Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah laporan perjuangan 40 tahun

Ppi di lingkungan monas. diikuti lebih dari 1300 peserta, mulai dari lembaga pemerintah sampai sektor swasta. disamping untuk promosi juga memperlihatkan hasil yang dicapai selama 40 th merdeka. (nas)

10 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH potret perjuangan 40 tahun dituangkan di lapangan Monas, Jakarta. Dengan dana sekitar Rp 25 miIyar, tersajilah model sawah, kebun teh, peternakan ayam, perkampungan transmigrasi, hingga pesawat terbang buatan Indonesia di lapangan Monas. Inilah yang disebut Pameran Produksi Indonesia (PPI), suatu gambaran apa saja kini yang telah bisa diperbuat oleh bangsa Indonesia sejak meraih kemerdekaannya, 40 tahun lalu. Diharapkan itu semua bisa "mempertebal keyakinan kita bahwa kita memang mempunyai masa depan", demikian sambutan Presiden Soeharto ketika meresmikan pembukaan PPI, Kamis pagi pekan lalu. Pameran yang makan tempat seluas 36 ha ini direncanakan berlangsung sebulan. Pada mulanya adalah gagasan Presiden Soeharto, untuk memamerkan kemampuan produksi kita, tutur Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita. Menteri yang dalam PPI menjadi wakil koordinator, menganggap, "PPI adalah laporan perjuangan setelah merdeka 40 tahun." Tentu tak cuma laporan, bila kegiatan ini diikuti oleh lebih dari 1.300 peserta. Antara lain, sekitar 50 lembaga pemerintah dan 900-an BUMN (badan usaha milik negara ) dan lembaga swasta. Masih ditambah 300-an pengusaha kecil dan koperasi. PPI juga merupakan arena promosi hasil produksi dalam negeri, kata Menteri Perindustrian Hartarto yang menjadi koordinator kegiatan ini. Dan itulah, di sektor pertanian, yang menempati lapangan sisi barat Tugu Monas, cara promosi itu boleh dianggap luar biasa. Lebih dari 18.000 m2 rumput dibabat dijadikan kebun teh hidup lengkap dengan para wanita pemetik tehnya (yang ini bukan orang sungguhan, tapi patung). Lalu ada contoh bagaimana wujud peternakan ayam ayam sungguhan bukan patung. Juga kolam ikan yang dilengkapi dengan kincir angin untuk menambah kadar gas asam. Pihak Departemen Pertanian, yang menguasai lokasi ini, menyediakan anggaran sekitar Rp 1,6 milyar - diambilkan dari APBN dan Siap merupakan anggaran terbesar dari semua departemen yang ambil bagian. Di sektor pertanian inilah, menurut pengamatan wartawan TEMPO, pengunjung paling banyak berjubel. Ada yang mengagumi ikan-ikan emas segede paha orang, ada yang terpesona oleh bunga-bunga anggrek. Tapi tak sedikit yang mengernyitkan dahi. "Kalau sudah selesai pameran kayak apa jadinya lapangan Monas?" tanya seorang pengunjung kepada temannya, Senin malam yang lalu. Demi pameran ini lapangan Monas yang hiJau dan rapi, yang menjadi paru-paru Jakarta Pusat yang penuh gedung tinggi dan panas, untuk sementara kurang berfungsi. Di beberapa tempat tanah digali untuk parit. Atau justru ditimbun menjadi bak sebuah bukit kecil. Lalu jadilah kolam, atau kandang kambing, atau kebun teh. Dan baunya, tentu jauh dari sedap. Tapi memang di sektor ini, paling tidak menurut gubernur DKI Jakarta Soeprapto selaku ketua penyelenggara, telah terjadi transaksi jual-beli hasil bumi senilai Rp 2,5 juta dalam waktu dua hari. Tapi dari sekitar 83.000 m2 kawasan Monas yang ditempati oleh beragam stan dari departemen, adalah kawasan Departemen Perindustrian yang paling luas: hampir 19.000 m2. Dengan anggaran Rp 900 juta pihak Departemen Perindustrian membuka 80-an stan. Dari pameran alat-alat berat semacam mesin pemecah batu, ketel uap, sampai dengan komponen sepeda motor dan sepeda, dan hasil kerajinan tradisional. Dipamerkan pula maket anjungan pengeboran minyak lepas pantai dan maket industri petrokimia. "Barang industri yang kini beredar di pasaran, 70-/O-100% komponennya telah bisa dibikin di dalam negeri," kata Rudi Mangunsong, pejabat Bina Program Departemen Perindustrian. Memang, di pasaran barang produksi sendiri mesti bersaing dengan bikinan luar negeri yang lebih beken dan lebih murah harganya. Misalnya segala jenis pompa. Di bilangan sektor industri kayu dipamerkan produk kayu lapis, mebel, hingga rumah kayu. Agak berbeda dengan pameran perabot rumah tangga dan desain rumah, di PPI juga disajikan contoh berbagai jenis kayu. Di sektor aneka industri dicontohkan dari industri mentega, susu, makanan kaleng sampai tapal gigi, lampu pijar, dan karpet sintetis. Pada stan industri benang, boleh dikatakan, 90% jenis benang yang digunakan industri tekstil kita sudah bisa dibikin sendiri. Beberapa memang masih diimpor. Tapi itu tak berarti belum bisa kita bikin, kata penjaga stan. "Soalnya, lebih menguntungkan kita beli dari luar karena untuk jenis tertentu kebutuhan kita belum besar," kata penjaga itu. Lalu apa yang bisa diperoleh dari semua ini? Sebuah cara promosi dengan gaya show. Boleh dibilang pameran ini pasif sifatnya. Dan tampaknya memang di situlah kelemahan dunia industri kita. Setidaknya, itulah kesimpulan diskusi yang merupakan salah satu acara dari PPI, Jumat pekan lalu. Kaptin Adisumarta, pengamat ekonomi, salah seorang pembicara, mendapat kesan bahwa tekanan promosi produksi Indonesia masih "menjual produk". Padahal, semestinya, katanya, "Mengetahui dahulu tuntutan konsumen, lalu memenuhinya dengan hasil produksi." Ini berarti tenaga pemasaran bukan terutama berhubungan dengan pihak produsen, tapi pihak konsumen. Tapi ini memang bukan sekadar arena promosi. Diniatkan pula ini semacam usaha memperlihatkan apa yang telah dicapai bangsa setelah merdeka 40 tahun. Itu sebabnya, beberapa departemen yang tidak "produktif" ambil peranan pula. Misalnya Departemen Transmigrasi, hanyalah memamerkan foto-foto dampak urbanisasi, lahan yang rusak, populasi penduduk yang menyebabkan transmigrasi jadi perlu. Dan coba tengok stan Departemen Agama. Di situ dituliskan peranan Indonesia dalam MTQ internasional, proses pengurusan naik haji, serta grafik mahasiswa IAIN seluruh Indonesia. Lalu ini, Departemen Penerangan. Di sini dipamerkan film boneka Si Unyil, film Pengkhianatan G-30-S-PKI. Lalu ada penjelasan soal koran masuk desa, pembinaan pers, gambar-gambar stasiun RRI dan TVRI. Masih agak klop dengan acara PPI adalah Departemen Koperasi. Dipamerkan antara lain produksi KUD, misalnya kerajinan kulit, perak, dan kuningan. Dan jangan lupa, sebuah pesawat Casa buatan PT Nurtanio, dan helikopter Puma dipajang di sekitar Tugu Monas. Tak sekadar dionggokkan, tapi penonton diberi kesempatan menengok ke dalam. Dengan ongkos, tentu. Juga dipamerkan sebuah kapal keruk. Ada pula kereta (api) ukur buatan bengkel Manggarai, Jakarta - kereta untuk mengukur kelayakan rel-rel. Dan sebuah monumen sejarah: gerbong maut yang dulu untuk menyekap 40-an pejuang di Jawa Timur. Walhasil, ini memang bukan sekadar pameran produksi. "Itu sebabnya bukan cuma sektor swasta yang ambil bagian, tapi juga departemen-departemen," kata Gubernur Soeprapto, ketua penyelenggara PPI. Untuk itu sewa ruangan pun diturunkan. Di dalam arena Pekan Raya Jakarta, bila sewa hall biasanya Rp 120.000 per m2, untuk PPI diturunkan menjadi hanya Rp 60.000. Bahkan oleh pihak PLN, khusus untuk listrik di stan-stan PPI, diberikan keringanan. Pihak Pemda DKI Jakarta mungkin yang paling repot. Untuk armada sampah khusus guna menjaga kebersihan lingkungan PPI, disiapkan 30 truk dengan 600-an petugas. Tentu saja ada WC umum yang dapat dipindah-pindahkan. Dan tentu saja kegiatan ini pun membuka kesempatan kerja - meski sementara Yaitu sebagai penjaga stan. Selain itu memberikan pula tambahan uang saku bagi para pegawai negeri yang ditugasi menjaga stan-stan departemen. Tapi tetap timbul tanda tanya adakah itu semua cukup imbang dengan pengeboran aspal jalan sekitar Monas untuk menanam tiang guna mendirikan stan? Bagaimana pula dengan taman-taman Monas yang hijau dan kini terporakperandakan? Mengapa tak dipilih misalnya kawasan bekas pelabuhan udara Kemayoran? Atau Halim Perdanakusuma? "Lho, ini 'kan mirip orang punya kerja yang harus mendirikan tenda di jalan," kata Soeprapto, gubernur DKI Jakarta. Dari segi praktisnya, di lingkungan Monas sudah ada arena Pekan Raya Jakarta yang sudah ada bangunannya, hingga tak perlu mendirikan banyak bangunan lagi. "Dan di Halim, siapa mau datang ke sana?" kata Soeprapto kepada Toriq Hadad dari TEMPO. Dengan pertimbangan seperti itulah lingkungan Monas "dikorbankan". Bukannya tanpa rencana rehabilitasi. Sudah disediakan dana, konon sekitar Rp 350 juta, untuk mengembalikan Monas seperti sedia kala. Lalu dari mana uang diperoleh selain dari anggaran yang telah disediakan? Gubernur Soeprapto memperhitungkan, sebagian besar anak sekolah yang berjumlah sekitar 3 juta di DKI Jakarta akan mengunjungi PPI. Ditambah pengunjung dari sekitar DKI Jakarta, misalnya dari Bekasi, Bogor, Tangerang, Karawang. Pokoknya PPI bersemangat optimistis. "Saya perkirakan di malam ketiga sekitar 600.000 orang berjubel di luar arena PRJ," kata Hutasoit, ketua bidang pelaksanaan Pekan Raya Jakarta. "Dan yang membayar Rp 500 masuk arena PRJ tak kurang dari 100.000." Jumlah pengunjung maksimal PRJ selama ini, menurut catatan Hutasoit, cuma 180.000. Seandainya PPI memang mencerminkan kenyataan, dan semangat mencintai produksi sendiri dan semangat mandiri menular kepada para pengunjung, tampaknya pengorbanan lapangan Monas bukannya tanpa manfaat. Bambang Bujono Laporan Suhardojo Hs. (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus