MENANG besar dalam suatu pemilihan, ternyata, tidak menjamin pemenang bebas dari protes. Hal itu setidaknya dialami oleh Bupati Aceh Tenggara, T. Iskandar, yang merebut 15 dari 20 suara DPRD dalam pemilihan bupati 6 Agustus lalu. Protes yang muncul dari pemuka-pemuka setempat, tidak hanya ditujukan pada Gubernur Aceh saja, tapi juga sampai ke tingkat Wakil Presiden, dan para menteri. Bahkan ibu-ibu yang tergabung dalam Dharma Wanita Aceh Tenggara juga mengajukan protes melalui Dharma Wanita Pusat. Dari 10 surat protes yang telah dilayangkan dari daerah ini ke Jakarta, sejak rencana pencalonan awal Juli, ada empat surat yang cukup keras. Antara lain protes dari T.H. Datuk Pinding, salah seorang ulama Golkar, kepada Wapres, Menpan, Ketua Opstibpus, Mendagri, Sesdalopbang, hingga Ketua DPRD Tk. II Aceh Tenggara. Isinya jelas menolak kehadiran Iskandar sebagai bupati. Tidak hanya peran politik Iskandar yang diserang Pinding, tapi juga pribadi Iskandar. Dalam suratnya Pinding menyebutkan, sebagal salah seorang keturunan bangsawan Agara, Iskandar akan bersikap feodal dalam memimpin pemerintahannya. Juga Pinding menyebutkan Iskandar adalah bekas tokoh PNI-Asu yang memenangkan pemilihan dengan cara menyogok Golkar Pusat dan Daerah sebanyak Rp 300 juta. Dari uang sebanyak itu, konon kata Pinding, Iskandar menyogok 19 pemilihnya yang menjadi Anggota DPRD Aceh Tenggara masing-masing Rp 2 juta. Tapi yang lebih tajam, Pinding juga meragukan keaslian SK Pengangkatan yang ditandatangani oleh Mendagri ad interim, Sudharmono, karena tidak menggunakan Cap Jabatan. Dari semua tuduhan itu, tampaknya, yang digunakan sebagai ujung tombak oleh Pinding adalah tuduhannya yang menyebutkan Iskandar bukan anggota Golkar. "Iskandar itu, 'kan dicalonkan oleh PDI untuk jadi bupati, apa-apaan itu," ujar Pinding. Tuduhan tajam pada Iskandar dengan cepat menjadi pembicaraan umum di Kotacane, ibu kota kabupaten. Apalagi ketika Iskandar dilantik, Gubernur Hadi Thayeb mencarter helikopter Pertamina. Dan itu diisukan sebagai salah satu jenis sogokan pada Gubernur. Akhirnya, bukan hanya Pinding yang menyesali terpilihnya Iskandar, tapi juga para pemilihnya di DPRD. Seperti yang dikemukakan Rahim Latif, Ketua F-KP Agara, "Kami memilih Iskandar bukan karena janji duit, tapi dipaksa oleh induk organisasi kami," kilahnya. Rahim, plus beberapa orang yang menamakan dirinya sebagai tokoh petani, sesepuh, dan cendekiawan Aceh Tenggara juga mengikuti jejak Pinding, dengan mengirimkan surat protes pada alamat yang sama. Pada Desember tahun lalu, FKP Aceh Tenggara telah mengajukan empat calon bupati kepada Ketua DPD Golkar Tingkat I Aceh. Dan dari empat calon tersebut, Gubernur setuju untuk memilih calon utama, yakni Ketua DPD Golkar Aceh Tenggara Kolonel (pur) Syahadat, yang juga bupati daerah itu pada periode 1974-1980. Tapi belakangan, pada Februari, secara resmi DPRD Aceh Tenggara malah mengirimkan tujuh nama calon untuk dipilih. Artinya DPRD telah menambah tiga calon lain, yang di antaranya adalah T. Iskandar itu. Gubernur mendukung calon baru itu. "Iskandar sudah mendapat restu Mendagri," ujar Gubernur Hadi Thayeb ketika itu. Iskandar sendiri membantah kalau disebutkan sebagai calon dari PDI. Ia memberikan bukti adanya pernyataan yang ditulisnya di atas meterai Rp 500, bahwa ia mau dicalonkan sebagai bupati asal diajukan Golkar. "Juga tidak benar saya menyogok Rp 2 juta pada setiap anggota DPRD," tambahnya. Ia membantah, tuduhan sebagai bekas tokoh PNI-Asu. "Saya salah seorang pendiri MKGR Aceh, saya Golkar asli," katanya. Fraksi PDI Aceh Tenggara bersuara lain. Seperti kata Usman Sekedang, yang mula mula mencalonkan Iskandar. "Ini baru namanya perjuangan, belum pernah calon Parpol bisa menang jadi bupati," ujarnya. Menurut Usman, ia sengaja mencalonkan Iskandar, "Karena ia orang baik, artinya orang kaya yang mau miskin karena kembali ke daerahnya." Buktinya, sebelum menjadi bupati, Iskandar adalah Kepala Cabang Pertamina Banten, yang berpenghasilan tidak sedikit. Pihak Depdagri tentu saja membantah semua tuduhan terhadap Iskandar. Seperti dikemukakan juru bicaranya, Feisal Tamin. Menurut Feisal, terpilihnya Iskandar sudah memenuhi prosedur perundang-undangan yang berlaku. "Soal PDI lalu mendukung Iskandar, itu tidak berarti ia berasal dari sana," ujarnya. Begitu juga pendapat yang dikemukakan Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Tojiman S. "Pengangkatan Iskandar secara konstitusional sudah mantap, dan bila ada suara-suara sumbang itu biasa," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini