SEKITAR dua ratus peserta wanita, dan enam pria, pada Seminar-Loka Karya Kowani di Jakarta, pekan lalu, terdiam tatkala seorang wanita berkulit hitam dengan rok yang sederhana tampil ke podium. "Nama saya Gemi," katanya memperkenalkan diri. Dua buah gigi emasnya menyembul waktu ia tersenyum. Lalu ibu tiga anak yang berusia 31 tahun itu bercerita seputar kehidupannya di Desa Loram Wetan, Kecamatan Jati, Kudus, Jawa Tengah. Ia memulai harinya pada pukul 03.30 dengan menyiapkan makan pagi buat seisi rumah. Dua jam kemudian ia berangkat ke tempat kerjanya, pabrik rokok Jarum, sebagai buruh borongan. Tugasnya memasukkan rokok ke pembungkusnya. Setiap selesai 1.000 batang, Gemi memperoleh Rp 800. "Saya masih buruh borongan. Semua stap, pria. Tidak ada stap yang perempuan," katanya polos. Ia merasa statusnya tidak naik karena dia perempuan, meski kerja dari pukul 6.00-14.00 ini sudah dilakukannya selama empat tahun. Jumlah upahnya membuat Gemi selalu melewatkan jam istirahat tanpa makan siang. "Nanti kurang untuk belanja wong ndak ada sisa," katanya. Selain itu pabrik memang melarang pegawainya membawa bekal dari rumah. Pulang kerja, Gemi mampir ke pasar, sebelum menjemput anak terkecilnya yang dititipkan ke tetangga. Malam hari, sebelum tidur, Gemi mencuci pakaian. Maka, Gemi pun mengimbau, "Supaya kalau tidak bisa bekerja karena sakit kami bisa mendapat upah agar hari itu dapat membeli makan. Supaya anak-anak dari buruh borongan kalau sakit bisa mendapatkan jaminan kesehatan. Supaya Kowani dapat memperjuangkan hak-hak buruh untuk melinduni para buruh borongan." Begitu pinta Gemi yang bersekolah sampai kelas IV SD dan bersuamikan seorang buruh tani musiman. Suara Gemi seperti juga ratapan Ny. Djuari, istri seorang nelayan dari Kabupaten Sampang, Madura. Dengan menjual getuk singkong, ia bisa memperoleh Rp 250 sehari, itu pun kalau ada singkong. Pada musim paceklik, suaminya cuma bisa memperoleh Rp 300 sehari. Untuk menambah penghasilannya, Ny Djuari mengumpulkan rum put laut. "Apakah Ibu ingir anak Ibu menjadi nelayan juga?" tanya seorang peserta pada ibu yang berputra delapan orang itu. "Kalau kepingin, maunya anak saya jadi insinyur. Mohon bantuan," jawabnya, yang disambut tepuk tangan hadirin. Gemi dan Ny. Djuari, bersama beberapa wanita lain (kepala desa, nelayan, petani, dan pengusaha), sengaja diundang dan berbicara pada seminar-loka karya yang bertema: "Strategi dan Prioritas Program Peningkatan Peranan Wanita Menyongsong Tahun 2000". Ketua umum Kowani, Ny. Sulasikin Murpratomo, mengatakan bahwa seminar ini diadakan untuk mengidentifikasikan dan membahas permasalahan pokok mengenai "Wanita dalam Pembangunan". Berdasarkan itu, akan disusun rumusan strategi dan prioritas program peningkatan peranan wanita menyongsong tahun 2000. Ada 13 makalah yang dibicarakan dalam seminar yang dibuka Ny. Tien Soeharto itu. Selama lima hari, operation room Departemen Tenaga Kerja, yang dipakai tempat seminar, dipenuhi wanita setengah baya, wakil dari 55 organisasi anggota Kowani. Beralihnya peran organisasi wamta dan kemandlriannya banyak disorot dalam seminar itu. Misalnya unek-unek Ny. Sulaiman, wakil Dharma Wanita, dalam jumpa muka dengan ketua Bappenas Sumarlin. "Dulu, 50 tahun lalu, ibu saya dapat melakukan peran gandanya di masyarakat, tanpa tekanan dari bossnya Bapak. Tapi saya lihat, kecenderungan sekarang wanita diharuskan melakukan hal-hal lain yang mendukung pekerjaan suami. Dia harus melakukan itu karena disuruh boss-nya Bapak. Mungkin, suami sudah menganggap istri adalah mitra yang sejajar. Tapi birokrasi dan situasi kemasyarakatan sekarang ini kok rasanya lebih jelek dari aman ibu saya," katanya. Sumarlin, sambil tersenyum, "membalas". Ia menyebut beberapa contoh. "Ada Ibu pejabat ikut mengaturkeuangan kantor, ada yang ikut memerintah para anak buah suaminya, bahkan ada karyawati yang menjadi ajudan Ibu pejabat." Peranan orgamsasi wanita dibicarakan banyak peserta. Erna Witoelar, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, misalnya, mengatakan, "Organisasi wanita kita terlalu sarat beban program. Sentralisasi gerak semacam itu membuat organisasi wanita kurang efektif, kurang spontan, dan menjadikan orang makin tak acuh," katanya. Loekman Soetrisno, dari UGM, menyorot kelemahan organisasi wanita. Walau dana dan fasilitas didukung pemerintah, program dalam pelaksanaannya sering dikaitkan dengan keinginan pejabat setempat, dan istri pejabat tersebut melaksanakan program yang digariskan suami. Selain itu, "Program sering tidak relevan untuk wanita pedesaan yang miskin, karena ditujukan pada program natzon building, yang berguna bagi status dan gengsi wanita yang kaya saja di pedesaan." Loekman juga menilai, organisasi wanita terlalu mengikuti struktur yang birokratis dengan hirarki yang ketat, membuat citra peranan ganda wanita via organisasi wanita artificial. Organisasi wanita terikat pada kedudukan suami, dan tidak melihat wanita sebagai suatu pribadi manusia dengan potensi tersendiri. Kritik Loekman, seperti kritik Ny. Sulaiman dan Sumarlin, tampaknya senada: sayang belum ada tanggapan dari organisasi wanita di kalangan aparat pemerintah, Dharma Wanita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini