Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN bayangkan sebuah kawasan tertutup, lengang di tengah gurun tanpa penghuni, atau pulau terpencil di samudra, seperti dalam gambaran film-film Hollywood kacangan. Di Kota Yogyakarta, kompleks bernama reaktor nuklir lebih terlihat bak perkantoran biasa yang dikepung pertokoan, sekolah, perguruan tinggi, hotel, dan permukiman padat. Reaktor Yogyakarta memang tak seseram namanya.
Apa yang dihasilkan reaktor jenis TRIGA (training, research, isotopes, general atomics) di kompleks itu sesuai dengan namanya, yakni penelitian di berbagai bidang. Indonesia memiliki tiga reaktor nuklir sejenis. Selain di Yogyakarta, reaktor serupa juga didirikan di Serpong, Banten, dan Bandung, Jawa Barat.
Di antara hasil penelitiannya adalah padi transgenik yang tahan hama wereng, dan bank penyimpanan jaringan biologi seperti jaringan plasenta bayi yang bermanfaat untuk menutupi luka bakar. Tetapi, arah kebijakan energi nuklir Indonesia sebetulnya kini lebih kepada pemanfaatan energi nuklir sebagai pembangkit listrik.
Kebijakan ini sebetulnya sudah berproses sejak 1972. Ketika itu, pemerintahan Soeharto merencanakan konstruksi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dimulai pada 1997 dan sudah beroperasi pada 2004. Namun rencana itu tak pernah terwujud. Di seluruh dunia, sejak didirikan pertama kali di Rusia pada 1954, kini sudah beroperasi 442 unit PLTN.
Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Departemen Luar Negeri, Hasan Kleib, mengatakan terhambatnya proses pendirian PLTN karena isu itu tak dapat dilepaskan dari Traktat Nonpengembangan Nuklir menjadi senjata (Nuclear Nonproliferation Treaty—NPT). Indonesia meratifikasinya pada 1978.
Sebagai negara bukan pemilik senjata nuklir, Indonesia dilarang mengembangkan nuklir menjadi senjata atau mentransfernya dari negara pemilik senjata nuklir seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Prancis. Indonesia dan negara bukan pemilik senjata nuklir lainnya berhak mengembangkan energi nuklir untuk kebutuhan damai, di antaranya sebagai pembangkit listrik.
Masalahnya, kata Hasan, pendirian PLTN merupakan masalah sensitif, apalagi sejak merebaknya isu terorisme. Negara pemilik senjata nuklir umumnya menaruh curiga atas proyek PLTN di negara bukan pemilik senjata nuklir, seperti yang terjadi akhir-akhir ini atas Iran.
Kecurigaan semacam itu membuat negara-negara nuklir secara sepihak mengeluarkan berbagai peraturan yang mempersempit ruang gerak negara bukan pemilik. Misalnya Proliferation Security Initiative, yang dikeluarkan di Polandia pada 2003. Aturan ini memungkinkan negara pemilik melakukan penangkapan atau pencegahan, meski bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara atau hukum laut bebas.
Amerika Serikat menerapkan Container Security Initiative untuk memeriksa semua bentuk kontainer yang masuk ke negeri itu. Australia juga punya Australia Maritime Information System, yang memungkinkan negeri itu melakukan pelacakan dan pengawasan terhadap kapal atau sesuatu yang dicurigai secara lintas batas negara.
Ada pula Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1540, yang mewajibkan setiap negara memperketat legislasi nasional untuk mencegah pengembangan nuklir menjadi senjata, khususnya negara yang terkait terorisme. Berbagai peraturan itu disusun sepihak dan terkesan memaksakan kehendak, sehingga Indonesia tak meratifikasi satu pun.
”Aturan-aturan itu seperti general punishment terhadap negara-negara yang ingin mengembangkan energi nuklir untuk kebutuhan damai,” kata Hasan. Dampaknya, transfer teknologi pun menjadi sulit. Dia menilai, meski tak langsung, itulah yang membuat proses pendirian PLTN di Indonesia terkesan lamban.
Namun, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) membantah. Venuesiana Dewi, peneliti di reaktor Serpong, mengatakan tak ada tekanan atau kecurigaan negara asing. Proyek PLTN di Indonesia terhambat masalah biaya yang sangat besar, minimnya sosialisasi, serta masih adanya penolakan dari masyarakat.
Maka, tak mengherankan kalau proses pemilihan tapak, yang dimulai sejak 1975, baru mendapat hasil pada 2003 dengan terpilihnya tiga desa di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ketiganya adalah Ujung Lemahabang, Ujung Watu, dan Ujung Grenggengan. Ketiganya dinyatakan bebas dari faktor penolak, seperti bahaya letusan gunung berapi, bahaya patahan permukaan, dan ketidakstabilan fondasi.
Dewi mengatakan, di ketiga desa rencananya akan dibangun reaktor PWR (pressurized water reactor) yang termasuk dalam jenis reaktor air ringan (light water reactor). Reaktor ini lebih banyak dioperasikan dengan tenaga komputer demi meminimalkan bahaya kesalahan manusia dalam pengoperasiannya.
Dewi mengatakan, PLTN adalah kebutuhan yang tak dapat dielakkan karena kian terbatasnya persediaan energi listrik Indonesia. Berdasarkan perhitungan Batan, PLTN akan menyumbangkan listrik dua persen dari total 300 ribu MW kebutuhan listrik Indonesia dalam 20 tahun ke depan.
Juru bicara Batan Yogyakarta, Agus Pitoyo, menyatakan Indonesia selalu membuka pintu terhadap pengawasan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang melakukan pemeriksaan setahun sekali.
Pemeriksaan mereka meliputi faktor keamanan dan keselamatan, termasuk penggunaan bahan bakar reaktor, yakni uranium. ”Satu miligram penggunaan uranium harus dilaporkan ke IAEA, baik yang masih baru maupun sisa,” kata Agus.
Pemerintah merencanakan konstruksi PLTN akan dimulai pada 2010, dan mulai beroperasi pada 2016. Rencana ini sudah mendapat lampu hijau dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Desember tahun lalu, Komisi Energi telah menyetujui program sosialisasi proyek PLTN, yang akan dimulai tahun ini dan menelan biaya Rp 25 miliar. Anggaran ini akan ditambah setiap tahun sampai PLTN itu mulai beroperasi.
Tender untuk proyek itu rencananya akan dibuka pada 2008. Satu sumber Tempo di Batan mengatakan, sudah ada satu perusahaan asal Korea Selatan yang berminat menanamkan modalnya. Nilai investasinya diperkirakan mencapai Rp 10 triliun per unit PLTN.
Anggota Komisi Pertahanan DPR, Jeffrey Johanes Massie, mengakui pembahasan isu nuklir di DPR selama ini memang minim, tertutup isu-isu lainnya yang lebih hangat. Namun, menurut dia, isu nuklir juga signifikan karena terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Tetapi, terutama dari masyarakat di sekitar lokasi proyek dan lembaga swadaya masyarakat, proyek PLTN masih dipandang tak patut. Protes mereka didasari kekhawatiran akan bahaya energi nuklir, terutama potensi radiasi radioaktifnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Chalid Muhammad, mengatakan 80 persen wislayah Indonesia rawan bencana. Diakuinya, Jepang dengan tingkat kerawanan bencana tertinggi di dunia justru memiliki reaktor nuklir dalam jumlah besar. ”Namun, di Indonesia, tingkat human error-nya masih sangat tinggi,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Di sisi lain, kata Chalid, tidak ada jaminan 100 persen dari Batan dan pemerintah bahwa proyek itu akan aman dan limbahnya bisa dikelola dengan baik. ”Kalau Batan bisa menjamin proyek itu aman 100 persen, silakan sosialisasikan kepada publik,” ujarnya.
Walhi, kata Chalid, menyarankan pemerintah mengoreksi kebijakan energi nasional yang selama ini selalu terpusat dalam jumlah besar. Menurut dia, pemerintah harus mencari potensi energi ramah lingkungan lain yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Deddy Sinaga, Heru C.N. (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo