INI bisa dikatakan kunjungan kerja resmi yang bernada rendah. Buktinya, sambutan terhadap Presiden RI dan Ibu Soeharto, Jumat pekan lalu di Bangkok, tak sarat dengan upacara sebagai laiknya kedatangan seorang kepala negara. Beliau dijemput oleh PM Chatichai Choonhavan beserta sejumlah menterinya. Presiden dan rombongan menginap di Hotel Shangrila yang menghadap Sungai Chaophraya, salah satu titik indah di peta negara Gajah Putih itu. Akhir kunjungan dua hari Presiden RI itu ditutup dengan main golf bersama di padang mewah Pine Hurst, di luar Kota Bangkok. Presiden Soeharto juga diterima oleh Raja Bhumipol Adulyadej di Istana Chitralada. Kata Menlu Alatas kepada TEMPO, kunjungan ini adalah sebagian dari proses pertukaran informasi tentang perkembangan terakhir antara para pemimpin ASEAN. Agenda pembicaraan Soeharto-Chatichai tampak rutin. Masalah bilateral, terutama perdagangan, dibahas agak mendalam. Mereka membahas masalah apa saja yang masih menghambat kelancaran dagang antara kedua negara. Sebagai langkah awal, pihak Bangkok meminta agar Jakarta menimbang kembali persetujuan pajak berganda. Selama ini, pihak Bangkok merasa para eksportirnya dirugikan akibat kebijaksanaan pajak tersebut. Hal lain adalah perikanan. Ini sering juga menimbulkan masalah. Para nelayan dari Muangthai, yang dilengkapi dengan alat-alat modern, tak jarang memasuki perairan Indonesia. "Mereka mempunyai kemampuan, terutama menampung produksi perikanan dari laut kita yang kaya," kata Presiden Soeharto, menjawab para wartawan dalam perjalanan pulang. Maka, kedua kepala pemerintahan bersepakat untuk membentuk Panitia Ekonomi Bersama. Ini pernah diusulkan, lima tahun silam, oleh Prem Tinsulanonda, semasih ia menjabat sebagai PM Muangthai. Peran Panitia tersebut adalah untuk memantau setiap masalah ekonomi yang timbul antara kedua negara. Agaknya, volume perdagangan antara kedua negeri, yang lebih banyak memihak ke Jakarta, telah mendorong pihak Bangkok untuk membentuk panitia tadi. Lihatlah ekspor Indonesia ke Muangthai tahun 1988 yang, menurut KBRI di Bangkok, mencapai US$ 173 juta. Lalu naik menjadi US$ 220 juta pada tahun berikutnya. Barang-barang yang masuk dari Muangthai ke Indonesia mencapai US$ 85 juta pada 1988, kemudian loncat menjadi US$ 209 juta setahun kemudian. Selain kayu, rotan, semen, dan minyak, Muangthai dikabarkan berniat untuk membeli pesawat CN-235 dari Indonesia. Menurut sebuah sumber di Bangkok, angkatan udara Muangthai ingin memperoleh satu skuadron, sedangkan Thai Airways membutuhkan beberapa pesawat CN-235 untuk penerbangan dalam negeri. Tak sampai di situ. Ikan tongkol dari Indonesia pun, yang selama ini mereka impor dari pihak ketiga, ingin mereka beli, tanpa perantara. Sementara itu, Indonesia berjanji akan tetap membeli beras Bangkok yang terkenal itu. Tapi, seperti sudah diduga, topik pembicaraan yang paling banyak merebut perhatian adalah, apa lagi kalau bukan kemelut di Kamboja. Pihak Bangkok tentu bernafsu ingin mendengar sendiri hasil kunjungan empat hari Menlu Ali Alatas di Beijing, sebelum ia terbang ke Bangkok untuk mendampingi Presiden Soeharto. Dan Indonesia, tentu saja, ingin mengetahui lebih jauh langkah apa gerangan yang ingin ditempuh oleh PM Chatichai, setelah pertemuan di Tokyo tentang masalah Kamboja yang gagal itu. "Saya telah bertukar pikiran dengan Menlu Qian Qichen di Beijing maupun dengan Menlu Takayama di Tokyo. Begitu pula harapan saya untuk berbicara dengan Menlu Siddhi Savetsila di Bangkok," kata Alatas. Adalah Indonesia yang, di mata Bangkok, kini dianggap sebagai satu-satunya anggota ASEAN yang bisa melanjutkan upaya mencari perdamaian di Kamboja. Menurut Alatas, ada permintaan dari Tokyo agar konperensi tentang Kamboja (International Conference on Kampuchea) tetap dilanjutkan oleh kedua pemimpinnya: Prancis dan Indonesia. Macetnya Pertemuan Tokyo, rupanya telah mendorong keempat pihak yang bersengketa di Kamboja meminta agar Pemerintah Muangthai menyelenggarakan pertemuan berikut di Bangkok. Tapi PM Chatichai beranggapan bahwa Indonesialah yang lebih layak bertindak sebagai tuan rumah. "PM Chatichai mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar pertemuan itu diadakan di Jakarta," kata juru bicara perdana menteri, Suvit Yodmanee. Presiden Soeharto tak segera menerima ajakan rekannya. Tapi, seperti kata Menlu Alatas, "Kita akan menunggu permintaan resmi dari keempat kelompok Kamboja." Pihak Muangthai jelas mengharap banyak dari Indonesia, yang sebentar lagi akan mencairkan hubungan diplomatik dengan RRC, yang beku selama hampir 25 tahun. Adalah Kraisak Choonhavan, putra Chatichai yang menjabat salah satu penasihat PM Muangthai, berharap agar Indonesia bersama Muangthai bisa membujuk Beijing agar mau menghentikan bantuan senjata kepada Khmer Merah. Choonhavan junior mengakui, akan sulit bagi Muangthai untuk merayu Beijing sendirian. Maka, dengan pencairan hubungan Cina-RI, mungkin Indonesia bisa menjadi pelumas bagi perundingan Kamboja yang sering seret. Tentu saja, itu masih merupakan harapan. Nyatanya, posisi Beijing tidak bergeming. "Beijing tidak menginginkan satu partai mendominasi, tapi toh mereka juga tak ingin Khmer Merah diabaikan," kata Alatas. Menlu RI itu lalu menyatakan, Khmer Merah memang perlu ikut serta dalam setiap perundingan, dan pemerintahan Kamboja jika kelak tercapai perdamaian. Tampaknya, masalah Khmer Merah masih akan merupakan batu pengganjal, terutama bagi Vietnam. Namun, beberapa pengamat berharap, pihak Indonesia yang bisa lebih akrab bicara dengan Vietnam -- akan lebih berperan, setelah hubungan Beijing-Jakarta kembali normal. Apakah Menlu Ali Alatas akan berperan sebagai interlucator antara Menlu Qian Qichen dan Menlu Nguyen Co-Tach, itu yang agaknya ditunggu oleh banyak orang. Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini