Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menyingkirkan bedilnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tampaknya makin siap bertarung secara politik. Bekas juru runding gerakan itu, Teuku Kamaruzzaman, bertemu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin di Jakarta, Jumat pekan lalu. Dalam kesempatan itu, Kamaruzzaman menyodorkan satu dokumen penting dan dijilid rapi kepada Menteri Hamid.
”Itu draf hasil diskusi kami di GAM,” ujarnya. Langkahnya tampak ringan keluar dari kamar kerja Menteri Hamid di bilangan Kuningan, Jakarta. Draf Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh baru saja ia berikan kepada Menteri Hamid. Draf serupa dari DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, yang sudah masuk ke meja Menteri Dalam Negeri, tampaknya tak memuaskan GAM.
Dibandingkan dengan versi DPRD, kata Kamaruzzaman, draf itu serupa tapi tak sama. ”Draf DPRD boleh dibilang baru 70 persen oke,” ujarnya. Maksudnya, belum semua tuntutan gerakan itu tertampung dalam draf versi anggota Dewan. Tapi, dalam perumusannya, kata bekas juru runding GAM itu, Panitia Khusus di DPRD Aceh sudah mendengar usul GAM dan juga beragam kelompok masyarakat. Draf versi GAM memang tak pernah diberikan kepada DPRD. Mereka langsung menyodorkannya kepada pemerintah pusat.
Meski tak banyak, di atas kertas, perbedaan tetap ada. Rancangan GAM, misalnya, tak memasukkan mahkamah syariah. ”Kami konsisten dengan MOU bahwa Aceh mengakui sistem peradilan nasional,” ujar Kamaruzzaman. Lalu, mereka juga memberi prioritas soal penegakan hak asasi manusia. Dalam draf GAM, perkara ini diatur dalam bab awal, pada pasal 2. Sedangkan dalam draf Dewan justru diletakkan di bagian akhir. Berisi 187 pasal, draf itu diharapkan oleh Kamaruzzaman menjadi masukan bagi pemerintah.
Pada Jumat itu, di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla, ada pertemuan yang sama pentingnya. Di sana tampak pelaksana tugas Gubernur Aceh Mustafa Abubakar, Ketua DPRD Aceh Sayed Fuad Zakaria, Pangdam Iskandar Muda Mayjen Supiadin A.S., dan Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri Progo Nurjaman. Dari pihak Gerakan Aceh Merdeka, hadir Irwandi Yusuf, pejabat senior GAM di Aceh Monitoring Mission—lembaga netral yang memantau jalannya kesepakatan damai.
Kalla, seperti dikutip Mustafa setelah pertemuan tertutup itu, meminta agar proses perumusan Undang-Undang Pemerintahan Aceh bisa lebih cepat. ”Februari ditargetkan selesai di DPR,” ujar Mustafa. Kalau undang-undang itu kelar, Aceh akan bersiap menyongsong pemilihan kepada daerah.
Sejauh ini, tak ada soal dengan draf yang diajukan Panitia Khusus DPRD Aceh. Draf itu akan diolah lagi di Departemen Dalam Negeri. Mewakili departemen itu, Progo Nurjaman mengungkapkan semua draf baik dari DPRD Aceh maupun lainnya akan dipadukan. ”Semuanya harus dalam rambu negara kesatuan dan MOU,” ujarnya. Sejumlah masalah juga masih terus digodok, misalnya calon independen untuk pemilihan kepala daerah, partai lokal, sumber daya alam, dan sebagainya.
Pintu terbuka bagi calon dari GAM yang bakal berlaga di pilkada. Ketua DPRD Aceh, Sayed Fuad Zakaria, memastikan semua bekas gerilyawan itu bisa ikut pemilu. Tentu itu termasuk para pimpinan GAM, yang masih berada di luar negeri. Syaratnya, kata Fuad, mereka harus kembali ke Indonesia. ”Kalau mau ikut pilkada, syaratnya harus jadi WNI dulu,” ujar Sayed.
Soal ikut pemilu bukan tak terpikirkan oleh para pemimpin GAM yang biasa memanggul bedil. Sejak meneken perdamaian di Helsinki, mereka sudah berancang-ancang bertarung secara politik. Langkah awal ke arah itu sudah terlihat jelas akhir Desember lalu. Sayap militer GAM, yang disebut Tentara Negara Aceh, dibubarkan. Lalu mereka membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA).
Juru bicara KPA, Sofyan Dawood, mengatakan pembubaran TNA sudah dipahami semua bekas gerilyawan GAM. Mereka, kata dia, menerima dengan lapang dada. Dia menolak dugaan bahwa KPA sebetulnya adalah cara bertahan jika perdamaian bubar. ”Tidak ada agenda lain,” ujarnya. Tujuan KPA satu: melancarkan program reintegrasi bagi bekas anggota pasukan GAM.
Caranya, KPA yang dipimpin para bekas panglima GAM di wilayah akan mendaftarkan profesi dan keahlian para bekas pemanggul bedil itu. ”Kita arahkan sesuai dengan keahlian masing-masing,” ujar Sofyan, dua pekan lalu. Bahkan, kata Sofyan, tak tertutup peluang KPA akan menjadi partai politik lokal. Itu berjalan seiring kebutuhan. Dan, yang lebih penting, semua bergantung pada keputusan pimpinan tinggi di Swedia.
Seorang petinggi GAM mengatakan, mereka bersiap untuk maju di pilkada. Struktur politik mereka pun diam-diam tampaknya mulai bekerja. Di daerah Pidie sampai perbatasan Aceh Utara, misalnya, dilaporkan para bekas gerilyawan mencoba mengumpulkan ”dukungan”. Mereka seakan menjajal syarat bagi calon independen. ”Dukungan ternyata mengalir kencang,” ujar petinggi GAM itu.
Banyak warga yang memberikan fotokopi kartu penduduk mereka untuk mendukung calon independen dari GAM. Hasil percobaan tersebut, kata sumber GAM itu, sangat bisa diandalkan. Sayangnya, tak disebutkan jumlah pasti berapa dukungan yang disabet GAM. Sampai kemarin, gerakan itu belum lagi menentukan siapa calon mereka dalam pilkada nanti.
Nama calon gubernur dari GAM yang paling santer beredar adalah Hasbi Abdullah, adik kandung tokoh GAM Swedia Zaini Abdullah. Sedangkan Kamaruzzaman disebut-sebut sebagai wakil gubernur. Tapi, ketika hal itu ditanyakan, Kamaruzzaman hanya menjawab diplomatis. ”Saya tak tahu. Banyak tokoh yang lebih layak di GAM,” ujarnya merendah.
Selain pasang kuda-kuda untuk pilkada, GAM juga berharap bisa terjun ke politik lewat partai lokal. Tapi, soal partai politik lokal memang belum lagi ada kata final. ”Masih belum bisa ditentukan,” ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Kausar A.S., Senin pekan lalu. Menurut Kausar, belum jelas apakah soal partai lokal itu akan diatur dalam RUU Pemerintahan Aceh atau ditampung dalam Undang-Undang Partai Politik.
Dari rancangan undang-undang Aceh versi Departemen Dalam Negeri itu, ada sembilan pasal yang mengatur soal partai politik lokal. Termasuk syarat pendirian, tujuan umum dan khusus, fungsi, hak, kewajiban, dan larangan bagi partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.
Syarat pendirian partai politik lokal, misalnya, harus dilakukan oleh 50 warga negara Indonesia yang sudah berdomisili tetap di Aceh. Partai ini kelak bisa memilih mengikuti pemilihan lokal di Aceh saja, atau beraliansi dengan partai nasional untuk berkompetisi dalam pemilihan umum nasional. Usul ini, bukan mustahil, bisa menjadi perdebatan seru di DPR RI nanti.
Wajah politik di Aceh tentu berubah total dengan aturan baru ini. Yang menarik adalah baik draf GAM maupun usulan Panitia Khusus DPRD Aceh sama-sama tak lagi memakai nama Nanggroe Aceh Darus salam. ”Nama itu kita ganti dengan pemerintahan Aceh,” ujar Sayed Fuad.
Bahkan Kamaruzzaman lebih tegas lagi meminta pemerintah pusat tak lagi memakai kata otonomi khusus bagi Aceh. ”Pemerintah Aceh adalah pemerintahan sendiri seperti disepakati dalam MOU,” ujarnya. Meskipun pengertian otonomi khusus secara umum sama dengan pemerintahan sendiri, kata Kamaruzzaman, secara psikologis keduanya berbeda.
Tipisnya perbedaan antara draf GAM dan Panitia Khusus memang menarik. Setidaknya, konflik tentang peraturan itu di Aceh sangat kecil terjadi. Yang berpotensi besar berhadapan justru faktor politik di luar Aceh. Betapapun, beleid politik bagi Aceh itu adalah hasil perdamaian yang paling konkret. Seperti kata Kamaruzzaman, tak ada yang perlu dicemaskan dari draf pemerintahan Aceh itu. ”Pemerintahan sendiri itu toh masih tetap di bawah konstitusi Republik Indonesia,” ujarnya.
Nezar Patria, Sunariah, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhok Seumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo