Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Rempang Kembali Memanas, Kronologi Lengkap Konflik dan Perjalanan Kasus Agraria Itu hingga Sekarang

Konflik Rempang kembali memanas. Bagaimana perseteruan agraria ini terjadi dan perjalanan kasusnya hingga saat ini, berikut kronologi lengkapnya?

25 Desember 2024 | 08.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polisi lengkap dengan peralatan anti huru hara menjaga aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, Senin, 11 September 2023. Aksi yang menolak rencana pemerintah merelokasi mereka tersebut berakhir ricuh. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Konflik Rempang kembali memanas setelah puluhan petugas PT Makmur Elok Graha (MEG) menyerang posko warga penolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City pada Rabu dini hari, 18 Desember 2024. Penyerangan itu terjadi di Posko Sungai Buluh, Posko Sembulang Hulu serta Posko Ansor dan menyebabkan delapan warga luka-luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Koordinator Umum Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB), Ishak, penyerangan itu adalah aksi balasan setelah warga menangkap satu dari dua petugas PT MEG yang merusak spanduk penolakan PSN Rempang Eco-City pada Selasa malam, 17 Desember 2024. Warga geram lantaran aksi perusakan tersebut dilakukan berkali-kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konflik Rempang pecah sejak lebih dari setahun lalu, tepatnya pada awal September 2023. Kala itu, sejumlah aparat gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke perkampungan warga. Kedatangan mereka guna memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Padahal masyarakat tempatan belum sepakat digusur.

Masyarakat adat pun menolak kedatangan gabungan aparat dengan melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan. Namun, polisi dan tentara tersebut bersikukuh merangsek masuk ke pemukiman warga. Dilaporkan sedikitnya 20 orang warga alami luka ringan hingga berat akibat tragedi.

Sebagai pengikat ingatan, Tempo merangkum bagaimana terjadinya tragedi Rempang dan rentetan peristiwa yang menyertainya. Mulai dari musabab, pecah konflik, rayuan pemerintah, upaya relokasi, hingga berbagai tragedi, berikut kilas balik konflik Rempang yang hingga kini masih menghantui masyarakat tempatan:

Penyebab Konflik

Penyulut pecahnya konflik di Pulau Rempang bermula dari wacana pemerintah merombak wilayah tersebut menjadi The New Engine of Indonesia’s Economic Growth. Rencana itu kemudian dimasukkan ke dalam PSN dengan nama Rempang Eco City. Beleidnya diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023.

Pengembangan proyek ini adalah hasil kerja sama antara pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam alias BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT MEG yang merupakan anak usaha Artha Graha, kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata.

Kawasan Rempang Eco City direncanakan dibangun di atas lahan seluas 165 kilometer persegi. Dalam pengembangannya, PT MEG bakal menyiapkan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi. Proyek itu diharapkan bisa mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.

Total investasi pengembangan proyek mencapai Rp 43 triliun. PT MEG dilaporkan juga telah menggandeng Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang. Pemerintah mengklaim komitmen investasi ini bakal mencapai Rp 381 triliun hingga 2080.

Dengan nilai investasi itu, pengembangan Pulau Rempang diharapkan dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi (spillover effect) bagi Kota Batam serta daerah di Kepri. Pemerintah Indonesia juga menargetkan, pengembangan Kawasan Rempang Eco-City dapat menyerap lebih kurang 306.000 tenaga kerja hingga 2080 mendatang.

Ratusan warga Rempang saat unjuk rasa di Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang, Rabu, 4 Desember 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Pecah konflik

Namun rencana itu terhalang masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua. Meraka menolak direlokasi ke wilayah lain, yakni Pulau Galang. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Penolakan berbuntut bentrok pada 7 September tersebut.

Meski telah diblokade warga, aparat terus merangsek masuk wilayah Rempang, memukul mundur para warga lewat gas air mata. Bahkan, semburan gas air mata tersebut telah sampai hingga ke sekolah. Akibatnya, beberapa siswa dikabarkan mengalami pingsan. Padahal, para guru di SD tersebut sudah meminta agar gas air mata tidak ditembakkan ke arah sekolah.

Suasana mencekam Pulau Rempang juga beredar di media sosial. Dalam sebuah video, terlihat salah satu sekolah di Rempang dipenuhi asap. Beberapa guru juga tampak berlarian membawa beberapa murid untuk pergi melalui pintu belakang sekolah. Terdapat 6 warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata yang dilepaskan aparat.

Warga geruduk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam)

Beberapa hari setelahnya, tepatnya pada Senin, 11 September, ribuan masyarakat adat Melayu Kepri menggeruduk kantor BP Batam. Mereka menolak penggusuran, mendesak TNI dan Polri membubarkan posko yang didirikan di Rempang Galang, menghentikan intimidasi kepada orang Melayu, dan menuntut Jokowi membatalkan penggusuran kampung tua Pulau Galang.

Aksi ini sempat menyebabkan ricuh merusak kaca-kaca dan pagar kantor BP Batam. Massa membubarkan diri setelah ditembakkan gas air mata. Buntut dari aksi tersebut, sebanyak 43 orang warga Rempang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City yang terjadi pada 7 dan 11 September 2023.

“Sebanyak 26 ditetapkan sebagai tersangka di Polresta kasus tanggal 11 September, tambah delapan yang tanggal 7 September. Di Polda ada sembilan tersangka, jadi total 43,” ujar Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto di Batam, Kepulauan Riau, Jumat, 15 September 2023.

Pulau Galang disebut bukan milik warga

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) saat itu, Mahfud MD juga menyinggung tentang status tanah di Pulau Rempang. Dia menjelaskan bahwa sebenarnya pada 2001-2002, negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan berupa hak guna usaha. Hanya saja, sebelum investor masuk, tanah di Pulau Rempang itu belum digarap dan tidak pernah dikunjungi.

“Tanah Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok,” kata Mahfud, Jumat, 8 September 2023,

Masalah baru muncul ketika di 2022 ada investor yang akan masuk. Pemegang hak guna usaha kemudian datang untuk mengecek tanah di Pulau Rempang. Tetapi ternyata, tanah tersebut telah ditempati oleh masyarakat. Oleh karena itu, menurut Mahfud, konflik yang terjadi bukan karena hak atas tanah, melainkan karena proses pengosongannya.

“Nah proses pengosongan tanah ini lah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya ya, bukan hak guna usahanya,” katanya.

Kondisi posko warga tolak PSN Rempang yang di amuk petugas PT MEG, 18 Desember 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Rayuan pemerintah

Menindaklanjuti konflik yang terjadi antara warga dan aparat, Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi lalu menugaskan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait pelaksanaan proyek investasi tersebut.

Dalam proses penyelesaiannya, pada Ahad, 17 September 2023, tiga menteri telah menggelar rapat di Hotel Marriott, Kota Batam. Termasuk Bahlil, dua lainnya yaitu Menteri Agraria Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tito Karnavian.

Sebagai upaya untuk melancarkan rencana pemerintah dalam membangun PSN Rempang Eco City, Menteri Investasi saat itu, Bahlil Lahadalia menjanjikan beberapa hal terhadap masyarakat Pulau Rempang agar berkenan dipindahkan ke Pulau Galang. Antara lain hunian baru dan uang serta tempat tinggal sementara.

Bahlil mengatakan pemerintah bakal menyiapkan hunian baru untuk 700 KK yang terdampak. Pemerintah telah menyiapkan tanah seluas 500 meter per KK, dengan rumah tipe 45 kurang lebih senilai Rp 120 juta. Selain itu, seiring dengan masa pembangunan kawasan hunian baru warga Pulau Rempang terdampak yang akan memakan waktu 6 sampai 7 bulan.

“Bahlil menyebut pemerintah bakal memberikan fasilitas uang dan tempat tinggal sementara. Uang yang diberikan mencapai Rp 1,2 juta, serta fasilitas dengan biaya sewa sebesar Rp 1,2 juta yang telah dilengkapi dengan tanam tumbuh, keramba ikan, dan sampan di laut,” kata Bahlil melalui siaran pers Kementerian Investasi pada Senin, 18 September 2023.

Pulau Rempang kudu kosong sebelum akhir September

BP Batam menargetkan pengosongan wilayah Pulau Rempang selesai dilakukan sebelum 28 September 2023. Tim terpadu yang terdiri TNI, Polri, BP Batam, dan Satpol PP akan memastikan relokasi warga kawasan Pulau Rempang selesai pada waktunya.

“Tanggal 28 (September ini) Pulau Rempang clean and clear untuk diserahkan kepada pengembang PT MEG,” kata Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, Kamis malam, 7 September 2023.

Pemerintah batal kosongkan Pulau Rempang, pemukiman penduduk akan digeser

Pemerintah gagal merelokasi masyarakat yang bersikukuh menolak dipindahkan. Pemindahan masyarakat Pulau Rempang ke Pulau Galang akhirnya dibatalkan, tak jadi dilakukan pada 28 September 2023. Kendati demikian, rencana pembangunan Rempang Eco City tetap jalan.

“Kami kasih waktu lebih, tapi harus ada batasan. Cari titik tengah yang baik agar kita bisa bergeser dengan baik. Tapi usaha investor juga dapat dilaksanakan sesuai perencanaan,” kata Bahlil dalam konferensi pers usai rapat terbatas di Istana Presiden, Senin, 25 September 2023. “Jalan aja, Insyallah enggak (dibatalkan).”

Bahlil mengatakan, pemukiman warga akan digeser ke Tanjung Banon. Jaraknya tak lebih tiga kilometer dari lokasi rencana pembangunan Rempang Eco City. Total pemerintah akan memindahkan lima kampung, yakni Blongkeng, Pasir Panjang, Simpulan Tanjung, Pasir Merah, dan Simpulan Hulu. Dari 900 keluarga, hampir 300 di antaranya sudah mendaftar untuk direlokasi.

“Dengan demikian, kami geser ke Tanjung Banon. Masih di (Pulau) Rempang. Hanya 3 kilometer,” kata Bahlil.

Warga tolak digeser

Namun, Keluarga besar adat Melayu Tempatan 16 Kampung Tua Pasir Panjang, Rempang Cate, Batam, Kepulauan Riau menyatakan tetap menolak relokasi dalam bentuk apa pun. Perwakilan keluarga besar kampung adat Melayu menegaskan mereka tak berkenan digeser sedikit pun dari tanah kelahiran nenek moyang mereka.

Kami menolak dengan tegas sejengkal pergeseran, perpindahan, relokasi atau penggusuran atau pengosongan dari tanah tumpah darah nenek leluhur kami,” kata salah seorang warga perwakilan dalam sebuah video yang diunggah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI pada Senin, 25 September 2023.

Sejumlah terdakwa kasus kerusuhan unjuk rasa tolak relokasi Pulau Rempang berada di ruang tahanan usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, Kamis 21 Desember 2023. Kerusuhan pecah saat unjuk rasa tolak relokasi warga Pulau Rempang yang terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco city pada 11 September 2023 di Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam. ANTARA/Teguh Prihatna

Warga disebut sudah ada yang pindah ke hunian sementara

Sementara itu, BP Batam melaporkan sudah ada 291 warga yang mendaftar untuk dipindahkan ke hunian sementara. Dari jumlah tersebut, pada Senin, 25 September, ada tiga KK yang sudah pindah ke hunian sementara yang disediakan BP Batam. Kepada tiga KK tersebut, BP Batam menyerahkan fasilitas yang dijanjikan. Bantuan tersebut akan terus diberikan hingga hunian baru selesai.

“Begitu warga pindah, uang sewa dan biaya hidup untuk tiga bulan langsung diserahkan. Ini bentuk komitmen BP Batam. Alhamdulillah, sudah ada tiga KK yang pindah. Saya berharap, jumlah tersebut terus bertambah untuk ke depan,” kata dia.

Di sisi lain, Ombudsman RI masih menelusuri kebenaran persetujuan warga Pulau Rempang soal relokasi untuk pengembangan Rempang Eco City. Meski BP Batam mengklaim sudah ada 291 keluarga yang mendaftar relokasi, namun di lapangan, Ombudsman menemukan fakta bahwa mayoritas warga masih menolak.

“Nah, yang bersedia (direlokasi) siapa? Jangan-jangan pendatang? Jangan-jangan bukan warga kampung (Pulau Rempang)?” ujar Widijantoro dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman, Rabu, 17 September 2023. “Ini sedang kami telusuri. Jangan hanya diklaim sudah sekian ratus orang (mau direlokasi).”

Pemerintah ngotot pindahkan warga

Meskipun terus mendapatkan penolakan, pemerintah terus ngotot untuk melakukan relokasi warga ke Kampung Tua Tanjung Banon. Di sana, pemerintah berjanji akan membangunkan rumah bagi warga yang terkena dampak. Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menyatakan pihaknya nyaris merampungkan rumah contoh bagi warga yang terkena dampak.

“Pengerjaan rumah contoh sudah masuk tahap penyelesaian. Kami berharap seluruh proses ini dapat rampung dalam minggu ini,” ujar Tuty seperti dilansir laman resmi BP Batam, Rabu, 3 April 2024.

Perpecahan di masyarakat

Di tengah ancaman relokasi itu, warga Pulau Rempang merasakan Ramadan tahun ini, April, tak lagi sehikmat seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Budiman—bukan nama sebenarnya—menyatakan suasana bulan suci umat Islam itu pada tahun ini berbeda. Kerukunan dan kebersamaan warga yang biasanya terlihat jauh lebih kental pada Ramadan kini hilang.

Hal ini karena ada segelintir warga yang menerima tawaran relokasi dari pemerintah. Mereka yang menerima tawaran relokasi kini tak ikut lagi dalam berbagai acara warga. Bukan hanya acara buka puasa, warga yang menerima relokasi juga tak lagi muncul di Masjid Al Fajri yang terletak di Kampung Tua Pasir Merah, baik untuk salat lima waktu, salat tarawih, maupun kegiatan lainnya seperti tadarus.

“Mereka (menerima relokasi) tak pernah muncul. Apalagi dalam kegiatan-kegiatan seperti ini, mereka menyendiri, karena faktor malu menjual kampung,” kata Budiman, yang memimpin doa dalam acara buka puasa bersama itu.

Siti Hawa, warga lainnya, pun merasakan aura yang berbeda pada Ramadan kali ini. Perempuan 70 tahun itu menyatakan tali silaturahmi warga putus karena adanya PSN Rempang Eco-City. Ada perasaan permusuhan dari warga yang menolak relokasi terhadap masyarakat yang menerima. Siti menyatakan tak bisa menerima warga yang mau direlokasi karena menganggap mereka telah menjual kampung halamannya.

“Orang luar saja membantu kami. Kami yang punya kampung tidak kuat (bertahan). Kan kami malu, Melayu Rempang malu, saya malu melihat orang itu,” kata Siti.

Sosiolog dari Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menyatakan perpecahan itu merupakan segregasi atau pengkotak-kotakan secara sosial yang berbasis konflik. Menurut dia, kondisi itu cukup parah karena berada di ranah keseharian yang berada pada wilayah intim atau wilayah religiositas.

“Konstruksi religiositas itu, sebenarnya, sama-sama untuk memuji Tuhan, sehingga kalau tujuannya itu mengabaikan hal-hal yang sifatnya turunan dari keyakinan itu, bahkan menyentuh khilafiah, seperti tidak mau lagi sama-sama tadarusan, tarawih, saling enggak terima, itu kan wilayah yang enggak ada hubungan. Seharusnya mereka bisa damai di situ,” kata Eko.

Kelanjutan proyek Rempang Eco City

Lama tak terdengar, ternyata pembangunan Rempang Eco City terus berlanjut. Kabar ini terendus setelah BP Batam serta pemerintah Kota Batam dan PT Makmur Elok Graha menggelar rapat koordinasi pengembangan Rempang Eco City terkait realisasi serta beberapa rencana aksi untuk mendukung investasi di Rempang, salah satunya pemenuhan kebutuhan infrastruktur dasar.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menilai pemerintah dan BP Batam sama sekali tidak mempedulikan aspirasi masyarakat yang hingga saat ini masih tetap bertahan di kampung mereka dan menolak untuk direlokasi. Rapat koordinasi berlangsung setelah ada kunjungan dan konferensi pers Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto di Kota Batam terkait Investasi Rempang Eco – City pada 12 Juli 2024.

“Kedua agenda pemerintah ini menunjukkan seolah penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan PSN Rempang Eco-City tidak berarti apapun,” kata Boy Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau dalam keterangan tertulis, Kamis, 25 Juli 2024.

Boy menilai Pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendaknya untuk tetap melanjutkan investasi Rempang Eco-City, karena sampai saat ini mayoritas warga Rempang tetap menolak untuk direlokasi. Menurutnya, masyarakat Rempang masih tetap ingin hidup dan menjaga tanah adat leluhur mereka yang mereka tempati sejak dulu.

Proyek Rempang Eco City jadi teror bagi masyarakat

Tidak hanya mengancam keberadaan rumah dan tanah warga, Rempang Eco City juga mengganggu mata pencaharian mereka. Hal ini diungkapkan oleh Miswadi, 46 tahun, warga Rempang yang datang ke Jakarta untuk melakukan aksi demonstrasi pada pertengahan Agustus lalu.

Menurutnya, proyek ini telah menyebabkan gangguan besar terhadap ekonomi warga setempat, terutama mereka yang bekerja sebagai nelayan dan petani. Kata dia, intimidasi dan ketakutan yang melanda warga akibat proyek ini telah membuat mereka kehilangan konsentrasi dalam bekerja.

“Sekarang seperti nelayan, dia kan harus ke laut. (Sementara ada) penjagaan di daerah, apakah dia bisa konsentrasi ke laut? Kan tidak,” ujarnya kepada Tempo usai aksi demo di depan Kementerian Koordinator Perekonomian, Rabu, 14 Agustus 2024.

Gangguan psikologis ini, menurut Miswadi, telah menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan di kalangan warga. Dia mencontohkan bagaimana petani yang biasanya bekerja dengan produktif di ladang kini tidak bisa fokus karena khawatir dengan kemungkinan datangnya aparat atau pihak yang tidak bertanggung jawab ke kampung mereka.

“Konsentrasi kita tidak ada, pendapatan kita pasti turun,” ujar pria yang juga bekerja sebagai petani sekaligus nelayan ini.

Tidak hanya itu, proyek ini juga telah menghentikan beberapa kegiatan ekonomi peternakan yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan warga. Miswadi menyebutkan kandang-kandang ayam yang dimiliki warga kini telah ditutup akibat rencana relokasi. “Beberapa kandang ayam sudah tutup sekarang karena mau direlokasi,” kata dia.

Miswadi mengungkapkan janji pemerintah untuk mengganti pekerjaan warga yang hilang akibat proyek ini belum terealisasi. Warga pun makin khawatir dengan masa depan ekonomi mereka. “Kalau menunggu pembangunan baru, kapan? Harus membutuhkan waktu yang panjang. Apakah sanggup masyarakat menunggu selama waktu itu tidak ada pekerjaan? Kan enggak mungkin,” ucapnya.

Rempang memanas lagi

Konflik Rempang Eco City pun sempat memanas setelah warga mengambil alih pos Tim Terpadu PSN Rempang Eco City BP Batam di Simpang Dapur 6, Sembulang pada Jumat siang, 30 Agustus 2024. Warga mendatangi pos tersebut dan meminta petugas Direktorat Pengamanan (Ditpam) BP Batam yang berjaga untuk hengkang.

Sebab, pos itu dibangun warga sebagai tempat anak-anak berteduh menunggu bus antar jemput sekolah. Setahun terakhir, setelah muncul konflik Rempang, BP Batam menguasai pos tanpa izin. “Selama hampir setahun ini anak sekolah menunggu di tempat lain, padahal kami buat pos ini untuk anak-anak kami supaya tidak kena hujan, tidak panas,” kata Asmah, warga Rempang, Jumat.

Tim Terpadu PSN akhirnya bersedia meninggalkan pos setelah sempat terjadi cekcok. Namun mereka kembali datang pada malam harinya dan mendirikan gardu baru di samping pos tersebut. Adu mulut kembali terjadi malam itu. Warga tetap tidak terima BP Batam membangun posko di sana. Kawasan Simpang Dapur 6 bukan aset BP Batam.

“Tugas BP Batam itu menjaga aset BP Batam, di sini tidak satu pun aset BP Batam, aset BP Batam itu hanya di kampung Tanjung Banun,” kata Miswadi, juga warga Rempang, kepada Tempo, Sabtu, 31 Agustus 2024.

Menurut Miswadi, Tim Terpadu PSN Ditpam BP Batam mengatakan akan membangun pos di Kampung Tanjung Banun. Kawasan ini merupakan tempat relokasi baru yang sedang dibangun BP Batam. Namun, keesokan harinya, Tim Terpadu PSN justru kembali datang dengan dikawal satu kompi prajurit TNI.

“Padahal pimpinan mereka bilang akan bangun posko di Kampung Tanjung Banun, tetapi tadi (Sabtu siang) datang lagi,” kata Wadi, sapaannya.

Ditpam BP Batam dan tentara beralasan, mereka membangun pos itu untuk pengamanan pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024 di sekitaran simpang Sungai Buluh. Warga tetap menolak lantaran mereka menilai pengamanan pilkada bukanlah wewenang BP Batam. Tugas BP Batam menjaga aset yang mana tidak ada wilayah tersebut

“Tetapi tetap kami tolak. Dengan alasan pilkada itu mustahil, pengamanan pilkada bukan wewenang BP Batam. BP Batam itu tugasnya menjaga aset BP Batam, sementara di sini bukan aset BP Batam,” tegas Wadi.

Yogi Eka Sahputra, Intan Setiawanty dan Hendrik Yaputra, Riri Rahayu, Daniel A. Fajri, Reno Eza Mahendra, Raden Putri, Mhd Rio Alpin Pulungan dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus