Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rujuk Setelah Terbantai

Setelah muktamar PPP, Syaiful Mujab tokoh NU Yogyakarta mengundurkan diri. Sikap NU secara resmi setelah muktamar NU. Tampaknya akan ada rujuk antara kelompok Cipete dan Situbondo.(nas)

8 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEKHAWATIRAN bahwa seusai muktamar PPP warga NU yang kecewa akan berbondon-bondong keluar dari PPP ternyata tidak beralasan. Hinggaawal pekan ini, baru ketua DPW PPP Yogyakarta, Syaiful Mujab, yang keluar dari PPP dan mengundurkan diri dari kepenurusan DPW PPP Yoyakarta. Meman ada seorang lagi yang mengundurkan diri, yakni wakil ketua DPW PPP Yogyakarta, Imam Suhadi, tapi ia berasal dari unsur MI. Keputusan Syaiful itu diumumkan seusai rapat DPW NU Yogyakarta 29 Agustus lalu. Alasannya: PPP dianggapnya bukan lagi tempat yang tepat bagi umat Islam, khususnya kaum nahdliytn (umat NU), untuk menyalurkan aspirasi politiknya. "Sekarang saya menjadi orang bebas, belum menentukan mau ke mana," ujar Syaiful. Menurut Syaiful, pengunduran dirinya bukan masalah menang atau kalah dalam perjuangan. Juga bukan masalah Naro atau siapa yang menjadi ketua umum. "Tapi karena aspirasi umat sudah tidak tecermin di PPP. Selain itu, norma-norma Islam sudah ditinggalkan," katanya. Contohnya: ditinggalkannya asas musyawarah yang dijunjung tinggi dalam Quran. Toh dalam wawancaranya denan Syahril Chili dari TEMPO, Syaiful mengakui, alasan utama pengunduran dirinya adalah karena "terbantainya NU dalam muktamar PPP" bulan lalu. Menjelang muktamar, sebagai ketua DPW PPP Syaiful, yang dipilih sebagai utusan daerahnya, memang telah datang ke Jakarta, tapi gagal hadir karena DPP PPP ternyata menunjuk orang lam sebagai utusan Yogyakarta. Dalam DPP PPP yang baru, eks unsur NU yang masuk juga sangat sedikit. Bisa dimengerti bila Syaiful kecewa sekali. "Saya siap menghadapi risiko apa pun akibat pengunduran diri saya ini," ujarnya pekan lalu. Untuk umat, menurut Syaiful, terserah kepada mereka sendiri untuk menyalurkan aspirasinya. Dan penyaluran ini amat tergantung pada fatwa ulama NU. Fatwa ini, kata Syaiful, akan diputuskan lewat forum formal, muktamar NU atau minimal rapat PB Syuriah NU. Menjelang muktamar, secara tidak langsung Syaiful memang telah mengisyaratkan kemunkinan bakal turunnya fatwa ulama NU, jika hasil muktamar mengecewakan. Ditanya wartawan tentang keluarnya Syaiful serta kemungkinan akan adanya fatwa ulama NU, ketua umum DPP PPP J. Naro menjawab tegas, "Dia bersuara begitu adalah hak dia. Di sini ada demokrasi pendapat. Jika nanti ulama akan mengeluarkan fatwa, itu pun hak ulama sendiri. Kalau ada ulama dalam PPP akan mengeluarkan fatwa juga. Tapi saya berharap hal itu tidak akan terjadi," katanya. Suaranya keras. Benarkah ulama NU akan mengeluarkan fatwa? Dalam wawancara tertulis dengan TEMPO, rais a'am NU K.H. Ali Maksum menjelaskan, pihaknya masih mengumpulkan bahan. "Setelah bahan-bahan itu lengkap, ada fatwa atau tidak nanti terserah kepada PB NU atau muktamar NU yang insya Allah tak lama lagi akan dilaksanakan," kata Kiai Ali. Ia sudah meminta Abdurrahman Wahid sebagai khatib segera mengadakan rapat PB NU. Ali Maksum menolak mengomentari hasil muktamar PPP. Diakuinya, Syaiful Mujab memang ditugasinya memonitor jalannya muktamar. "Dan ia sudah memberikan laporannya." Tanggapannya atas pengunduran diri Syaiful, "Saya kira itu sesuai dengan keputusan Munas Ulama NU di Situbondo dalam hal hak-hak berpolitik bagi warga NU. Dan masa depan NU kini jelas kembali ke khittah 1926, yang berarti bukan organisasi politik." Tampaknya sikap NU secara resmi baru akan diputuskan dalam muktamar NU yang akan diselenggarakan setelah lahir UU Keor masan, yang kini tengah dibicarakan DPR. Abdurrahman Wahid pada TEMPO menjelaskan, NU baru menentukan sikap dalam muktamar nanti. Dan sikap itu, katanya, "Boleh jadi lebih keras dari rekomendasi Munas Situbondo yang hanya menutup kemungkinan pengurus NU uduk dalam jabatan di PPP." Belum pasti kapan muktamar NU akan diselenggarakan. UU Keormasan sendiri diharapkan akan bisa diloloskan dalam masa sidang DPR sekarang ini, yang berakhir Desember mendatang. Ancer-ancer penyelenggaraan muktamar NU sendiri memang ada, yakni sekitar bulan Rabiul Awwal (Desember). Tempatnya mungkin di Pesantren Sukorejo, Situbondo, atau juga di Pesantren Tebuireng, Jombang. Apa pun sikap NU nanti, tampaknya tak akan terlalu dihiraukan DPP PPP pimpinan Naro. Yang penting, kepengurusan yang baru itu telah diakui pemerintah. Pekan lal.u DPP PPP pimpinan Naro memperkenalkan diri kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Menurut Naro, Kepala Negara selain mengucapkan selamat juga mengharapkan agar keputusan PPP menerima asas Pancasila, "Bukan sekadar asal menerima, tapi secara sungguh-sungguh berdasar keyakinan." Tokoh NU Zamroni, yang dalam DPP PPP menjabat ketua I, agaknya mewakili sikap "apa boleh buat" NU, tatkala mengatakan, "Sejauh yang menyangkut susunan DPP, tak ada masalah. Imam Sofwan, Imron Rosyadi, Pak Munasir sudah menerimanya. Melihat dari situ, NU sendiri tak ada masalah." Zamroni membantah isu bahwa bakal ada recallin terhadap anggota F-PP yang tidak menyokong DPP PPP yang baru. "Tak ada sedlkit pun Isyarat akan adanya recalllng. Dan melakukan recalling tidak sesederhana itu, kecuali jika anggota itu sudah terbuka menentang kebijaksanaan DPP," katanya. Buat NU sendiri, muktamar PPP yang "membantai NU" itu ada hikmahnya juga. Belakangan ini tampak ada kecenderungan rujukan antara kelompok Cipete (Idham Chalid) dan kelompok Situbondo (ulama). Abdurrahman Wahid mengakui adanya gejala ini. "Penyampaian unek-unek untuk utuh kembali sudah mulai ada, hanya belum secara formal. Tapi ini berarti sudah ada kemajuan. Tinggal mencari bentuk penyelesaiannya saja," katanya. Seorang tokoh generasi muda NU lainnya menambahkan, "Kami sekarang tahu siapa sebenarnya yang membikin NU, dan kemudian memanfaatkan perpecahan itu. Kesadaran itu baru muncul setelah berakhirnya muktamar PPP bulan lalu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus