INI orang ketiga, dalam kaitan peristiwa Cicendo, Bandung, yang dieksekusi mati. Itulah yang menimpa Maman Kusmayadi, setelah Imran dan Salman Hafidz. Eksekusi atas Maman itu terjadi 12 September lalu. Imran bin Muhammad Zein dihukum mati lebih dulu. Ia inilah yang dinyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai otak pembajakan pesawat Woyla, serta Peristiwa Cicendo. Adapun Salman dan Maman adalah anggota jamaah Imran, yang turut serta dalam penyerbuan Cicendo. Peristiwa Cicendo pecah setengah jam lewat tengah malam 11 Maret 1981. Pada pukul 00.30, tiba-tiba saja kantor Kosekta 65 Bandung diserbu oleh 14 anggota jamaah Imran. Penyerbu ini datang dengan sebuah truk, yang dipimpin Salman Hafidz. Kala itu, hanya ada empat orang polisi yang berjaga. Yakni, Sertu Suhendrik, Bhatatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan kornandan jaga Serka Suryana. Tiga orang anggota jamaah Imran itu turun dari truk, lantas berpura-pura menanyakan salah seorang anggota jamaah, yang ditahan. Dan, tanpa disangka, begitu dekat dengan sang polisi, mereka menodongkan senjata api Garrand. Inilah salah satu senjata yang kemudian diketahui, hasil curian salah seorang anggota jamaah Imran, sebulan sebelumnya, dari Pusat Pendidikan Perhubungan AD, Cimahi, Bandung. Menghadapi sergapan tak terduga itu, keempat polisi itu, memang, tak berdaya. Keempatnya kemudian digiring ke dalam sel tahanan yang terletak di belakang kantor. Begitulah, dengan mudah, anggota jamaah Imran itu lantas membebaskan empat tahanan di situ. Dan, atas perintah Salman Hafidz, Maman Kusmayadi lantas memberondong keempat polisi itu. Tiga orang seketika tewas, dan seorang, luka berat. Tapi mereka tak berhenti hingga di situ. Para penyerbu itu pun lantas mengobrak abrik pos polisi itu. Arsipi: yang mereka temukan dibakar. Mereka lantas melarikan antara lain dua pistol kaliber 38. Setelah mereka tertangkap, diketahuilah bahwa otak pelaku itu adalah Imran. Inilah dalang pembajakan pesawat Woyla, pada akhir Maret 1981. Anak Medan inilah yang menyuruh Salman, untuk mencari senjata dalam waktu dua minggu. Imran sen'diri telah dieksekusi mati akhir Maret 1983. Dan awal Februari dua tahun kemudian, menyusul Salman mengalami nasib serupa. Akan halnya Maman Kusmayadi, disidangkan sejak Desember 1982. Adalah Salman sendiri yan menyebut-nyebut bahwa Maman-lah yang membunuh tiga polisi di Kosekta Cicendo itu. Tapi Maman selalu membantah tuduhan itu. "Ia hanya menodongkan telunjuk tangan yang terbungkus kain handuk," kata Nawawi, pembela yang mendampingi Maman. Tap hakim kemudian menghukum Maman, mati. Hukuman ini tak berubah baik di tingkat banding maupun kasasi. Bahkan permintaan grasi pun ditolak Mei silam. Sejak itu, Maman, 28, menurut suatu sumber, mulai pasrah akan akhir hidupnya. Lelaki berkulit putih dengan tinggi sedang, dan berambut ikal, itu mulai rajin bersembahyang. Ia pun rutin berpuasa Senin-Kamis. Pada 8 September silam, setelah ditahan di LP I Cirebon sejak 1984, ia dipindahkan ke LP Sukamiskin, Bandung. Dari penjara inilah, empat hari kemudian, ia dibawa ke suatu tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu -- untuk dieksekusi. Maman, menurut suatu sumber, sangat pasrah. "Banyak cara untuk mati," katanya pada keluarganya, yang datang menjenguk, sebelum masa eksekusi. "Ada yang tertabrak, ada yang karena usia, atau malah dibunuh." Sebetulnya, ia masih ingin dijenguk ibunya, yang kini tinggal di Jambi. Tapi, sang Ibu tak bisa datang, dan hanya diwakili oleh famili yang lain. Maman selama ini diketahui belum menikah. Tapi, ia toh menyimpan sepucuk surat. "Menilik tulisannya, surat itu dari seorang anak," demikian komentar sumber TEMPO. Isinya, sebuah permintaan maaf, karena tak bisa datang menjenguk di penjara. "Sebab, saya suka mabuk dalam perjalanan," bunyi surat, yang ditemukan terlipat pada halaman Quran milik Maman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini