DUBES AS Robert L. Barry, pengganti John Monjo, akan tiba di Jakarta akhir pekan ini. Berlainan dengan Monjo, diplomat karier Barry, 57 tahun, adalah pendatang baru dan belum punya teman di Indonesia. Dia dikenal sebagai ahli kawasan Eropa Timur. Pernah jadi duta besar di Bulgaria (1981-1984), Barry lalu jadi utusan AS urusan perlucutan senjata (1985-1987), kemudian wakil direktur Radio Voice of America (1987-1989). Sebelum ke Jakarta, Barry adalah Asisten Khusus Wakil Menlu urusan bantuan ke Eropa Timur. Barry dan istrinya, Peggy, menerima Amran Nasution dan Bambang Harymurti dari TEMPO di rumahnya di kawasan nyaman Chevy Chase, Washington DC, akhir bulan lalu. Berikut petikan wawancara itu: Bagaimana ceritanya sampai Anda ditugaskan ke Jakarta? Well, saya memang menanyakan kemungkinan ditugaskan ke Indonesia. Soalnya, banyak pihak mengatakan kepada saya tentang bagaimana pentingnya Indonesia dan kawasan Asia. Bagaimana relevansi pengalaman Anda di Eropa Timur dan penugasan Anda ke Indonesia? Tiga tahun terakhir ini saya secara serius mempelajari bagaimana caranya agar membuat kegiatan perekonomian sebuah negara jadi kian dinamis. Mungkin, dalam hal ini, Indonesia bisa jadi contoh bagi Eropa Timur. Terutama karena sukses kalian dalam tiga empat tahun belakangan ini di bidang ekonomi dengan tindakan deregulasi dan kebijakan lainnya. Jadi tugas Anda nanti akan banyak menyangkut soal ekonomi? Bank Dunia meramalkan GNP per kapita Indonesia akan berlipat dua dalam tujuh atau delapan tahun lagi. Ini berarti pertumbuhan pasar domestik yang cepat di Indonesia. Terbuka peluang besar bagi PMA, terutama di bidang prasarana dan perdagangan. Misalnya? Investasi kami banyak di bidang telekomunikasi, pembangkit listrik dan halhal seperti itu. Minyak dan gas jelas bidang yang amat penting. Di bidang perdagangan, saya kira sektor jasa akan kian penting. Kami dapat membantu di bidang ini dengan kian canggihnya dunia industri di Indonesia. Apalagi jika pertemuan Uruguay (GATT) gagal dan perdagangan dengan Eropa jadi makin sulit dan harus diimbangi dengan perbaikan hubungan perdagangan dengan Asia Tenggara atau Pacific Rim. Memang kegagalan pertemuan Uruguay tak mesti berarti ketiga blok ekonomi hanya akan berdagang dalam bloknya masing-masing. Saya kira perdagangan antara Asia dan Amerika relatif akan lebih bertambah dibandingkan dengan Eropa. Jangan lupa, mitra dagang Masarakat Eropa yang paling besar adalah di antara mereka sendiri. Kongres (semacam DPR di AS Red.) baru saja meloloskan RUU Bantuan Luar Negeri yang memangkas program IMET (International Military Education & Training) bagi Indonesia. Apakah Presiden Bush akan memvetonya? Masih terlalu dini untuk memperkirakan itu. Tapi saya bukan orang yang tepat untuk mengomentarinya. RUU versi Senat belum disusun. Jika Anda memperhatikan apa yang terjadi dua tahun ini, kami memang tak punya UU Bantuan Luar Negeri, karena Senat dan Kongres tak mencapai kata mufakat. Tahun 1992 kami tak punya UU Bantuan Luar Negeri, karena itu yang berlangsung adalah UU tahun sebelumnya. Jadi masih belum jelas apakah tahun 1993 ini akan ada UU Bantuan Luar Negeri baru. Pendapat Anda tentang program IMET? Boleh dikatakan program ini mempunyai peran dalam pendidikan beberapa generasi pimpinan militer Indonesia, terutama dalam menambah perspektif yang tak mereka dapatkan jika mereka tidak pernah mengikuti pendidikan di Amerika. Belum lagi persahabatan yang tumbuh dari program ini. George Benson ( kolonel purnawirawan yang dulu pernah menjabat atase militer AS di Indonesia Red.) adalah salah satu contoh yang banyak mengenal pejabat tinggi militer Indonesia. Jadi, saya pikir ini adalah program yang terbukti bermanfaat bagi kedua pihak. Akan banyakkah masalah dari Kongres AS selama masa tugas Anda di Indonesia? Saya kira itu sangat bergantung pada apa yang terjadi di Indonesia dalam dua tiga tahun mendatang. Jelas terdapat peningkatan kepekaan terhadap soal hak asasi manusia di Kongres. Bukan hanya ditujukan kepada Indonesia, melainkan ke seluruh dunia. Saya kira orang di sini mulai tahu bahwa peristiwa di TimTim tahun lalu bukan kebijakan pemerintah (Indonesia). Tapi bicara soal bantuan luar negeri memang tak pernah merupakan topik yang populer di AS. Memang jumlah bantuan yang kami berikan kepada Indonesia tidak besar, tapi jika persoalan hak asasi manusia terus muncul tentu akan timbul masalah dalam Kongres. Komunisme sudah runtuh. Apakah Indonesia masih penting di mata AS? Secara geopolitik, runtuhnya Uni Soviet dan transformasi Eropa Timur memang meruntuhkan ancaman strategis komunis terhadap dunia, terutama di Asia dan Eropa. Tapi jelas masih banyak isu yang secara geopolitik masih memprihatinkan. Rusia toh masih merupakan kekuatan strategis. Apa saja yang sudah Anda baca tentang Indonesia? Saya sudah belajar dasar-dasar bahasa Indonesia di Foreign Service Institute. Beberapa karya ahli Indonesia, seperti Bill Liddle dan Don Emmerson, sudah saya baca. Saya juga sudah berbicara dengan Paul Wolfowitz, Ed Masters, dan para pejabat AS yang lain yang pernah bertugas sebagai duta besar di Indonesia. Juga mereka yang pernah bekerja di sektor migas di Indonesia. Kami mendengar bahwa anda sangat aktif dalam upaya peningkatan keselamatan di kapal nelayan. Benar. Itu setelah seorang anak lelaki kami meninggal karena kapal nelayan yang ditumpanginya tenggelam di musim panas tahun 1985 di Alaska. Sesudah peristiwa itu kami aktif terlibat dalam upaya peningkatan keselamatan di kapal nelayan. Peggy sangat aktif dalam kegiatan ini di Kongres, yang menelurkan beberapa undang-undang mengenai keselamatan di kapal nelayan. Ia menjadi anggota dewan penasihat dalam masalah ini, dan berniat terlibat dalam kegiatan yang sama di Indonesia. Dan putra anda yang lain? Yang laki-laki kini mengajar bahasa Inggris, setelah lulus dari Boston University lima tahun silam. Adiknya masih mahasiswi di Universitas Yale, mengambil jurusan jurnalistik, dan kini salah seorang redaktur Yale Daily News. Banyak yang akan anda bawa ke Indonesia? Oh, tidak. Kami akan membawa dua kucing: Marvin dan Zeke, beberapa lukisan dan sedikit barang-barang pribadi kami. Kembali ke soal politik, apakah anda akan aktif dalam soal Kampuchea sekarang? Menteri Luar Negeri anda sangat aktif dan sangat efektif dalam mengurusi masalah Kampuchea. Dan hal tersebut akan merupakan salah satu soal yang menjadi bahan pembicaraan kami. Secara diplomatik, sikap kami tentang Kampuchea adalah mendukung sikap ASEAN. Bagaimana sikap AS terhadap gerakan Nonblok? Kami tidak melihat alasan untuk beranggapan pertemuan Nonblok tidak akan bersifat konstruktif, terutama Indonesia sebagai pimpinannya. Saya kira jelas akan ada pertanyaan tentang arah apa yang akan diambil pada masa depan, karena era blok kanan dan kiri sudah tidak ada lagi. Kami memperkirakan Indonesia akan mengambil alih pimpinan dari Yugoslavia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini