuktikan komitmennya untuk menyerahkan senjata,” kata Supiadin. Tapi, ia mencatat, dari 79 pucuk senjata yang diserahkan pada hari pertama, 17 tak masuk hitungan karena tak lagi berfungsi. Sepuluh pucuk lainnya diketahui senjata rakitan. ”Senjata rakitan ini akan didiskusikan lagi, apakah dihitung atau tidak,” kata Supiadin.

Soal nasib rakitan ini rupanya belum ada pegangan. Pejabat senior GAM, Irwandi Yusuf, mengatakan tak ada ketentuan dalam nota kesepahaman yang menyebutkan GAM harus menyerahkan senjata standar. ”Baca lagi MOU, tak ada itu ketentuan senjata standar,” ujarnya.

Di lapangan memang ada senjata yang tak sesuai dengan standar TNI. Pegangannya hanya syarat teknis dari Ketua AMM, Pieter Feith. Dikatakan, senjata yang diserahkan harus punya laras dan berel dari baja. Tentu harus masih bisa mengeluarkan tembakan. ”Saat ini masih diselidiki jumlah senjata yang memenuhi syarat itu,” ujar Pieter.

Sejauh ini, belum ada protes dari TNI tentang jumlah senjata yang diserahkan GAM. Pangdam Iskandar Muda, Supiadin, mengatakan menerima jumlah senjata sesuai dengan nota kesepahaman. ”Kita pegang yang disebutkan dalam perjanjian. Kita berpikir positif saja,” kata Supiadin.

Di Jakarta, kritik justru muncul dari anggota Komisi I DPR, Yuddy Chrisnandi. Menurut dia, Badan Intelijen Negara (BIN) meragukan jumlah senjata yang sebenarnya dimiliki gerakan pemberontak di Aceh. Informasi itu diperoleh pada rapat dengar pendapat Komisi I dan BIN.

Badan intel itu sempat menyodorkan perkiraan senjata GAM. ”Dua kali lipat dari 840 pucuk yang disepakati di Helsinki,” ujar Yuddy, Rabu pekan lalu. Kecurigaan itu tentu menjadi bibit krisis kepercayaan yang mengancam perdamaian. Jumlah pasti yang diduga oleh BIN itu tak begitu jelas. ”Itu rahasia,” kata Kepala BIN, Syamsir Siregar.

Karena itu, Yuddy mengusulkan, pemerintah dan GAM harus membuka akses memeriksa kondisi masing-masing, pada akhir Desember nanti. Misalnya, TNI, Polri, dan Misi Pemantau dapat memeriksa markas komando atau basis pertahanan GAM. Sebaliknya, para gerilyawan itu bisa mengecek ke markas TNI, berapa jumlah prajurit yang tersisa.

Nezar Patria, Yuswardi A. Suud (Aceh Besar), Imran M.A. (Bireuen)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus