BELUM pernah, dalam sejarah, sebuah buku menimbulkan onar sedunia seperti The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) yang ditulis Salman Rushdie. Orang Islam yang sudah membacanya tersinggung. Juga orang Islam yang belum membacanya. Menurut orang yang sudah membacanya kepada orang yang belum:novel itu menghina Nabi Muhammad. Maka, murkalah Ayatollah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran itu. Pembikin cerita seperti itu harus dihukum mati, katanya Selasa pekan lalu. Dan ia menjanjikan hadiah US$ 2,6 juta kepada siapa saja "termasuk orang yang bukan muslim" yang bisa membunuh Salman Rushdie. Tersebut belakangan itulah si penulis novel tentang dua bintang film itu -- tokoh utama dalam novel tersebut. Sejak itu Salman Rushdie jadi pengarang yang harga kepalanya sangatlah mahal. Seorang Iran menaikkan hadiah menjadi dua kali lipat, US$ 5,2 juta. Sejak itu Satanic Verses atau Ayat-Ayat Setan, judul novel karya Rushdie itu, menjadi bahan berita dan pembicaraan di hampir seluruh dunia. Sejumlah negara, antara lain Belanda dan Yunani, menangguhkan menerjemahkan Ayat-Ayat Setan. Pemerintah Kanada, Jumat pekan lalu, mempertimbangkan apakah masih perlu mengimpor buku yang pertama kali terbit di Inggris pada akhir September itu (tapi Minggu pekan ini pemerintah memutuskan untuk mengimpor novel itu lagi karena buku itu bukan merupakan "propaganda buruk" dan tak menyalahi undang-undang kriminal). Sebenarnya, dekat setelah diterbitkan oleh penerbit Viking Penguin, London, dan diekspor ke berbagai negara, Ayat-Ayat Setan telah membakar amarah sejumlah orang. Mula-mula berbagai kalangan Islam di Inggris sendiri memprotes diterbitkannya buku itu. Sebagian mereka menyatakan bahwa buku yang menghojat Islam dan nabi Muhammad saw. itu tak pantas bila dibaca di India. Maklumlah, sebagian umat Islam di London adalah imigran dari India, termasuk Salman Rushdie sendiri. Gema protes itu memang sampai ke New Delhi. Setidaknya dua orang anggota parlemen India -- Syed Shahabuddin dan Khurshid Alam Khan -- lalu mengecam buku Rushdie sebagai, "penghinaan luar biasa terhadap Nabi, dan sebuah buku yang secara serius menyinggung perasaan beragama." Pemerintah Rajiv Gandhi rupanya cepat tanggap. Soalnya, belum lama, sekitar tiga tahun lalu, di India terjadi kerusuhan rasial gara-gara sebuah cerita pendek terjemahan yang isinya dianggap menghina Nabi Muhammad saw. Maka, dilarang beredarlah Ayat-Ayat Setan di India sejak 5 Oktober lalu. Menyusul larangan yang sama di Arab Saudi, Pakistan, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Sampai di situ berita tentang Rushdie dan karyanya mulai adem. Kemarahan menyala lagi bukan dari Inggris, tapi Amerika. Pasalnya, penerbit Viking Penguin yang di New York mencetak dan mengedarkan buku itu bulan lalu. Langsung reaksi muncul. Organisasi Induk Masyarakat Islam Amerika Utara mencetak edaran, menunjukkan mengapa novel Salman Rushdie menjadikan umat Islam di seluruh dunia ribut. Dalam penilaian Masyarakat Islam itu, novel tersebut secara kurang ajar menggambarkan Nabi, "sebagai orang yang bejat, kejam terhadap wanita, jahat, yang selama bertahun-tahun hidup dari merampas harta orang." Lalu "sejumlah pelacur di Mekah diberi nama istri-istri Nabi .... Identitas mereka dimirip-miripkan dengan istri-istri Nabi" memang, umat Islam di dunia mana tak akan tersinggung? Gaung protes di Amerika ternyata menyeberang lautan, balik menuju asal mula sumber heboh. Meledak kemarahan orang Islam di Bradford, Inggris, 14 Januari. Sekitar 1.500 orang mengadakan aksi protes membakar Ayat-Ayat Setan. Sementara itu, aksi di Amerika pun makin seru. Pemrotes tak cuma berdemonstrasi, tapi kemudian mengancam toko-toko buku yang memajang Ayat-Ayat Setan. Seorang penelepon gelap mengatakan akan memasang bom di kantor Viking Penguin bila penerbit itu tak segera menarik peredaran buku Rushdie. Efek kemarahan umat itu memang ada. Sejak Rabu pekan lalu tiga jaringan toko buku terbesar di AS yang memiliki lebih dari 2.500 toko buku menarik Ayat-Ayat Setan dari pajangan. Kata Boonie Predd, wakil presiden Waldenbook's, salah satu jaringan toko buku itu, keputusan untuk menarik novel tersebut dari pajangan, "bukanlah menyangkut kemerdekaan berbicara. Ini soal keselamatan karyawan kami." Predd menambahkan bahwa pihaknya bersedia berjuang melawan sensor sampai sejauh apa pun. Tapi bila persoalan menyangkut keselamatan karyawan, "seseorang sekali-sekali mesti melakukan kompromi. Kabarnya, sebelum langkah mundur diambil, cetakan pertama novel ini di Amerika, sebanyak 55.000 buah, telah habis terjual. Lalu api pun memercik sampai ke Pakistan, negeri kedua bagi Salman Rushdie (orangtua pengarang ini kemudian pindah dari India ke Pakistan). Minggu pekan lalu, di Islamabad, massa berdemonstrasi di depan Kedubes Amerika. Terjadilah bentrok dengan polisi yang mencoba menertibkan orang-orang yang mencaci "Amerika anjing" itu. Celaka. Tak cuma gas air mata yang disemprotkan, tapi peluru pun terpaksa didorkan. Lima korban meninggal, sekitar 100 orang dikabarkan luka-luka. Segera pihak kedubes AS membuat pernyataan bahwa tak ada maksud sama sekali pemerintah Amerika mendukung hal-hal yang menghina agama orang Pakistan. Perdana Menteri Benazir Bhutto pun mengkritik aks massa itu digerakkan oleh tujuan politis. Walhasil, demontrasi itu tak sampai membuat hubungan diplomatik AS-Pakistan terganggu. Cuma seorang bekas menteri agama Pakistan, Kausar Niazi, menanggapi pernyataan Nyonya Bhutto sebagal orang yang tak tahu perasaan orang Pakistan terhadap agamanya, yakni Islam. Sebab, perdana menteri itu dibesarkan di London, katanya. Api heboh ini pun menjalar ke India, esoknya, dan mengakibatkan seorang meninggal, puluhan yang lain luka-luka. Bila api tambah berkobar, itulah karena tokoh dunia yang semua gerak dan katanya menjadi bahan berita menarik menambahkan minyak. Sehari setelah kerusuhan di India, Ayatollah Khomeini mengeluarkan pengumuman hukuman mati in absentia kepada novelis India itu. Segera orang Iran berbaris sambil melambai-lambaikan poster bergambar tampang Rushdie dengan tulisan di bawahnya yang maksudnya "orang ini dihukum mati". Aksi protes di Teheran ltak ditujukan ke perwakilan Amerika di Teheran. Ini bukannya karena orang Iran kini jeri terhadap Amerika. Tapi karena Amerika tak punya perwakilan di Iran. Maka, sumpah-serapah di Iran, yang biasanya ditujukan kepada Amerika, hari itu berbelok mencoreng Inggris. Sesudah itu reaksi memang makin keras. Seorang pejabat di departemen luar negeri Pakistan menyatakan akan mengajak negeri-negeri Islam memboikot semua buku terbitan Viking Penguin, bila penerbit ini tak segera menarik Ayat-Ayat Setan. Dan ancaman mati bagi pengarangnya, kata orang Pakistan, jangan dianggap omong kosong. Tahun 1920-an, ketika Pakistan dan India masih satu dan menjadi jajahan Inggris, seorang Hindu yang mengumpulkan kritik terhadap ajaran Islam dan lalu membuat analisa terhadap kritik-kritik itu, membangkitkan amarah umat Islam. Beberapa bulan kemudian seorang tukang kayu menghabisi Raj Pal, nama orang Hindu itu, dengan kapak. Semua itu akhirnya membuat Salman Rushdie, yang kini menyembunyikan diri bersama istrinya, Sabtu pekan lalu, di London meminta maaf "sedalam-dalamnya" bila bukunya telah membuat heboh. Tapi ia memang tak menyatakan menarik novelnya dan peredaran. Perlukah itu? Bagi duta besar Iran untuk Vatikan, permintaan maaf Rushdie bukan apa-apa, karena, "hanya Tuhan yang bisa memaafkan dia." Pun Khomeini tak bergeming dari "keputusan" hukuman matinya. Sebelumnya, ketika Ayat-Ayat Setan dilarang di India, Rushdie menulis surat kepada PM Rajiv Gandhi. Antara lain ia mengatakan bahwa "saya dituduh menulis buku yang secara langsung menghojat Islam. Saya tak melakukan itu, dan saya menolak keras tuduhan tersebut." Ia menjelaskan bahwa bukunya tak berbicara tentang Islam, tapi tentang "Imigran, metamorfosis, pribadi yang terbelah, cinta, kematian, tentang London dan Bombay." Dan bahwa yang dikecam banyak umat sebenarnya "seluruhnya berlangsung dalam mimpi" sang tokoh. Ia menduga keras bahwa para pengritiknya sebenarnya belum membaca novel itu. Sementara itu, mereka yang membela Rushdie -- setidaknya yang balik memprotes atas pelarangan novel Ayat-Ayat Setan -- tak sedikit juga. Dua organisasi pengarang Amerika yang beranggotakan 7.500 penulis, Author Guild dan the Nationale Writers, menulis surat kepada Presiden Bush agar mengutuk Iran yang mengancam jiwa Rushdie. Mereka juga minta agar keamanan pengecer, penjual, dan penerbit novel itu dijaga. Rabu pekan ini dua organisasi itu merencanakan ganti mengadakan demonstrasi membela Rushdie di depan perwakilan Iran untuk PBB di New York. Lalu serikat penerbit dan toko buku AS juga merencanakan memasang iklan di surat kabar The New York Times Rabu pekan ini. Isinya, pembelaan dan pengumuman bahwa novel Ayat-Ayat Setan mulai hari itu sudah bisa dibeli lagi "atas nama semangat kemerdekaan berekspresi". Dua belas negara masyarakat Eropa awal pekan ini memerintahkan duta besarnya di Iran agar mengajukan protes keras kepada Khomeini atas ancamannya kepada Rushdie. Kedua bela negeri ini juga menawarkan perlindungan kepada Rushdie dan istrinya. Seorang penerbit kaya raya, Robert Maxwell, bahkan ganti menyediakan hadiah bagi siapa yang bisa "memperadabkan" Khomeini, agar Ayatollah itu minta maaf karena mengeluarkan ancaman. Hadiah yang disediakan dua kali lipat, lebih dari US$ 10 juta. Memang, seperti dikatakan oleh seorang penulis, karya seni memiliki kekuatan untuk membangkitkan emosi. Film The Last Temptation of Christ itu, misalnya, juga memancing protes dari umat Kristen di banyak negeri, tahun lalu. Maka, terjadilah hal-hal seperti lukisan dibakar, musik dilarang, film disensor. Dan bila, "di mana pun buku dibakar," kata Heinrich Heine, penyair Jerman dari abad ke-19, maka, "akhirnya manusia pun dibakar." Itu mungkin sebabnya bila H.B. Jassin, kritikus sastra Indonesia, kepada majalah Jakarta-Jakarta mengatakan bila sebuah novel, "bisa mengguncangkan masyarakat, masyarakat bisa gontok-gontokan, ya, dilaranglah." Tapi idealnya, novel semacam karya Rushdie itu, kata Jassin, yang sebagai redaktur majalah sastra, pernah membela sebuah cerita pendek, Langit Makin Mendng, yang dimejahijaukan pada 1970, mengatakan juga, "idealnya ya biarlah beredar, biar dibaca pembacanya. Kalau pembaca tak senang, biarlah dibantah lewat jalurnya." Seorang penulis India yang cukup ternama di negerinya, O.V. Vijayan, setuju bila sebuah karya seni mengakibatkan heboh, "lebih baik dilarang," katanya kepada majalah India Today. Tapi, katanya lebih lanjut, sebuah pertanyaan tetap tinggal. Yakni, "apakah kita bukannya merupakan masyarakat yang masih biadab?"Bambang Bujono, P. Nasution (Washington), Toeti Kakiailatu (Vancouver)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini