Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Sebanyak 150 akademisi dari berbagai kampus Indonesia menyerukan petisi publik menyikapi sejumlah peristiwa yang dinilai mengancam kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan akademik di Tanah Air, Rabu 26 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan akademisi yang bernaung dalam forum Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers itu menyoroti sejumlah peristiwa sepanjang Maret ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulai dari pengesahan revisi UU TNI oleh DPR yang dilakukan tak transpran, rentetan teror terhadap redaksi Tempo yang dikirimi paket berisi kepala babi dan bangkai tikus, hingga kekerasan terhadap jurnalis dan pers mahasiswa saat meliput aksi penolakan UU TNI.
"Rentetan peristiwa itu menjadi satu penanda situasi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran," ujar narahubung yang juga salah satu peserta aksi dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Senja Yustitia.
Forum akademisi itu membeberkan teror paket berisi kepala babi yang dikirim oleh kurir untuk Francisca Christy Rosana, wartawan desk politik Tempo dan host Bocor Alus Politik disusul enam bangkai ekor tikus yang dipenggal pada Maret ini mengingatkan teror di masa lalu saat era Orde Baru berkuasa terhadap pers.
Saat itu, pada Rabu, 16 November 1984 koran Suara Indonesia di Malang, Jawa Timur, dikirimi paket misterius berisi potongan kepala manusia. Pada waktu itu, koran Suara Indonesia dikenal kritis terhadap gelombang aksi penembakan di berbagai kota oleh instansi militer (ABRI) terhadap orang yang dituding sebagai preman atau gali pada masa rezim Orde Baru yang dikenal dengan akronim Petrus (penembak misterius) pada kurun 1982-1985.
Lebih khusus, forum itu juga menyoroti teror lanjutan kepada redaksi Tempo diikuti tindakan doxing kepada wartawan Francisca Christy Rosana sebagai teror terhadap kebebasan jurnalis dan masyarakat sipil termasuk kaum akademisi melalui karya jurnalistik yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28F.
"Dengan adanya rekaman CCTV, dan dengan teknologi face recognition (pengenalan wajah), Polri seharusnya bisa mengungkap siapa pelaku teror ini. Pelaku tak boleh hanya dimaafkan, tetapi harus diseret ke meja hijau," kata dia.
Menurut Senja, teror kepada Tempo adalah alarm penting bagi ancaman demokrasi di Indonesia, yang akan ditulis oleh pers nasional dan luar negeri.
Juru bicara lain forum akademisi itu Dian Dwi Anisa dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menuturkan, selain teror terhadap Tempo, juga terjadi tindak represif aparat kepolisian terhadap jurnalis dan aktivis pers mahasiswa ketika meliput aksi Tolak RUU TNI pada 20 Maret 2025.
Tindakan represif itu dialami jurnalis IDN Times dan dua anggota Pers Mahasiswa (Persma), yaitu Pers Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (Pers Suma UI) dengan Lembaga Pers dan Penyiaran Mahasiswa Parmagz (LPPM Parmagz).
Tiga jurnalis itu yakni Arya Pramuditha, Muhammad Aidan Ghifari, dan Tino mengalami kekerasan yang berbeda-beda. Arya, jurnalis persma LPPM Parmagz mengalami memar di bagian dada akibat lemparan besi dari arah dalam gedung DPR RI.
Aidan, jurnalis persma Suma UI, memperoleh tiga jahitan di kepalanya akibat tiga pukulan berturut-turut di bagian kepalanya dari aparat kepolisian. "Padahal, kedua jurnalis sudah mengalungi kartu pers dan tidak mengenakan jaket almamater atau bukan peserta aksi," kata Dian.
Mencermati sejumlah kejadian forum Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers itu menuntut sejumlah hal yang dituangkan dalam petisi publik.
"Kami menuntut penanganan hukum yang menyeluruh dan tuntas pada kasus teror dan intimidasi kepada majalah Tempo dan jurnalisnya serta memprioritaskan penegakan keadilan dan pemulihan bagi korban," kata petisi pertama forum itu.
Sebab puluhan kasus yang melibatkan kerja-kerja jurnalistik –seperti kekerasan fisik hingga teror ke majalah Tempo telah mengancam keberlangsungan kemerdekaan pers.
Kedua, polisi harus menghentikan praktik impunitas dengan tidak melakukan undue delay.
"Sebaliknya, polisi harus menjunjung supremasi hukum dengan menegakkan undang-undang pers yang menjamin kebebasan jurnalis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita," tuntut mereka.
Ketiga fotum mendesak pelaku intimidasi dijerat dengan delik pidana, pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 karena telah melakukan penghalang-halangan terhadap proses kerja jurnalistik.
"Dewan Pers perlu menerjunkan Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian mengusut kasus ini dengan tuntas. Jurnalis melakukan kerja pers sebagai bentuk check and balances serta pengimplementasian tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi," ujarnya.
Forum menilai segala bentuk intimidasi dan ancaman yang dilakukan merupakan bentuk penghalang-halangan kerja pers yang dapat berakibat pada terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta terlanggarnya hak publik atas informasi.
Keempat, forum itu menuntut permohonan maaf Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi secara terbuka kepada publik.
"Pernyataan kontroversial Hasan Nasbi mempertegas asumsi publik bahwa pemerintah saat ini kurang apresiatif terhadap kebebasan pers di satu sisi dan cenderung “ignorant” terhadap segala ancaman yang datang kepada media yang selama ini berusaha merealisasikan prinsip kebebasan pers secara berani," kata forum itu.
Forum menilai pernyataan Jubir Istana Hasan Nasbi yang meminta media yang diintimidasi dengan paket kepala babi dan bangkai tikus untuk memasak kepala babi tersebut mengandung makna bahwa Istana menginginkan media mengikuti keinginan pengirim.
"Ada tendensi sikap yang meminta media menghadapi intimidasi tanpa perlu pembelaan. Ralat atas pernyataan itu juga telah mencederai nurani serta akal sehat publik," tulis forum itu.
Pada masa mendatang, selaku jubir presiden seharusnya memiliki perspektif yang empatik dan menjamin hak masyarakat yang sama di mata hukum.
"Kami menyatakan bersama-sama dengan Tempo dan jurnalis serta aktivis kebebasan berekspresi dalam melawan represi politik otoritarian era Joko Widodo dan Presiden Prabowo."