Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyabit sebelum panen

Para petani di Lombok protes padinya dibabat sebelum panen. Instruksi penyeragaman pola tanam tidak dilakukan secara konsekuen. gubernur akan membantu memasarkan palawija petani. (nas)

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAHAN tak selalu terucapkan. Corat-coret bisa tak mengenal tempat. Dan, inilah yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang Ahad lalu dirapatkan Gubernur dan para kepala dinas. Satu pamflet terpasang di pintu ruang Camat Sembalia, Lombok Timur. Selembar lainnya di kantor desa setempat, entah siapa yang menulis. "Jika pemerintah terus melakukan perusakan terhadap padi para petani, maka petani tidak akan memilih Golkar pada pemilihan umum yang akan datang ... Nada geram telah dimunculkan lewat tulisan dengan spidol berbagai warna. Satu sikap telah ditunjukkan dengan cara ini, dan beberapa cara lain, mewakili kegusaran para petani setempat selama tiga bulan terakhir. Mereka mengeluh: mengapa padinya harus dibabat? Mengapa ia tak boleh memanen sawahnya untuk bisa menghidupi keluarga dan membayar utang? Mereka melampiaskan kekesalan pada kegiatan berpuluh aparat desa, kecamatan, Rolsek, koramil, yang melaksanakan tugas: membabat padi. Tanpa mempedulikan apakah padi baru ditanam atau bulir-bulirnya telah terangkai di malai. Hampir tak satu desa pun yang luput dari sabit para petugas, mulai dari Ampenan di ujung barat pulau hingga Sembalia di timur. Instruksi Gubernur nomor 7 tahun 1985 tentang pola tanam telah dilaksanakan sungguh-sungguh. "Kalau kami punya salah, kami mohon maaf. Tapi jangan padi kami yang dirusakkan," seru H. Abdurrachim, 50, warga Desa Pejarakan, Ampenan. Ny. Remin, 38, ibu lima anak, tak kalah seru menyahut. "Dipenjarakan pun kami mau, asal jangan padi kami dirusakkan." Jangan heran bila Abdurrachim lalu tampak seperti linglung, dan terus berlarian ke sana kemari sambil mengacungkan parang, melihat 1,2 hektar padinya yang belumur dua bulan dibabat. Padahal, ia telah keluar modal Rp 200 ribu, belum termasuk sewa sawah yang rencananya bakal dibayar dengan padi. Sedang Ny. Remin memilih berguling-guling di sawah sambil meraung keras, sebagai protes. Dulu petani bisa menanam padi kapan pun yang ia mau, dan mampu, tapi kini dengan instruksi Gubernur itu terbatasi dengan waktu-waktu yang telah ditentukan. Yang diizinkan pada masa-masa itu hanya palawija. Tindakan ini tentu saja bukan tanpa tujuan. Pola tanam yang diseragamkan ini antara lain untuk menyuburkan tanah, dengan tidak menanam tanaman sejenis bisa memutuskan siklus serangan hama, dan ini ada hubungannya dengan pemerataan pembagian air. Mestinya petani tahu ini. Atau pura-pura tidak tahu, seperti yang mengatakan "saya kira peraturan itu hanya berlaku tahun lalu saja." Ada juga yang memang tidak tahu. Namun, di Kabupaten Lombok Timur saja tercatat masih sekitar 208 hektar yang tak memenuhi aturan tadi. Dari jumlah itu, menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan setempat, ternyata hanya 32 hektar yang dibabat. Yang lain boleh bcrsyukur bahwa padinya bisa dipanen. Beberapa petani membandel terhadap aturan itu lantaran tidak biasa bercocok tanam palawija, dan khawatir tidak bisa memasarkannya. Dan beberapa lagi mengeluh: tidak ada petugas penyuluhan yang memberi tahu itu sebelumnya. Namun, Gubernur Gatot Soeherman menangkisnya dengan menjelaskan bahwa pemerintah akan membantu memasarkan produksi palawija petani, dan tenaga penyuluh memang kurang. Gatot juga membantah penerapan pola tanam itu untuk menyetop produksi padi yang terus melimpah. Di lingkungan alam Nusa Tenggara yang tidak bersahabat, menurut Gubernur, pengaturan pola tanam mutlak. Bahwa banyak orang protes, disebut Gubernur bukan soal aneh. "Namanya saja peraturan baru, dan untuk pertama kali lagi. Kalau ada orang yang kecewa karenanya, itu memang pasti terjadi. Tapi, saya ini menyelamatkan orang banyak." Niat gubernur jelas tak buruk. Namun yang jadi soal pembabatan itu tak dilakukan secara konsekuen. Seperti yang dikatakan Siman dari desa Pejarakan, pengrusakan yang terjadi di desanya tidak adil. "Di subak kami dirusak, tapi di subak yang lain yang berdekatan dengan kami, nyatanya dibiarkan," katanya. Zaim Uchrowi, Laporan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus