Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Seandainya Khomeini membaca ...

Indonesia th 1968 diguncang tulisan "langit makin mendung", menyebabkan HB. Jasin pemred majalah sastra yang memuat cerita tersebut diajukan ke pengadilan. th 1926 dihebohkan oleh serat darmogandul & gatoloco.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT Islam di Indonesia juga pernah protes terhadap karya fiksi yang dinilai menghina agama. Itu terjadi pada 1968. Karya itu, sebuah cerita pendek sepanjang enam halaman di majalah bulanan sastra, Agustus 1968. Judulnya Langit Makin Mendung, karangan Kipanjikusmin. Akibat pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah itu, Kritikus H.B. Jassin, kini 70 tahun, pada Februari 1970 diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dituduh menafsirkan agama secara menyimpang. Jassin, yang menggunakan hak tolak alias hak ingkar, melindungi nama penulis aslinya -- yang hingga kini pun belum ketahuan siapa sebenarnya. Ia mengambil alih tanggung jawab pengarang yang baru dua kali mengirimkan cerita pendek itu. Perdebatan dalam sidang sangat menarik. Jaksa menganggap cerpen sebagai fakta historis, sementara tertuduh menilainya sebagai karya imajinasi. "Yang saudara adili di sini bukanlah H.B. Jassin, bukan Kipanjikusmin, bukan Langit Makin Mendung, tapi imajinasi," kata Jassin dalam pembelaannya. Namun, akhirnya ia dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Permintaan maaf Kipanjikusmin berikut pencabutan cerpennya tak mempengaruhi keputusan majelis hakim. Jassin naik banding, tapi sampai 1986 -- ketika biografinya Antara Imajinasi dan Hukum, terbit -- belum ada kabar dari Pengadilan Tinggi Jakarta. Heboh itu bermula ketika Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara melarang peredaran Sastra yang memuat cerpen itu atas desakan alim ulama. 20 seniman Jakarta yang menganggap pelarangan itu sebagai "ancaman terhadap kebebasan mencipta" segera memprotesnya. Belakangan Kejaksaan tinggi provinsi lain ikut pula melarang peredaran Sastra. Adapun cerpen itu sendiri menggambarkan kemelut politik dan keadaan masyarakat Indonesia waktu itu. Pengarangnya dengan terang-terangan menyebut nama dan istilah yang sangat dikenal pada waktu itu: Kosygin, Mao, Sukarno, Aidit, Nasution, Nasakom, ganyang Malaysia. Boleh dikata cerita itu tampaknya memang bermaksud mengkritik Orde Lama. Bahkan juga keadaan umat Islam saat itu, juga beberapa kiai, yang digambarkan "kerancuan Nasakom ciptaan nabi palsu PBR". Untuk itu, Kipanjikusmin "meminjam" Nabi Muhammad yang mohon izin kepada Tuhan cuti ke bumi untuk riset, karena "akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga". Nah, penggambaran Nabi turun ke bumi, bahkan penggambaran Tuhan inilah, yang dinilai menghina. Diceritakan, mereka "bosan dengan status pensiunan nabi di surga loka", lalu menyusun petisi agar "diberi cuti bergilir turba ke bumi". Turba, turun ke bawah, istilah PKI ketika itu, artinya berbaur dengan rakyat. Dan Tuhan, yang mengenakan "kaca mata model kuno dari emas", setelah membaca petisi," terpaksa menggeleng-gelengkan kepala". Dan akhirnya mengabulkan Nabi turun ke bumi. Dan itu ternyata Jakarta, yang oleh Malaikat Jibril, pengawalnya disebut "ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh, tapi ngakunya sudah bebas buta huruf". Nabi juga digambarkan menyaksikan pelacuran di kawasan yang dulu disebut Planet Senen, yang kini jadi pusat pertokoan dan Gelanggang Remaja. Jauh sebelumnya, pernah pula umat Islam protes terhadap karya fiksi dalam bahasa Jawa. Beberapa ahli sudah lupa kapan dan di mana. Tapi konon sekitar 1926, ada rapat akbar di Bandung memprotes Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco yang ditulis dalan bentuk sekar alias puisi Jawa. Siapa pengarangnya? Sampai kini tak jelas. Menurut Moh. Hari Soewarno dalam serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco tentang Islam, pengarangnya Ronggowarsito (1802-1873), sastrawan Keraton Surakarta. Tapi menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi dalam Islam dan Kebatinan, penulis kedua karya itu Pangeran Suryonegoro, Putra Hamengku Buwono VII. Sedang menurut Prof. Dr. Zoedmoelder, ahli budaya dan sastra Jawa Kuno, Gatoloco merupakan kumpulan karangan R.M. Soewandi, Solo, yang pada 1931 diterbitkan Stoomdruk L.L. Djwan, Blitar. Penerbit Sadubudi, Solo, juga pernah menerbitkannya berdasarkan manuskrip milik R.M.H. Suryanigrat. Darmogandul cetakan kedua, 1954, diterbitkan Tan Koen Swie, Kediri. Isinya tentang tersiarnya Islam di Jawa, jatuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Dalam masa transisi itulah muncul perbenturan nilai, sementara persepsi mengenai Islam belum dipahami. Sebagian besar berupa kritik, lebih tepat ejekan, terhadap Islam. Mukammad, misalnya -- yang dahulu kala, dalam lidah Jawa diucapkan "Mokamat" -- diartikan sebagai "makam" atau "kuburan". Sedangkan Rasulullah diartikan "rasa yang salah". Hal itu barangkali juga lantaran lidah Jawa yang belum fasih itu. Adapun Gatoloco memuat diskusi mengenai ilmu tasawuf Islam, khususnya soal sarengat (syari'at) dan hakikat (haqiqah). Disebutkan, misalnya, babi dan anjing hasil pembelian itu lebih halal ketimbang kambing hasil curian. Wah, bayangkan kalu Khomeini membaca Langit Makin Mendung, apalagi Darmogandul dan Gatoloco ....Budiman S. Hartoyo (Jakarta) dan Slamet Subagyo (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum